"Hahahahaha."
Suara tawa yang terdengar sedikit berbisik mengganggu pikiran Syauqiya yang tengah melamunkan permasalahan yang baru saja ia dapatkan. Ia kemudian mengerutkan dahi sembari mengerucutkan bibirnya. Tawa pertama itu tidak membuatnya terusik dan menoleh ke arah lain, ia lanjut saja merenung, karena ia rasa, tawa itu hanyalah suara orang-orang yang lewat di tempat yang sedang ia lewati.
"Hahaha."
"Anak baru sih, wajar Ran."
"Iya, wajar gak tau tentang jam EM."
Syauqiya merasa orang-orang yang tertawa itu sedang menyindir dirinya tentang kejadian video call pagi hari tadi. Tangannya yang berada di samping badan ia kepalkan dengan erat.
"Apa lagi lo tadi diomongin, Hai."
"Ya dong, secara anak Sulthan."
Tritt trit. Bunyi earphone membuat Syauqiya terlebih dahulu menekan alat dengar itu, dan tak memperdulikan ocehan orang-orang yang tidak ada henti menyindirnya di sana.
"Qiya, ini Halim. Kok kamu ada di area santainya agen sih?"
Sekilas Syauqiya melirik ke sekitar, saat kembali lagi menunduk, pipinya mendadak merah bak udang rebus. Terlalu sibuk memikirkan masalah keluarganya, Syauqiya tidak sadar jika kakinya membawanya melangkah ke tempat santai para agen seperti ini. Uh, wajar sekali jika banyak cemoohan yang ia dapat saat ini, karena ia berada di antara mereka.
Poin ter-ngenest-nya, di antara mereka, Syauqiya belum akrab sekali dengan orang-orang di sana. Tidak tahu, siapa yang akan menolongnya sekarang.
"L-Lim ...." Syauqiya tidak mampu meneruskan perkataannya, karena meneruskan perkataan, sama saja mengundang tangisnya turun dari pelupuk mata.
"Arh, aku tau pasti orang-orang nertawain kamu, ya? Sabar ... sabar, aku segera ke sana."
Trit. Tanda panggilan Halim terputus.
Makasih, Halim, batin Syauqiya.
...
Tak berselang lama, lift yang dinaiki Halim sampai di lantai dasar. Ia bergegas melangkahkan kakinya agar bisa menghentikan cemoohan rekan-rekannya yang pasti mencabik-cabik hati Syauqiya yang tengah galau akan masalah keluarganya.
"Qi ...." Ucapannya mengambang di udara tatkala indera penglihatannya menangkap kehadiran sosok Sulthan di sana.
"Halim, ke mana saja kamu? Temen kamu ini lagi kena masalah malah gak ada." Omelan Sulthan menyambut kedatangan Halim yang baru saja menghela napas lega.
Halim masuk ke barisannya terlebih dahulu, lalu membalas pertanyaan Sulthan, "Tadi saya sama Prof. Haziq, Sulthan."
Halim yang semula merasa santai dan dapat bernapas lega, jadi mengerutkan dahi. Ia yang baru sampai di saf paling depan, saf barisannya, jadi terheran-heran dengan keberadaan Eliza dan Syauqiya di samping Sulthan tengah menunduk. Seolah-olah mereka sedang merasa bersalah.
Wajar, jika agen yang menggosipkan Syauqiya menunduk malu, tetapi mengapa Syauqiya harus menunduk juga?
Apa terjadi sesuatu?
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Halim ingin menumpas rasa penasarannya sekaligus khawatir dengan Syauqiya.
"Beruntung, Akmal sama Anas memberi tahu saya, Lim," jawab Sulthan.
Halim lantas menoleh ke arah Akmal dan juga Anas, yang menjadi pusat perhatian utamanya sedari tadi, karena hanya merekalah dua orang yang tidak menunduk walaupun dikedepankan. Malah, mereka bersikap santai seakan-akan mereka berhasil memenangkan sesuatu.
5 menit yang lalu ....
"Lucu sih gue kalau inget suara video call-nya si Halim sama anak baru itu."
Syauqiya tidak bisa menahan emosinya lagi, ia mengangkat kepalanya dengan tangguh. Matanya menghunus seperti pedang tajam seolah akan menusuk pemandangan di depannya. Sedari tadi ia masih mampu menahan semuanya dan menggerutu di dalam hati. Namun, jangan harap kali ini ia akan tetap diam! Ini salah mereka yang telah berani mengusik singa yang diam. Mereka akan melihat, bagaimana amukan singa yang terluka!
Jika suasana hatinya sedang baik-baik saja, Syauqiya pasti akan mengabaikan ocehan-ocehan mereka yang berulang kali menggaggu pendengarannya. Namun, saat ini ia tidak bisa diam saja! Hatinya sedang kacau setelah mengetahui fakta sebenarnya dari Haziq tadi. Hal itu hampir memenuhi ruang hatinya. Sehingga, saat mendapatkan penambahan rasa sakit lagi, ia tidak bisa menahan amarahnya walaupun semenit.
"SHUT UP!"
Sontak semua orang diam dan fokus menatap ke arah Syauqiya diiringi dengan perasaan kaget. Mereka semua tercengang, tidak menyangka amarah Syauqiya yang tampangnya anak baik-baik—tidak terlihat galak—begitu meledak seperti itu.
Akmal dan Anas yang baru tiba di ruang santai, yang jelas-jelas tidak mengetahui masalah apa yang terjadi di ruang itu pun ikut tercengang. Mereka memegang dada sambil berujar istigfar.
Suasana hening untuk beberapa saat, sampai Eliza memecah keheningan tersebut dengan lidahnya yang tajam, setajam silet, "Lo lakuin itu semua karena pengen bikin sensasi, kan?!"
Amarah di dada Syauqiya semakin meluap-luap, mukanya menyulut amarah yang benar-benar membara. "Gue emang salah, tapi gue gak pernah niat bikin sensasi!"
Eliza memutar bola matanya malas, ia berjalan sedikit mendekat ke arah Syauqiya.
Di dalam benaknya, Syauqiya tidak habis pikir dengan perempuan satu ini. Dari awal ia datang sampai hari ini, Eliza sama sekali tidak bisa bersikap ramah terhadapnya. Ia sudah berusaha untuk berbaik sangka pada Eliza, tetapi kali ini tidak lagi. Faktanya jelas, kalau Eliza itu memang tidak menyukai keberadaan dirinya.
"Punya salah apa sih, gue sama, lo?!" bentak Syauqiya yang sudah merasa lelah.
"Lo itu salah! Lo gak pantes jadi agen!"
Semua orang mendadak menelan salivanya susah payah. Sedangkan, Akmal dan Anas segera mengabari Sulthan secara kompak via gawai pribadi mereka.
"Kenapa sih Eliza? kenapa lo benci banget sama gue?!"
"Kalau awalan aja lo udah bikin sensasi kayak gitu, lo pasti bakal bikin onar di kemudian hari, ya kan?!"
"Pikiran lo sempit, Eliza! Kalau boleh gue bilang, lo tuh yang gak pantes jadi agen!"
"Apa?!" tanya Eliza sambil menaikkan satu alisnya. Ia lekas menunjukkan lima jarinya ke hadapan Syauqiya. "Angin ... dorong dia dengan kencang!"
"Elizaaa!!" Semua orang berteriak saat kekuatan Eliza membuat tubuh ramping Syauqiya terbentur ke dinding ruangan.
Agen perempuan lainnya langsung menghampiri Syauqiya. Anum dan Fairuz langsung memegang pundak Syauqiya, Annisa serta Syafiqah—agen Abu—spontan menanyai keadaan Syauqiya, tetapi Syauqiya hanya bisa melenguh kesakitan. Benturan yang ia rasakan ini, melebihi rasa sakit akibat kekuatan Green Hearth hari itu.
"Eliza!" bentak Sulthan.
Seusai Sulthan memberikan wejangan kepada semua agen, Halim pun mendengar cerita tersebut dari Akmal, Anas, dan juga dari Syauqiya sendiri. Ia mendengarkan dengan seksama sembari manggut-manggut tanpa mengukir senyuman sama sekali. Bibirnya datar. Ia jadi terbawa kesal dengan kelakuan Eliza.
"Minum," ucap robot wanita di EM sambil menaruh gelasnya di hadapan Syauqiya.
"Makasih," balas Syauqiya.
"Makasih ya, Nas, Mal. Lo berdua udah nolongin sahabat gue," ungkap Halim yang berada di ujung meja makan yang berbeda dengan keberadaan Syauqiya dan robot itu. Sedangkan Anas dan Akmal, duduk di kursi yang berdekatan dengan Halim.
"Santai aja kali, Bro. Sesama manusia kan harus saling tolong menolong," balas Anas, "Bener kan, Mal?"
Akmal yang memang memiliki karakter dingin-dingin peduli pun hanya membalas dengan anggukan kecil saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eroi Musulmani [Revisi Version]
Научная фантастика[COMPLETED] Sci-Fi - Fantasy - Spiritual 🏆Daftar Pendek Wattys 2022 🏆Pemenang Wattys 2022 - Science Fiction Kau tidak tahu apa yang pernah terjadi, tapi tuduhan pedih melayang kepadamu. -Revisi Version- ©2022 Nur Aida Hasanah