1 - Mengenang yang Tersayang

273 34 10
                                    

Teknologi-teknologi canggih menjadi suatu hal yang lumrah dilihat oleh pandangan mata. Bahkan bisa dikatakan, setiap sudut di dunia ini hampir dijamah oleh benda-benda berbau teknologi, terkecuali dengan daerah pedalaman yang masih memangku prinsip analog dan menggunakan teknologi sekadarnya saja. Di tempat-tempat yang kental dengan teknologinya, terkhusus di kota-kota besar, semuanya terasa begitu praktis.

Namun, jangan khawatir, walaupun di tahun 2080 ini teknologinya sudah berkembang dengan sangat-sangat pesat, populasi orang yang malas-malasan (tidak produktif) tidak begitu tinggi. Sebab, orang-orang dituntut untuk bisa produktif, bisa menghasilkan, bukan hanya rebahan tapi tidak membawa perubahan.

Seorang gadis yang sudah berkepala dua tengah mencuci mukanya dengan air yang berasal dari keran terbang canggih yang aktif dengan sensor wajah—kapasitas ruang terbang keran tersebut hanya dekat satu wastafel saja—setelah sebelumnya ia mengusap wajah cantiknya itu dengan sabun pencuci wajah.

Kemudian, ia mengelapnya dengan tisu yang telah tersedia di toilet tersebut.

"Udah gak berminyak nih wajahku."

Urusannya di kamar mandi kini sudah selesai, ia pun berjalan ke dekat pintu toilet, "Selesai", ucapnya. Seketika itu pintu kamar mandi pun terbuka dengan sendirinya. Dan ia keluar bersamaan dengan keluar sahabatnya yang berada di toilet sebelah.

"Udah selesai juga, Qi?" tanya Triani padanya.

"Udah dong. Ikut matkulnya jadi fresh deh."

Triani dan Syauqiya berjalan beriringan melewati koridor kampus.

"Yah, lo masih ada matkul? Kirain gue lo udah gak ada kelas, tadinya gue mau ngajakin lo makan siang bareng."

Dahi Syauqiya sedikit mengernyit. "Tumben ngajak makan siang bareng nih?" Ia lanjut terkekeh karena memang tidak biasanya Triani mengajaknya makan bersama.

"Orang tua gue lagi dapet cuti kerja soalnya, Qi. Terus mamah gue bilang, 'Ajakin temen kamu juga lho, biar bisa kenal', dan parahnya papah nambahin, 'Bener, biar kami bisa ngobrol sama temen kamu satu-satunya itu'," jelas Triani.

Syauqiya tertawa renyah mendengar curhatan sahabatnya itu. Sebenarnya, Triani itu bukan tipikal orang yang tidak pandai bergaul, menghindari keramaian, ataupun punya penyakit mental seperti anxiety, tetapi Triani hanya bisa klop bersahabatnya dengan Syauqiya seorang saja sejak dari bangku SMA. Orang lain hanya sebatas kenal biasa dengannya, tidak sedekat Syauqiya yang kadang-kadang ia panggil dengan sebutan 'Rindu'—karena Syauqiya artinya rindu.

"Maaf banget lho, Aniku tersayang ...," Syauqiya merangkul bahu Triani, "Kita beda fakultas sih, jadinya aku ini gak bisa ikut makan siang sama keluargamu itu. Mungkin lain kali kita bisa makan bersama."

"Hm ... iya deh Rinduku tersayang. Belajar yang rajin, ya," balasnya sembari menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

"Siap."

Gelang Triani berbunyi 'tik tak' dan terlihat warna merah berkedip tiga kali darinya. Itu adalah tanda adanya pemberitahuan. Gelang itu adalah gawai, layaknya smarthphone, tetapi di era tersebut gawai dikemas dalam bentuk gelang seperti yang Triani pakai, dan cincin seperti yang Syauqiya pakai.

Triani melihat notifikasinya. "Eh nyokap bokap gue udah ada di depan, mereka jemput. Kayaknya udah kangen banget sama anaknya yang cantik ini sampai mereka jemput ke kampus segala. Gue mau pamitan sama elo, nih. Belajar yang bener, ya. Semangat!"

Syauqiya tersenyum lebar kepada Triani, "Thanks."

"Assalamu'alaikum," ucap Triani sembari berjalan mundur beberapa langkah dan melambai-lambaikan tangannya.

Eroi Musulmani [Revisi Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang