15 - Mengapa?

40 10 4
                                    

Halim kembali mereguk air minumnya untuk menghentikan batuk-batuknya tersebut.

"Lho kamu kenapa kok tersedak gitu?"

"Nanti aku jelasin. Sekarang, kita harus ke markas EM yang ada di bumi, ikuti aku sekarang," pinta Halim.

Walaupun dahi Syauqiya masih mengerut, hatinya masih memiliki lubang jawaban yang belum terisi, dan logikanya belum bisa memahami kondisi ini, Syauqiya tak pikir panjang, ia lekas menuruti apa yang dipinta oleh Halim. Ia mengikuti ke arah mana Halim pergi.

Halim mengajak Syauqiya ke halaman belakang kampus USI. Di sana ada kolam ikan dan taman kecil yang dirawatnya jarang-jarang. Tempat tersebut jarang digunakan, karena tidak ada barang atau berkas penting kampus yang disimpan di sana. Pun walau ini halaman belakang, tapi tidak ada jalan untuk mahasiswa/ mahasiswi membolos, karena temboknya tinggi sekali, seukuran bangunan tiga lantai. Oleh karena itu pula lah, tempat ini jauh dari pengawasan mata dan juga cctv.

"Kita ngapain ke sini?" tanya Syauqiya heran.

"Kamu liat daun-daun sintetis yang ada di depan, samping kanan, dan samping kiri?" Syauqiya mengangguk. "Di salah satu hiasan itu ada jalan pintas kita menuju markas."

"Serius?"

Halim pun menghampiri besi—seukuran pintu tunggal—dihiasi oleh dedaunan sintetis yang terletak di samping kanan kolam. Besi itu bentuknya seperti pagar dan ia menempel di tembok.

Kemudian, Halim memegang pinggir kanan besi tersebut yang ternyata bisa diputar. Halim memutarnya sebanyak tiga kali dan memutar pinggir yang kirinya sebanyak delapan kali. Lalu memutar dua sisi di bagian bawahnya 180 derajat.

Lalu, keramik kecil di dekat pagar tersebut bergeser dan menampilkan sebuah layar pipih (bukan hologram) untuk Halim mengisi kata sandi di sana. Selesai kata sandi tersebut dimasukkan, besi berhiaskan dedaunan sintetis tersebut pun bergeser.

"Waw ... dua tahun di sini, aku baru tahu ada ini."

"Orang kamu juga baru di EM. Udah yuk masuk."

...

"Untung saja, tadi itu kami langsung pakai langkah cepat. Jadinya, Axel gak bisa nemuin Syauqiya," papar Halim kepada Haziq yang tengah menunjukkan keterangan Axel pada dua muda-mudi tersebut.

"Kenapa Axel ngincar aku? Apa segampang itu dia ngenalin aku sebagai agen?" tanya Syauqiya yang sedari tadi mengamati dengan dahi yang tak berhenti mengernyit. Ia benar-benar dangkal informasi mengenai Axel dan tujuannya yang langsung mengarah pada Syauqiya. Bagaimana tidak? Syauqiya saja baru beberapa hari jadi agen, belum dikenalkan secara resmi kepada masyarakat Prosper, tetapi malah sudah mendapat tantangan yang seharusnya didapat agen senior seperti ini.

Sebelum menjawab, Haziq dan Halim saling bertukar mata. Mereka benar-benar mengetahui, bahwa ada hal pahit yang mungkin akan membuat Syauqiya semakin sakit hati. Entah, harus bagaimana menjelaskan hal tersebut kepada gadis itu? Usianya yang masih muda, ditakutkan berefek tak baik pada emosinya. Misalnya, Syauqiya bisa mengamuk dan kesulitan mengontrol emosi.

"Saya rasa, ini tidak ada hubungannya dengan EM." Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Haziq, sebut saja, itu hanya alibi.

"What?" tanya Syauqiya. "Terus, ini hubungannya sama apa? Jelas-jelas Axel itu cucu termudanya Axello Zen!"

"Tolong ingat, Qiya. Axel bukan hanya berhubungan dengan Axello Zen, tapi juga berhubungan dengan perkara sains. Dia sainstist, Qiya. Camkan, itu!" jelas Halim membantu Haziq memaparkan apa yang telah menjadi pilihan dari jawaban Haziq.

"Hah? Papah sama Mamah?" lirih Syauqiya yang langsung peka terhadap dunia persains-an.

...

Syauqiya berjalan menapaki setiap lantai markas EM dengan wajah yang lesu. Apa yang dipaparkan Haziq sebelumnya benar-benar membuatnya shock. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang? Apa ia harus pindah tempat tinggal dan melupakan setiap jejak kenangan di rumah yang sejak kecil menjadi tempatnya bernaung dari teriknya panas dan derasnya hujan? Itu tidak mungkin! Akan tetapi, apa pria bernama Axel itu tidak akan menghampiri rumahnya dan membunuhnya di sana?

"Bukan kecelakaan ataupun kebakaran. Kematian orang tuamu adalah akibat pembunuhan."

"Bagaimana Prof bisa tahu?"

Haziq mengetik di keyboard hologram, mencari data yang sedang ia butuhkan untuk ditunjukkan kepada dia, si Gadis Malang. "Setiap tempat kerja profesor muslim, selalu dipantau oleh kamera pengawas mini EM. Dan, kamu bisa lihat sendiri ...."

Syauqiya menutup mulutnya sendiri, saat layar itu menampakkan video kejadian di mana ayah dan ibunya mengembuskan napas terakhir. Dua suara tembakan yang keluar dari pistol itu membuat hatinya semakin teriris. Kejam sekali mereka semua. Apalagi, yang tidak ia sangka, orang yang melakukan kekejian itu adalah orang yang menjelaskan kronologi palsu kepadanya dan menenangkan dukanya kala itu. "Prof. Indra," lirihnya.

"Ya, Indra yang melakukannya. Tapi kita tahu, Qi, Profesor Indra juga sudah meninggal, yang dikabarkan media terkena serangan jantung."

Syauqiya tahu kabar itu, karena beberapa bulan selang orang tuanya meninggal. Syauqiya menghadiri acara pemakaman Indra dan juga merasa terpukul saat itu, karena di saat tersebut Syauqiya beranggapan, kalau beliau adalah teman baik ayahnya.

"Tapi yang sebenarnya, pihak TZ-lah yang melakukan pembunuhan kepada Prof. Indra. Mungkin Indra melakukan hal yang tidak sesuai dengan keinginan mereka."

Syauqiya bergeming, masih tak percaya dengan kenyataan yang diterimanya. Tanpa sadar, air matanya pun turun membasahi kedua pipinya. "Ada masalah apa sampai orang tua saya dibunuh seperti itu?"

Haziq menggeleng diiringi tatapan yang mengiba. "Emm ... untuk itu saya kurang tahu betul alasannya apa."

Mengingat semua percakapan itu, batin Syauqiya benar-benar terluka. Rasanya sudah tidak ada lagi semangat baginya untuk melakukan kegiatan yang lainnya lagi.

***

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang