11 - Idola

54 16 6
                                    

"Prosper, artinya sejahtera. Diambil dari bahasa Rumania. Profesor Zain bermaksud untuk menjadikan planet ini sebagai planet yang sejahtera dengan peraturan yang berlandaskan syari'at Islam, sehingga tercipta kesejahteraan yang sudah seharusnya."

Luar biasa sekali tujuan beliau. Kalau dipikir, benar juga, di sini semua penduduk beragama Islam. Jadi, mereka semua lebih mudah merealisasikan peraturan Islam ke kehidupan sehari-hari.

"Hidup tanpa perbedaan agama, tidak akan membuat orang-orang merasa asing kalau bertemu yang berbeda?" tanya Syauqiya mencoba mengkritisi.

"Kami tidak selalu hidup di planet ini, Uqi. Setiap waktu salat kami pergi ke bumi. Tapi itu hanya ke markas kita yang di bumi. Untuk yang lebih intensnya, seminggu sekali, tepatnya hari Jum'at, kami ke bumi dan memberikan wawasan lebih luas kepada masyarakat planet Prosper. Wawasannya berupa memberi mereka 'rasa' hidup di planet bumi."

Syauqiya manggut-manggut paham. Rupanya, di sini semuanya telah tertata, ya? Dapat dipastikan, kalau mereka semua di sini pasti akan ramah-tamah kepada yang satu agama. Apalagi, kepada yang berbeda agama, rasa toleransi mereka rasanya tidak perlu diremehkan.

"Eroi Musulmani, diambil dari bahasa Rumania juga."

"Kenapa gak bahasa Jepang? Atau Korea gitu. Turki. Eh atau ini Arab. Em, kenapa gak bahasa Indonesia?" sela Syauqiya dengan bawelnya, ia bahkan lebih bawel lagi dari sebelumnya.

"Tidak ada alasan khusus sih, Profesor Zain tertarik saja dengan istilah-istilah itu," balas Riqqah yang sebelumnya mengembuskan napas panjang setelah menyaksikan Syauqiya bertanya dengan satu tarikan napas. "Eroi Musulmani terdiri dari kata Erou dan Musulman. Erou artinya pahlawan, dan musulman artinya muslim."

"Ooh." Syauqiya manggut-manggut.

Riqqah menjelaskan sembari menunjukkan layar hologram yang menjadi bahan presentasinya di hadapan Syauqiya. "Agen Eroi Musulmani Ada yang hijau, abu, biru, dan merah. EM memiliki agen dengan tugas berbeda, Qi."

Layar hologram menampilkan pakaian-pakaian agen beserta kelengkapan-kelengkapan yang melekat di pakaian agen tersebut.

Riqqah mengklik pakaian agen hijau terlebih dahulu. "Hijau itu namanya Go Green, bertugas menjaga paru-paru planet ini, alias kehutanan. Menjaganya agar kami tidak kehilangan udara segar dari daun-daun tersebut."

"Lalu, ada biru. Kamu, kan, itu? Nah, biru itu Blue World, bertugas menjaga kemurnian air, agar kami tidak mendapat air kotor. Kemudian, warna abu, itu namanya animal friendly, bertugas menjaga satwa di planet ini agar tidak punah."

"Merah maroon, sebagai safety. Jelas, kami ini mengamankan apa dan siapa yang salah," papar Riqqah panjang kali lebar.

"Kalau baju kayak Kak Hadi itu ...?" Pikirannya langsung teringat akan Hadi yang memakai baju biru yang agak ketua-tuaan, jadi ia lekas menanyakan itu untuk menumpas habis rasa penasarannya.

Layar hologram pun menampilkan ketiga agen yang di mana salah satunya ada Hadi. Di sana, Syauqiya dapat melihat, selain Hadi yang pakaian birunya lebih tua. Ada dua agen lain yang di mana satunya berwarna abu lebih tua, dan satunya lagi berwarna hijau lebih tua.

