part eighteen

693 116 1
                                    

     RASANYA memilukan, tetapi juga terasa manis untuk dikenang. Ethan mengingat hari-harinya bersama Alden sebelum kejadian nahas itu menimpa mereka. Dirinya tak bisa melupakan semua kenangan yang ia miliki bersamanya. Ethan merasa seperti baru kemarin itu semua terjadi. Kini, pepohonan nyaris menanggalkan seluruh dedaunannya seiring musim dingin yang kian mendekat. Kebahagiaan itu seakan telah direnggut. Ethan menduga kali ini ia akan melewati musim dingin yang sama dinginnya seperti biasanya atau mungkin akan lebih dingin dari yang pernah ia lalui.

Sudah dua hari belakangan ini Ethan terlihat lesu. Dirinya sering kedapatan melamun, bahkan dokter yang merawatnya menegurnya untuk berhenti membebankan pikirannya selama proses pemulihannya. Hanya saja, Ethan tak mudah melakukannya. Nyaris sepanjang malam ia kesulitan tertidur lantaran memikirkan Alden. Dirinya khawatir dengan nasibnya yang mendekam di dalam penjara.

Sang ayah bahkan tak bisa berbuat banyak untuk memintanya berhenti memikirkan hal lain selain kesehatannya. Dan sebelumnya, Ethan sempat bertikai dengan ayahnya. Semua berawal ketika Ethan meminta bantuan ayahnya untuk membantunya bertemu dengan Alden di penjara. Namun, respon sang ayah tak seperti yang ia duga.

Emosi Ethan meradang tatkala mendengar ayahnya memintanya menjauhi pemuda itu dan mengatakan kalau penjara adalah tempat di mana seharusnya Alden berada. Rasanya menyakitkan begitu mendengar sang ayah yang ternyata juga tak menyukai sosok yang dicintainya, bahkan melarangnya untuk berteman dengannya. Selama ini Ethan memang tak pernah mengatakan hubungannya dengan Alden pada ayahnya.

Oleh karena itu, Ethan pun memilih abai pada setiap perkataan sang ayah. Dirinya marah, tetapi juga merasa tak berdaya. Tak henti ia berharap agar ada sesuatu yang dapat dilakukannya untuk membantu pujaan hati yang dicintainya itu. Ethan tak ingin membiarkan Alden terjebak di balik jeruji. Baginya, pemuda itu tak pantas di dalam sana. Meskipun seseorang kehilangan nyawa karenanya, akan tetapi Ethan percaya kalau Alden tak melakukannya dengan sengaja.

Selagi sang ayah sedang mengurus sesuatu di luar, Ethan berbaring di ranjangnya sembari memandang kaca jendela di dekatnya. Terlihat langit sore di luar sana tampak kelabu. Sama seperti suasana hatinya saat ini. Andai saja ada kabar lain yang mengatakan Alden baik-baik saja di luar sana, mungkin hal itu akan sedikit menghiburnya. Dia hanya tak ingin pemuda itu berada di tempat yang tak seharusnya. Ethan berharap Alden bisa berkumpul kembali bersama keluarganya.

Selagi larut dalam lamunannya, sesuatu muncul dalam ingatannya. Ethan sadar ia menyimpan selembar foto dirinya bersama Alden yang dijepret Molly sebelum kejadian itu. Dirinya ingat menyimpan foto itu di dalam saku jaketnya yang dikenakannya hari itu. Namun, entah di mana jaket tersebut. Dia belum sempat menanyakannya pada ayahnya.

Beruntung, tiba-tiba ayahnya kembali ke ruangan itu. Namun, sebelum Ethan mengatakan sesuatu, sang ayah lebih dulu memberitahukan sesuatu padanya.

"Ada Harold dan istrinya di rumah sakit ini." Sang ayah berucap dengan risau.

"Kenapa mereka ada di sini?" Ethan seketika cemas mengingat dirinya sudah lama tak bertemu dengan pasangan suami istri itu sejak berada di rumah sakit.

"Tadi kami sempat bertemu. Harold bilang kesehatan istrinya memburuk."

"Apa?"

"Ayah juga memberitahu padanya kalau kau dirawat di sini."

Sejenak Ethan termangu. Belum usai mengenai Alden, kini, ada kabar duka lain yang harus dihadapinya.

"Apa Beth baik-baik saja? Bisakah aku menjenguknya?" perlahan Ethan menarik tubuhnya pada sandaran di balik punggungnya.

"Kau tak perlu memaksakan diri."

"Aku sudah terlalu lama berbaring di sini. Aku ingin menjenguknya." Ethan bersikeras lantaran ia merasa sudah lama tak mengunjungi perempuan tua itu serta suaminya, bahkan ia tak memberitahu apa pun pada mereka mengenai kejadian yang menimpanya.

Kill Me With Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang