22 - Dokter Atha

34 8 7
                                    

 Axel sudah menyusun suatu siasat secara matang di dalam otaknya. Sebuah siasat yang akan melumpuhkan lawannya dengan tepat. Karena menurutnya, sesuatu yang terencana dan diiringi dengan pelaksaan yang baik itu akan membuahkan hasil yang maksimal. Ia akan berjuang sendiri untuk menaklukan lawannya. Bukan karena Wira ditugaskan ke pekerjaan lain, tetapi ini juga keinginannya. Ia akan lebih leluasa mengaplikasikan rencananya, jika sendirian.

Ia menduduki sisi ranjangnya. Tangannya ia gerakkan untuk membuka laptop transparan. Mulai mengetikkan sesuatu di laman pencarian orang, lagi.

Kini ia sudah mendapatkan sebuah foto seorang gadis yang menjadi incarannya, kesayangan Khalil dan Alimah. Ya, siapa lagi kalau bukan, Syauqiya?

Ia juga memiliki kemampuan meretas sesuatu. Jadi, tidak akan ada yang sulit untuk mendapatkan informasi gadis itu lebih dalam lagi. Apalagi, setelah fotonya ia dapatkan, pasti tidak akan kesulitan seperti waktu itu dalam mencaritahu informasi lebih dalam tentang perempuan tersebut.

Sepintas wajah polos seorang anak gadis terlitas diingitannya. "Aku akan mulai mengkhianati janji, Dik," gumamnya yang kemudian tersenyum getir.

Data terpampang jelas di hadapannya. Namun, ia sungguh kaget dengan apa yang didapatinya itu. Ia tidak menyangka, keahlian yang ia kuasai selama ini membuahkan hasil yang sangat mengesalkan batinnya.

"Si*l! Kenapa hanya satu foto SMA saja? Tidak mungkin dia bisa langsung berada di SMA!" Kepalan tangannya memukul bantal yang berada di samping tubuhnya.

"Kalau pun dia home schooling, pasti gambarnya akan tersedia di sini. Aneh sekali!"

Ternyata, sebaik apa pun rencana, jika keadaannya tidak mendukung, jalan menuju roma tidak akan semulus apa yang dibayangkan sebelumnya. Realita dan ekspektasi sekarang bertolak belakang. Hal itu, menuntut Axel untuk berpikir lebih keras. Mencari rencana lain yang lebih tepat.

"Ck! Sepertinya dia memiliki sebuah sistem pengamanan khusus untuk menutupi data dirinya dari saya. Menyebalkan sekali!"

...

Dua robot yang menjaga di halaman markas berlari tergesa-gesa menuju ke aula terbuka. Robot tersebut telah dirancang memiliki ekspresi seperti manusia. Maka dari itu, ekspresi mereka menunjukkan suatu kekhawatiran yang membuat para agen bertanya-tanya keheranan.

"Ada apa robot U-157 dan U-90?" tanya Sulthan yang berdiri tegak di podium.

Robot tersebut pun lekas mengabarkan kondisi Syauqiya yang terkapar lemah di halaman markas, dan sudah dibawa ke ruangan rawat.

Sontak saja mereka kaget mendengar keadaan Syauqiya yang lemah seperti itu. Terutama, Halim. Pria itu benar-benar merasakan kecemasan yang lebih daripada yang lain. Bahkan, tanpa menunggu perintah dari Sulthan, Halim langsung berlari meninggalkan aula untuk segera mengecek keadaan sahabat sejak masa kecilnya itu.

"Ayo, cepat ke sana," perintah Sulthan.

Para agen memasuki gedung. Sedangkan, satu pasang mata yang tengah sembap dan masih meneteskan air mata hanya bisa menatap mereka dari kejauhan. Ia takut untuk menghadapi mereka. Ia telah menjadi penyebab semua ini terjadi. "Hiks ... sudah aku bilang, aku tidak sanggup jadi agen lagi jika ada Uqi. Tolong, maafkan diriku yang tidak bisa menjaga lidahku dengan baik."

...

Mengerjap kedua pasang mata itu. Perlahan penglihatan yang buram dilihat, kini berubah jelas. Melirik ke sekitar. Ruangan yang dominan bercat putih bersih menjadi penampakkan yang ia tangkap pertama kali. Jendela ruangan menampakkan lalu-lalang orang-orang di koridor. Ini artinya, ia ada di bumi.

Ia melenguh kesakitan. Merasakan kepalanya yang tidak terasa ringan. Tubuhnya terbaring lemah di punggung ranjang, dibarengi balutan selimut hangat.

Ia mulai memutar kembali memorinya, mengingat kejadian yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri. "... PEMBUNUH!" Segera si empu meringis menahan rasa sakit yang begitu menusuk di kepalanya. Bahkan, kian ke sini tusukan itu semakin menjadi-jadi.

Cklek

Pintu kamar mandi terbuka. Ia sekilas melihat seorang pria memakai setelan dokter yang berparas putih dan berkumis tipis keluar dari sana. Namun, untuk rupanya, terlihat kurang jelas oleh indera penglihatannya.

"Eh, kamu kenapa?" tanya dokter itu risau.

"Sakit! Tolong, pergi!"

"Tenang ... tenang." Dokter tersebut lekas mengambil suntikan penenang dan menyuntikkannya ke infusan Syauqiya. Tak lama dari itu, Syauqiya pun dapat merasakan ketenangan, walaupun ingatannya terhadap ucapan Eliza masih ada.

"Maaf, saya agak telat. Tadi saya kebelet, jadi masuk ke toilet kamar inap kamu. Maaf, ya. Toiletnya bersih kok, saya tidak jorok," jelasnya dengan ramah.

Beberapa detik kemudian, Syauqiya mengerjap-ngerjapkan matanya agar ia bisa melihat raga siapa yang tengah merawatnya itu. "P-Pak Atha?" Ia terkejut sekali, pria yang kerap kali menebar pesona kepadanya itu, sekarang berada di ruang rawatnya dan menjadi dokternya.

Syauqiya pun kemudian ingat, saat Atha memperkenalkan dirinya di hadapan semua orang, Atha pernah mengabarkan bahwa dia bukan hanya seorang dosen, tapi juga dokter di rumah sakit milik keluarganya.

"Iya, Syauqiya, saya dokter kamu dan juga dosen kamu, mudah-mudahan juga jadi ...-"

Syauqiya cepat memotong ucapan dosennya, ia tidak mau mendengar lebih dari itu, "Em ... Pak, yang bawa saya ke sini siapa, ya?"

"Yang bawa kamu itu ... ibu Raiqa dan Halim."

Syauqiya pun manggut-manggut paham.

Berarti, setelah ia pingsan, ia segera dibawa ke bumi untuk mendapatkan perawatan di tempat ini. Hm, mungkin alasan mereka menginginkan Syauqiya dirawat di bumi adalah agar ia tidak bermasalah lagi dengan Eliza.

Atha mengambil beberapa obat suntik lainnya, kemudian ia suntikkan ke selang infusan Syauqiya. "Saya sebelumnya berbincang banyak dengan Bu Raiqa tentang kamu. Kamu perempuan yang kuat, ya, Syauqiya. Di usia muda seperti kamu ini, kamu sudah mendapat persoalan yang cukup besar. Saya salut dengan kamu."

Syauqiya tersenyum tipis mendengarnya. "Kalau gak kuat, kita gak akan bisa maju, Pak." Secara otomatis, Syauqiya perlahan mau berbincang agak lebar dengan Atha.

Atha tersenyum manis mendengar Syauqiya menyahut obrolannya. "Ya, kamu benar, Syauqiya."

"Dokter juga hebat, multi talenta. Jadi dokter, iya. Jadi dosen juga, iya," ungkap Syauqiya yang jujur saja sejak awal sudah merasa kagum dengan keahlian yang dimiliki Atha. Pasalnya, mengajar di sains dan menjadi dokter itu adalah hal yang jarang dilakukan oleh orang-orang, karena kedua hal itu cukup berbobot dari segi ilmunya; ilmu kedokteran dan ilmu teknologi.

"Sejak kecil, saya memang sudah bercita-cita jadi yang sekarang ini."

"Wah, alhamdulillah ya, Dok."

"Iya," balasnya sambil mencuci tangan di wastafel dekat sana.

"Ngomong-ngomong, Pak Atha. Saya ini sebenarnya kenapa? Saya ngerasa aneh, dipikiran saya banyak ucapan orang-orang yang terus berputar-putar. Lalu, dada saya sesak dan kepala saya rasanya sakit kalau semua itu terngiang. Rasanya semua itu pernah terjadi di hidup saya, tapi terasa seperti mimpi buruk juga. Saya tidak tahu itu apa, yang pastinya saya tidak bisa mengingat kronologi lengkapnya."

Atha menyipitkan matanya setelah mendengar keluhan dari Syauqiya. "Semua itu terjadi karena kamu ...."

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang