7 - Sistem yang Rusak

68 20 8
                                    

Mereka sedang duduk di ruang makan yang mempunyai meja panjang. Sepertinya, meja tersebut adalah ruang makan para agen. Mereka duduk berjarak sekali, Syauqiya duduk di ujung yang satu, dan Halim duduk di ujung yang lainnya. Ini wajar terjadi di tempat ini, karena interaksi antar lawan jenis benar-benar diawasi dan dibatasi pula.

"Sebenernya aku sudah tahu kalau benda yang neror kamu itu adalah benda hijau yang ada di depan dada kirimu. Dan, sebelumnya aku sudah tahu, kalau benda itu akan menjadikanmu sebagai agen."

Syauqiya memandangi benda berbentuk hati dan berwarna hijau yang dimaksud oleh Halim. Benda 'mengerikan' itu kini menjadi bagian daripada dirinya dan membuatnya menjadi seorang hero? Rasanya ia tidak percaya dengan semua ini. Benda yang menerornya, bahkan membuat pinggang dan punggungnya sakit, memecahkan kaca kamar tidurnya, merusak pintu laboratorium ayahnya, ternyata adalah sebuah alat untuk hero?

"Kenapa benda ini harus neror sih, Lim? Kalau mau jadiin agen jangan kayak ngajak perang gini dong!"

"Iya, iya, aku tahu ... emang gak seharusnya heart EM begitu. Baru kali ini, kami mengetahui hearth bertindak seperti itu. Oleh karena itulah, sebelum aku ke restoran kemarin, aku pergi ke markas ini."

Halim pun menceritakan, bahwa ia pergi ke ruangan teknologi, tempat di mana alat-alat hero dirakit dan dibuat di sana. Ia langsung bertemu dengan kepala bidang teknologi, yaitu Haytham Irsyad, yang biasa dipanggil Prof. Irsyad, setelah membuat janji dengannya pada sehari sebelumnya.

"Prof, Apakah salah satu green hearth ada yang lepas?" tanya Halim, tentunya tidak to the point, tapi setelah berbincang-bincang hal lainnya dengan Irsyad—sebagai kenalan yang sudah lama tidak berjumpa—baru ia bertanya begitu setelahnya.

Saat itu, Irsyad terlihat sedikit kaget. Dikarenakan, usut punya usut, Irsyad belum memberitahukan hal tersebut kepada yang lainnya. Ia sedang berusaha mencarinya, dan rencananya, jika tiga hari benda itu tidak ditemukan, maka ia akan memberitahukan hal tersebut.

"Tapi Prof, semakin lama waktu bergulir, dikhawatirkan hearth jatuh ke tangan yang salah. Itu akan sangat berbahaya."

"Tunggu, bagaimana kamu tahu kalau hearth hilang?"

"Karena sahabat saya, Syauqiya sempat bercerita, kalau ia melihat benda bercahaya hijau."

"Setelah itu, Prof. Irsyad bertanya soal kamu, karena Prof. punya prediksi, kalau kamu akan menjadi agen terpilih." Halim melanjutkan pembicaraannya, "Kalau kamu adalah orang yang pantas menggunakan kekuatan benda tersebut, maka kami berencana membiarkan benda tersebut memilihmu, tapi kalau tidak, maka kami harus segera menangkapnya."

"Apa?! Mem-bi-ar-kan?" Syauqiya sengaja mengejanya sebagai bentuk penekanan. "Ekstrem banget lho!"

"Aku kira juga gak akan kayak gitu banget hearth­-nya, ternyata parah banget. Emm," Halim terlihat sedikit ragu untuk melanjutkan perkataannya.

"Apa?"

"Eeemm ... hearth yang memilihmu itu, ada kerusakan sistem."

"Haahh ...?! Jadi sekarang aku dalam posisi tidak aman?!"

Siapa pun yang ada di posisi Syauqiya, mendengar alat yang menempel dengan tubuhnya ada suatu kerusakan sistem. Tentu saja akan panik. Siapa pun tak ingin ada dalam keadaan bahaya.