"Agen biru, abu, dan hijau memiliki mentor. Nah, mereka adalah koordinator, atau sebut saja pembimbing. Mereka yang memberikan arahan kepada kalian, anak-anak muda."

"Nah, sekarang sudah jam satu nih, kita makan siang dulu di ruang makan, sekalian Ibu kenalkan dengan agen yang lainnya."

Tempat makan yang dimaksud Riqqah adalah ruangan bermeja panjang yang menjadi tempat dirinya dan Halim berbincang waktu itu. Bagi Syauqiya, sesuatu yang unik bisa makan bersama dengan para agen, makan besar. Syauqiya tidak pernah merasakan suasana itu, apalagi hidupnya semakin sepi setelah ayah dan ibunya pergi. Pasti akan sangat menyenangkan sekali bisa makan bersama seperti itu. Terlebih, yang menyajikan makanannya adalah para robot.

"Hai, Umi."

Suara berat khas laki-laki itu membuat lamunannya buyar seketika. Pandangannya yang semula menunduk, kini mendongak menatap sosok seorang pria yang bisa ditaksir seumuran dengan ayahnya—kalau ayahnya masih hidup. Dia memakai pakaian berwarna maroon, seperti Riqqah. Badannya berisi, tetapi bukan berarti gemuk. Ekspresi wajahnya mirip-mirip Riqqah—ada raut garangnya—tapi terlihat ramah apabila tersenyum.

Namun, tunggu sebentar. Syauqiya rasanya pernah bertemu dengan pemilik paras itu. Di mana, ya?

"Oh! Profesor Haziq!" Sontak saja Syauqiya berucap antusias sekali, sampai Haziq dan Riqqah yang sedang berbicara hangat jadi terperenjat gara-gara kelakuan anak itu.

Riqqah mengembuskan napas berat sambil geleng-geleng. "Uqi ... Uqi."

"Prof! Kita pernah ... eh bukan, aku pernah liat Prof di kampus, waktu Prof ngisi materi tentang 'Ketika Muslim Jadi Ilmuwan' di aulanya Universitas Sains Indonesia!" lanjut Syauqiya dengan nada bicara yang sungguh bersemangat.

Ya, wajar sih, anak itu begitu antusias. Pasalnya, ia mengidolakan Profesor Haziq—ya walaupun tadi sempat pangling. Beliau itu profesor muslim yang sangat hebat dan tersohor di zaman ini. Jadi, suatu keberuntungan yang sangat bernilai sekali bisa bertemu dengan Profesor Haziq, di tempat EM lagi.

Wah, tidak heran jika Profesor Haziq sangat hebat. Pendidikannya saja di tempat seperti ini. Luar biasa! Batin Syauqiya.

"Oh iya, ya? Salam kenal Syauqiya. Selamat bergabung di Eroi Musulmani!" balas Haziq tampak ramah.

"Salam kenal juga, Prof! Terima kasih, Prof!"

Haziq mengangguk diiringi senyum ramahnya. "Syauqiya Nur ini putri semata wayangnya ... Profesor Khalil Muslih dan Alimah Deena?"

Senyuman lebar itu mendadak menipis. Ia bergeming mendapati Haziq mengenali kedua orang tuanya. Apakah itu berarti semasa orang tuanya hidup, mereka mengenal Haziq dengan baik?

"P-Prof k-kenal orang tua saya?" tanya Syauqiya gugup.

"Siapa yang tidak mengenal Khalil? Dia Profesor hebat juga. Saya tau nama kamu dari laman internet, ada nama keluarga Khalil di situs itu, hanya tidak ada fotonya saja."

"Oh, ya? Qiya baru tahu kalau ada laman internet seperti itu."

"Ya, itu khusus profesor aja sih."

"Ooh."

"Udah ngobrolnya, kita makan siang, yuk?" ajak Riqqah.

"Iya, Bu."

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang