ETHAN bertekad untuk menuliskan kisah mengenai Alden dan apa yang pernah mereka lalui bersama. Dirinya ingin mengenalkan Alden melalui tulisannya itu. Dia ingin mengenalkan pada orang-orang bahwa Alden tak seburuk yang mereka anggap selama ini.
Sejak siang hari hingga nyaris tengah malam, Ethan duduk di kursi itu. Jemarinya terus menekan-nekan papan ketik. Matanya yang lelah tetap dipaksakan untuk menatap layar laptop yang terus menyala. Ethan bekerja keras untuk segera menyelesaikan semuanya dalam waktu singkat.
Dirinya baru benar-benar beristirahat begitu menyelesaikan semua tulisan itu. Sontak Ethan pun meregangkan punggungnya yang pegal. Dia bernapas lega karena berhasil menuangkan kisahnya bersama Alden ke dalam sebuah kisah dalam satu malam. Ethan berharap orang-orang akan membacanya. Dan mereka dapat mengenal Alden melalui tulisannya itu.
Ethan memeriksa sekali lagi tulisannya untuk memastikan tak ada kata yang terlewat. Merasa semua yang ingin ditulisnya telah tersampaikan, Ethan pun membagikannya ke internet. Begitu besar harapannya agar orang-orang dapat menemukan kisah itu dan membacanya. Ethan juga berharap mereka dapat mengenal sosok Alden berbeda dari yang mereka kira.
Sekali lagi, Ethan bernapas lega. Tubuhnya benar-benar lelah. Terlebih jari-jari tangannya yang terasa kebas. Segera ditutupnya layar laptop itu. Ethan bangkit dari kursinya dan melangkah ke tempat tidur. Dia langsung saja menghempaskan tubuhnya ke atas ranjangnya yang empuk. Tak butuh waktu lama, Ethan pun tertidur dengan pulas.
Barulah di keesokan paginya, Ethan bangun dengan tubuh yang terasa lebih bugar. Di kamar mandi, Ethan sejenak melamun di depan cermin. Berdiri di sana, melamun seperti memikirkan sesuatu. Dan dirinya seringkali melakukan hal tersebut nyaris setiap pagi. Sepuluh menit kemudian Ethan turun menuju dapur. Sunyi dan hampa, suasana yang selalu didapatinya dalam rumah itu. Itulah yang setiap hari dirasakannya sejak kejadian malang yang menimpa keluarganya. Namun, secara tak sadar dirinya mulai terbiasa dengan suasana itu.
Ada secarik kertas yang ditempel di pintu lemari pendingin. Ethan mengambilnya dan membaca pesan yang tertulis di kertas itu. Tak ada yang dirinya bisa keluhkan mengetahui ayahnya pergi bekerja lebih awal. Ethan ingat ia tak melihat ayahnya pulang semalam. Meski begitu, ini bukan pertama kalinya dirinya mengetahui sang ayah bekerja terlalu keras, bahkan di hari libur seperti sekarang.
Ethan menoleh pada selembar uang yang ditinggalkan sang ayah di atas meja makan. Dia mengambil uang itu dan menyimpannya. Sesudah itu, Ethan mengeluarkan susu dari dalam lemari pendingin, juga kotak sereal dalam lemari penyimpanan. Ethan duduk seorang diri di meja makan sembari memakan sereal di mangkuk.
Sehabis sarapan, Ethan bersantai di ruang tengah dengan selimut hangat. TV yang menyala tak ditontonnya. Kedua matanya terus menatap layar laptop di pangkuannya. Ethan mencari-cari artikel ilmiah yang berkaitan dengan bola mata manusia. Namun, tak ada satu pun bukti ilmiah yang menjelaskan kondisi yang Alden alami.
"Ini konyol." Ethan bersungut sewaktu ia mendapati artikel yang membahas mengenai sihir dan kutukan. Dirinya bukan seseorang yang mudah terpengaruh dengan hal-hal semacam itu.
Selagi berkutat dengan beragam artikel di internet, tiba-tiba permintaan panggilan video dari Molly muncul di layar laptop. Ethan lantas menerimanya.
"Hai," sapa Molly di layar.
"Hai." Ethan membalas dengan senyum simpul.
"Kau baru bangun?" tanya perempuan berambut pirang itu.
"Aku sudah bangun dari satu jam yang lalu."
"Kau tak mengangkat panggilanku semalam."
"Maaf. Aku sibuk seharian kemarin," jawab Ethan seadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kill Me With Your Eyes
Teen Fiction🏆The WATTYS 2021 Winner genre Wild Card, kategori Young Adult. -3 Desember 2021. 🥈#LGBT on December 2021 Namanya Alden Watts, tetapi orang-orang menjulukinya 'si mata iblis'. Matanya yang indah, tetapi juga mematikan. Semasa hidupnya, Alden tak pe...