"Tenang ...," Halim menenangkan. "Saat kamu tidak sadar, kami mengecek green hearth tersebut, ternyata benar, ada sedikit kerusakan sistem. Tapi, kamu tenang aja, semuanya sudah baik-baik saja sekarang. Sudah dibenahi sistemnya, kamu aman."

Syauqiya bernapas lega, "Alhamdulillah."

Syauqiya lalu mengerucutkan bibirnya. Ia merasa kesal dengan Halim yang tidak pernah terus terang kepadanya sejak hari pertama. Apalagi, saat ia melihat Halim pamer memakai sepatu terbang di hadapannya beberapa bulan yang lalu, ia tega, tidak mengabarkan kalau sepatu terbang itu adalah kelengkapan pakaiannya sebagai agen, bukan membeli dari luar negeri.

"Kamu tega, Lim! Gak pernah kasih tau aku kalau kamu agen. Padahal, aku bisa jaga rahasia lho," tutur Syauqiya sambil melipat tangan di depan dadanya dan menekuk muka.

"Ini namanya rahasia komunitas. Tidak boleh sembarangan dibocorkan."

"Katanya Ibu Raiqa tau."

"Ya, jelas lah, Qi, orang tua harus ikut menjaga rahasia ini juga, mereka ikut menanggungnya dengan menyetujui kontrak dari pihak komunitas."

Syauqiya mendadak berubah ekspresi, ia menunduk, menatap sendu pemandangan di bawah. "Aku gak ada orang tua, gak ada yang ikut menanggung rahasia aku, ya."

"Mamah sudah bersedia menanggungnya," balas Halim agar kesedihan Syauqiya tentang kepergian orang tuanya tidak berlanjut.

"Bu Raiqa emang baik," gumam Syauqiya sambil tersenyum tipis.

"Tapi ngomong-ngomong, kan aku pingsan tadi nih?" Halim manggut-manggut membalas pertanyaan Syauqiya. "Kamu enggak ngambil kesempatan dalam kesempitan kan?"

Alih-alih menjawab, Halim malah tertawa terbahak-bahak setelah mendengar pertanyaan dari Syauqiya. Hal itu membuat Syauqiya menelan salivanya susah payah. Ia jadi merinding melihat respons Halim yang seperti itu.

"Kesempatan yang aku tunggu-tunggu," ucap Halim menggantung, sehingga menimbulkan kesan ambigu di pikiran Syauqiya.

Ekspresi panik muncul lagi di wajah Syauqiya. "Ha-Halim ... jangan bercanda gitu ...."

"Apa sih?" tanya Halim. "Jangan suka su'uzan, Neng. Gak baik, tau!"

Syauqiya mengernyitkan dahi.

"Itu kesempatan yang aku tunggu-tunggu, bisa punya sahabat yang sama-sama menjadi agen rahasia. Jadi, kita bisa sharing banyak hal dan bisa setiap saat juga," Halim masih melihat ekspresi takut di wajah Syauqiya. "Pas kamu pingsan, tentunya yang bawa kamu cewek juga. Aku tadi langsung nelpon bagian kesehatan EM soalnya."

Syauqiya pun bernapas lega setelah mengetahui hal tersebut, disusul dengan senyum yang terbit di bibirnya.

"Maaf mengganggu, Ibu Riqqah menunggu Syauqiya di taman," sela seorang robot yang baru tiba di sana.

Syauqiya mengerutkan dahinya, dia sendiri tidak mengenal seorang bernama 'Riqqah' itu. Entah akan ada apa, ia agak takut untuk melangkah. Terlebih lagi, dia masih baru dan tidak tahu apa-apa di sini.

"Untuk apa memangnya, Lim?" tanya Syauqiya.

"Ikut saja, nanti kamu tahu," jawab Halim. "Lagian, Bu Riqqah baik kok."

Syauqiya tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku pergi dulu."

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang