09. Nada-PERTEMUAN

16 7 28
                                    

Happy reading!🍉

***

"Antara cinta dan cita-cita,
apakah aku harus memilih?"
-Cici Cellia?-

09.
lllllllllllllllllllllllllllllllllllllll

Studio dance sudah kosong lima belas menit yang lalu. Terlihat gadis yang masih setia berdiri di pinggir jalan dan menatap kanan kiri dengan raut gelisah. Orang yang ia tunggu sedari tadi tidak menunjukkan tanda-tanda akan datang. Kakinya sudah terasa pegal karena terlalu lama berdiri. Belum lagi ia kelelahan akibat latihan ekstra hari ini. Setelah menunggu kira-kira dua puluh menit, cowok dengan pakaian shirt lengan pendek menghampirinya.

"Maaf lama. Jalanan sempat macet karena ada kecelakaan truk di simpang sana."

"Iya, nggak pa-pa. Udah ayo berangkat keburu tengah malam," balas Cici menerima helm dari cowok di depannya.

Sepanjang perjalanan Cici bergerak gelisah. Entah sudah berapa kali ia menghela napas tapi sama sekali tidak mengurangi rasa gugupnya. Bibirnya kering karena belum disentuh oleh material lain selain air ludahnya sendiri.

"Mau nepi dulu? Kayaknya kamu haus."

Mereka berakhir di depan alfamart yang sepi pengunjung. Pukul 11 malam bukanlah jam keluar anak sekolahan. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Audisi yang akan ia ikuti satu minggu lagi sangat berarti baginya.

Cowok itu menyodorkan teh botol pada Cici yang menunggu dikursi tunggu depan alfamart. Kakinya terasa akan copot dan ia tidak sanggup melangkah lebih jauh lagi. Setelah meneguk setengah dari isi teh tersebut barulah ia merasa sedikit lebih lega. Ternyata benar, minum dapat mengurangi rasa gugup dan membuatnya fokus kembali. Cici mengehela napas kemudian mulai beranjak dari tempat duduknya ia tertegun saat tatapannya jatuh kepada seseorang yang sangat ia kenal.

"Rahel?" gumam Cici refleks.

"Hai," sapa Rahel. Ia mengangkat kedua alisnya sebagai tanda tanya.

"A-anu ... kami nggak sengaja jumpa tadi di tempat latihan," jawab Cici lalu tersenyum kikuk. "Dan-dan lo? Kenapa bisa disini?"

"Oh, aku baru pulang les tapi mampir ke sini mau beli minum," balas Rahel lalu tersenyum. Selama beberapa minggu ini ia memang harus pulang larut untuk mengejar materi untuk olimpiade di akhir bulan. Belum lagi dalam beberapa bulan ke depan ujian tengah semester siap menantinya.

Cici meneguk ludahnya gugup. Tatapan Rahel jauh dari kata interogasi. Tapi entah kenapa ia merasa gugup serasa sedang disidang dalam sebuah kasus kejahatan paling kejam di dunia ini. Cowok di sebelahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia yakin pasti cowok itu akan memaklumi semuanya. "Kalau gitu gue duluan, ya?" katanya dan mulai melangkah pergi.

"Ci," panggil Rahel.

Merasa namanya dipanggil, ia menghentikan langkahnya. "Iya?"

Hening dalam beberapa saat. Rahel menatap Cici dan cowok itu secara bergantian.

"Gue harap besok lo bisa jelasin ini semua ke kita-kita," ucap Rahel lalu melenggang masuk ke dalam alfamart.

Cici terdiam kaku dan tak membalas perkataan Rahel. Inilah salah satu ketakutan terbesarnya. Saat ia harus berbagi suatu cerita yang harusnya tidak pernah tercipta. Di balik itu semua ia ingin egois. Tapi ia bisa apa? Siapapun yang akan kalah nantinya, ia harap semuanya akan berakhir bahagia. Walaupun dengan definisi masing-masing.

Ruangan yang penuhi dengan lukisan minimalis itu terlihat gelap dari luar. Cici mengendap-endap saat melewati ruangan utama yang selebar 2 lapangan basket. Ia bernapas lega saat berhasil melewatinya. Dan kembali berjinjit saat melewati ruang kerja. Tiga langkah lagi ia pasti bisa melewatinya.

N A D A [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang