part six

1.5K 223 2
                                    

     ALDEN kembali pada rutinitasnya. Dia memiliki jadwal sekolah daring di rumah. Membosankan, tetapi mengingat kini ia tak selalu terjebak di dalam rumah karena dirinya memiliki seorang teman yang bisa ditemuinya di luar sana. Seorang teman yang tak pernah takut mendekatinya dan selalu menghibur dengan kehadirannya. Seorang teman yang memberinya kenangan dan harapan yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Alden tak pernah sebahagia itu.

Kedua orang tuanya pun ikut bahagia melihatnya yang selalu ceria belakangan ini. Wajahnya tak semuram dulu. Kapan pun wajah itu selalu memperlihatkan senyum. Tak ayal suasana di rumah pun terasa hangat dengan kebahagiaan yang dipancarkan sang putra. Alden melalui hari-harinya dengan tak sabar menanti Ethan yang akan berkunjung ke rumahnya di penghujung pekan. Dan ketika hari itu tiba, sedari pagi Alden sudah sibuk membantu membersihkan seisi rumah. Mulai dari halaman depan sampai belakang.

Alden begitu bersemangat hari itu. Dia tak sabar menyambut Ethan sore nanti. Selesai dengan pekerjaannya, Alden beristirahat sejenak sembari menemani ibunya yang sedang memasak di dapur. Alden merapatkan pinggangnya di tepian pantry sembari memerhatikan sang ibu yang sedang memotong-motong paprika merah.

"Apa aku boleh mengatakan sesuatu?" Alden membuka percakapan dengan ragu.

"Tentu," jawab ibunya sepintas meliriknya.

"Kurasa aku sedang jatuh cinta saat ini," aku Alden malu-malu. Terlihat jelas pancaran sipu dari tatapannya yang tak tertutup kacamata.

Wilda melepas sejenak pisau di tangannya. Wajahnya bergulir menatap sang putra yang terlihat canggung.

"Itu terdengar manis."

Alden menatap sang ibu yang menyulam senyum. Jantungnya berdebar ketika itu.

"Dan kurasa ibu tahu pada siapa aku jatuh cinta."

"Kau ingin ibu menebak? Ibu ingin kau mengatakannya."

"Benarkah?"

"Ya, ibu ingin mendengarnya darimu langsung."

Alden tertegun—menarik tatap dari wajah sang ibu. Otaknya berpikir cepat menimbang ragu.

"Katakanlah. Jangan malu-malu," goda ibunya.

Alden mengulum senyum antara malu dan ragu. Detik selanjutnya, Alden menatap ibunya dan berkata, "Aku jatuh cinta padanya ... pada Ethan."

Mengira dirinya akan mendapat sangkalan, nyatanya sang ibu terperanjat senang. Kedua tangannya lantas saja merekat di pipi Alden. Senyumnya terpatri begitu manis. Rautnya berbinar penuh kasih sayang.

"Apa ibu tak keberatan kalau aku mencintai seorang laki-laki?" Alden menatap ibunya berselimut ragu.

"Kenapa aku harus keberatan saat putraku menemukan seseorang yang dicintainya? Kau layak mencintai seseorang yang membuatmu bahagia."

Kalimat sang ibu barusan meluruhkan hati Alden serta menepis semua keraguannya. Dia bahagia karena ibunya dapat menerima dirinya apa adanya—menyayanginya tanpa syarat. Cinta yang diberikannya tanpa pamrih.

"Bagaimana dengan ayah?"

"Ayahmu akan mengatakan yang sama. Percayalah, kami tak ingin mengekang hatimu untuk mencintai siapa pun. Kalau kau bahagia, kami juga bahagia."

Alden tersenyum dengan raut haru. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi ketika itu. Langsung saja ia memeluk erat tubuh ibunya.

"Aku menyayangimu, Bu."

"Ibu juga sangat menyayangimu."

Ketika baru saja selesai memeluk ibunya, Alden merasa wajahnya seperti perih terbakar.

Kill Me With Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang