ALDEN sedang dalam perjalanannya menuju ke jembatan yang biasa ia datangi belakangan ini. Sedari Ethan menjanjikannya ajakan itu, Alden menanti antara bimbang dan senang. Hatinya risau, tetapi juga tak sabar. Tiap kali ia memikirkan pemuda itu, di saat itu juga irama jantungnya berdenyut lebih cepat. Sosoknya terlalu manis untuk dibayangkan. Caranya menatap sangat berbeda dari orang lain. Jauh dari kesan sinis dan meremehkan.
Begitu langkahnya mendekati jembatan itu, Alden melihat sosok Ethan yang tiba lebih dulu berdiri di sana seorang diri. Ethan tersenyum berseri-seri melihat Alden melangkah menghampirinya. Dia sempat melambaikan tangannya dan Alden membalas yang sama.
"Apa aku terlambat?" desis Alden agak sungkan begitu ia berdiri tepat di depan Ethan.
"Sedikit." Ethan mengulum senyum.
"Maaf."
Ethan tersenyum-senyum memerhatikan busana Alden. Terlihat pemuda itu mengenakan hoodie berwarna merah muda.
"Kau terlihat seperti permen kapas hari ini." Ethan berseloroh.
"P—Permen kapas?" Alden sedikit salah tingkah.
"Dan aku menyukainya." Ethan menyunggingkan senyum merekah. Detik selanjutnya ia tertawa tanpa melepas pandangnya dari wajah Alden. Pun Alden juga ikut tertawa dengannya. Raut keduanya terlihat senang melihat kehadiran satu sama lain.
Dalam hatinya, Ethan mengakui paras Alden terlihat lebih tampan dari biasanya. Terlebih pemuda itu mengenakan pakaian dengan warna kesukaannya. Hatinya terpana melihatnya. Ethan selalu penasaran dengan kedua bola mata Alden yang tersembunyi di balik kacamatanya itu.
"Kita pergi sekarang?" Alden bertanya tanpa sadar Ethan bergeming sedang mengaguminya.
"Tentu." Ethan mengangguk pelan sambil menyimpul senyum.
Alden lantas bergegas bersama Ethan dari jembatan itu. Mereka menyusuri jalanan yang tak begitu ramai kendaraan. Hanya sesekali mobil bak terbuka melewati jalanan itu. Sejujurnya, Alden juga belum pernah melalui jalanan itu. Dia tak tahu ke mana arah jalan itu menuju. Sebuah kota? Pemukiman penduduk? Mungkin saja.
"Bagaimana harimu kemarin?" Ethan membuka percakapan seiring berjalan di sebelahnya.
Setelah bertemu Ethan dua hari yang lalu, keesokan harinya Alden berada di rumah seharian karena ia memiliki jadwal sekolah daring di rumah.
"Semuanya berjalan baik. Bagaimana denganmu?" tanyanya melirik Ethan.
"Aku menulis sepanjang waktu."
"Menulis?"
"Aku sudah melakukannya selama bertahun-tahun."
"Apa kau menulis sebuah buku?"
"Kuharap begitu. Aku menulis karena itu seperti terapi."
Alden menyunggingkan senyum yang tak sampai ke mata. Raut Ethan di sebelahnya terlihat tenang, membawa kedamaian untuk Alden kala melihatnya.
"Sejujurnya, kau membuatku merasa jauh lebih baik," sipu Alden seraya menyelinapkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie-nya. "Kau bahkan membuat orang tuaku ikut bahagia."
Ethan melirik dengan senyum yang melengkung lembut di bibirnya. Dia berkata, "Terima kasih karena kau menepati janjimu hari ini."
Alden tertawa kaku karena canggung. Dia merasa dirinyalah yang seharusnya berterima kasih pada Ethan karena pemuda itu yang bersedia mengajaknya.
"Lewat sini." Ethan mengajak Alden berbelok ke kiri melewati sebuah jalan tak beraspal.
Suasana hati Alden mendadak begitu bahagia melewati pepohonan di sepanjang jalan itu yang terlihat penuh warna. Dan di saat yang sama, tiba-tiba angin bertiup membuat dedaunan berguguran menghujaninya. Alden tersenyum riang. Rasanya bagai di negeri dongeng. Ethan melihat pemuda berkacamata hitam itu berdiri dengan senyum merekah menyaksikan pemandangan itu sembari membentangkan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kill Me With Your Eyes
أدب المراهقين🏆The WATTYS 2021 Winner genre Wild Card, kategori Young Adult. -3 Desember 2021. 🥈#LGBT on December 2021 Namanya Alden Watts, tetapi orang-orang menjulukinya 'si mata iblis'. Matanya yang indah, tetapi juga mematikan. Semasa hidupnya, Alden tak pe...