Tubuh kian rapuh. Luka semakin menerjang di bagian punggung. Ada pilu pula. Mengiris hati, sehingga dirasa pedih dan sakit, tetapi tak meneteskan darah. Suasana seakan menyuram, oksigen seakan menipis, tempat berdiam membatas gerak, bulir-bulir bening ikut menetes. Sesak dadanya. Seakan-akan oksigen akan segera enyah dari organ pernapasannya.
Dunia begitu kejam dan penuh fitnah.
Ia benar-benar tak menyangka, ada hati yang begitu keji kepada seorang perempuan berhati. Ia telah menuai cinta, tetapi malah dibalas duri-duri luka. Hati yang ia miliki, bukanlah permainan yang bisa didatangi dan ditinggalkan sesuka hati. Ia manusia, bukan robot. Sungguh, tak beradab dia yang telah mengkhianati.
Air menitik dari pelupuk mata tiada henti. Menetes berkali-kali tak tertahankan. Pilu di hati adalah luka yang jauh menyakitkan daripada luka di tubuhnya. Sanggup menahan luka goresan di kulit, tetapi tidak untuk luka pengkhianatan ini.
Raga yang terluka masih memiliki harapan dalam hati.
Namun, hati yang terluka akan sulit untuk merasakan harapannya kembali.
"Axel sejak kecil sudah kami didik untuk jadi jahat. Dialah yang membuka jalan lebar bagi kami untuk menculikmu sepuluh tahun lalu," ujar Ibunya Axel—Ny. Zenita—ketika ia baru sadar dari pingsannya.
"Dulu, kami sudah berhasil menciptakan alat perpindahan dimensi. Bersama denganmu yang menjadi sandra kami, kami menghidupkan alat tersebut dengan Green Hearth ini." Zenita menunjuk hearth itu. "Kami melakukan penyerangan di sana. Namun sayang, akhir dari kejadian itu tidak berjalan seperti yang kami harapkan. Banyak yang meninggal di sana, dan hanya Arsen yang ditahan. Sedangkan, aku melarikan diri bersama beberapa orang yang lain, tanpa sepengetahuan mereka."
"Melarikan diri dari Prosper? Itu tidak mungkin, alat kalian kan hancur," sanggah Syauqiya.
"Benar, tetapi di sana kami punya mata-mata."
Syauqiya merasa masalahnya semakin rumit. Perihal kematian orang tuanya dan tuduhan Eliza kepadanya juga belum terpecahkan. Sekarang, masalahnya jadi bertambah, pengkhianatan Axel yang telah membuatnya terkurung dalam kurungan kaca tebal yang tidak bisa dipecahkan oleh pukulan tangan, serta pengkhianat yang berada di tengah-tengah Eroi Musulmani.
"Kali ini, kami sudah menyiapkan mesin perpindahan dimensi yang baru. Kami juga akan melakukan penyerangan dalam waktu dekat ini. Sebaiknya kamu siap-siap saja," tutur Zenita yang kemudian membalikkan badannya, hendak pergi meninggalkan ruangan tersebut. "Oh, ya. Axel, putraku itu sangat-sangat membantuku."
Aku tidak pernah sebenci ini pada siapa pun, kecuali padamu Axel.
...
Udara malam berembus cukup kencang di rooftop, alunan anginnya menerpa rambut pria tampan yang tengah merenungkan nasib dirinya. Meresapi rasa yang terasa memilukan. Tanpa memperdulikan suhu tubuhnya yang berubah dingin.
Ia beralih menatap bintang yang bertaburan di gelapnya langit malam. Ia hela napasnya panjang dan merengkuh tubuhnya sendiri. Dalam kesendirian itu, matanya mengeluarkan setetes air bening yang turun membasahi pipinya.
Di saat Wira berkata dapat mengenal pembuat bubur itu, ia juga mencium keberadaan Uqiku. Arrh! Aku malah ceroboh seperti ini.
"Mengapa balas dendam itu begitu penting? Bukankah permasalahan itu hanya di antara Kakek Axello dan Prof. Zain? Bukankah dendam ini hanya akan memperumit hidup kita sekeluarga?" Ia menyeka air matanya dengan tangan kanan. "Setelah mendapat perlakuan seperti ini, saya jadi semakin sadar, meraup warisan ketamakan dan dendam hanya akan berujung sia-sia. Jika ada kesempatan yang membuat kita bisa membalaskan dendam itu, bagaimana rasanya kelak? Pasti, jiwa akan semakin digerogoti nafsu ketamakan yang lebih besar lagi. Dan, semua itu hanyalah kerugian yang membinasakan."
"Bagus, kalau sadar." Halim menyambar ucapan Axel. Ia pun ikut duduk di sampingnya sambil memberikan segelas wedang jahe ke tangan Axel.
"Bagaimana cara saya menyelamatkan Syauqiya, Lim? Kekuasaan saya sudah lenyap, dan harapan saya hampir meredup," ungkap Axel.
Halim menghela napasnya dan menatap ke arah langit. Matanya berkaca-kaca mengingat Syauqiya saat ini berada dalam posisi tidak aman. Halim Khawatir dengan keadaan dia yang entah dapat beristirahat dengan baik atau tidak, makan dan minum dengan baik atau tidak. "Syauqiya," lirihnya.
"Apakah saya masih bisa menyelamatkan dia dengan keadaan saya yang seperti ini?" tanya Axel.
"Ada janji yang telah kamu ingkari, ada luka yang perlu diobati, dan ada dirimu yang perlu diperbaiki. Saran saya, Pak At—Axel ini diam saja dulu di rumah saya. Anda merenung saja dulu di sini, semoga saja dengan merenung Anda dapat menemukan jawabannya."
Axel menunduk mendengarkan jawaban dari Halim.
"Dan ya, saya akan tetap melakukan upaya. Anda jangan ikut saya selama Anda belum merasakan hati Anda lebih baik."
...
Zenita, Wira dan Glen berada di ruangan cctv gedung TZ 4. Mereka saling bersulang sebelum meminum anggur merah di gelas kristal mereka. Setelah meminumnya, mereka bersuka cita, tertawa-tawa atas kemenangan yang sebentar lagi akan mereka raih. Mereka semakin merasakan kegembiraan yang lebih lagi ketika mereka melihat kondisi Syauqiya yang terlihat kian menurun di layar kaca penayangan rekaman cctv.
"Nyonya Zenita telah memberikan luka batin kepada perempuan itu. Sehingga, ia merasakan luka di fisik dan psikisnya," ujar Wira diakhiri senyum miringnya.
"Hebat, Mam," opini Glen.
"Tentu. Ide yang saya miliki ini bukan ide sembarangan. Adu domba yang saya lontarkan, bukan hanya mendorong hati gadis itu untuk tersakiti lebih dalam. Hal yang lebih seru lagi, ia tidak akan percaya pada Axel, dan pastinya akan melakukan penyerangan kepadanya," ucap Zenita dengan angkuh.
"Axel sungguh tidak beruntung," lirih Glen sambil geleng-geleng dan tersenyum licik.
"Kakek dan ayahmu tidak salah memungut Axel dari tempat sampah, dia sangat berguna, Glen," balas Zenita sambil tersenyum bangga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eroi Musulmani [Revisi Version]
Bilim Kurgu[COMPLETED] Sci-Fi - Fantasy - Spiritual 🏆Daftar Pendek Wattys 2022 🏆Pemenang Wattys 2022 - Science Fiction Kau tidak tahu apa yang pernah terjadi, tapi tuduhan pedih melayang kepadamu. -Revisi Version- ©2022 Nur Aida Hasanah