part fourteen

952 133 3
                                    

     UDARA siang ini terasa lebih dingin dari biasanya. Pertanda musim gugur saat ini akan segera tergantikan oleh musim dingin. Di sebuah taman yang tak begitu ramai, Alden bersama dengan Ethan duduk di sepasang ayunan yang berada di bawah pohon oak yang telah kehilangan banyak dedaunannya sepanjang musim gugur. Dan masing-masing tangan mereka memegang sepotong waffle hangat yang lezat untuk disantap.

"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" Alden bersuara sedikit kaku. Ada sesuatu yang mengusik firasatnya belakangan ini. Semua itu tertuju pada Ethan.

Ethan menangkap keseriusan di wajah Alden yang tak seperti biasanya. Sembari tertawa sedikit canggung, ia berkata, "Ya ... katakan saja."

"Berjanjilah kau tak marah saat aku menanyakan itu," gugup Alden memastikan. Dia menggigit bibir bawahnya selagi memandangi wajah Ethan.

Ethan mendapati gelagat Alden membuatnya merasa pelik. Seperti ada yang tak beres, tetapi ia tak ingin berprasangka yang bukan-bukan. Penasaran apa yang ingin Alden tanyakan, Ethan mengangguk pelan dengan sedikit senyum di wajahnya demi mencairkan suasana.

Alden merasa sedikit lega melihat Ethan bersedia mendengarkannya. Dia berharap pemuda itu tak merasa terusik dengan yang dibicarakannya. Dengan memberanikan diri, Alden mengakui, "Waktu kita berdebat saat itu ... aku merasa kau benar-benar marah saat aku mengatakan hidupmu jauh lebih mudah dari yang kuhadapi."

Jantung Ethan seketika saja berdegup resah. Dia mengakui dalam hati kalau dirinya memang benar-benar marah karena ucapan Alden itu yang terasa meremehkan semua masalah yang dihadapinya. Namun, hal itu tak membuatnya ingin begitu saja membeberkan seperti apa kehidupan pribadinya. Ethan enggan membahas hal itu. Dia memasang senyum itu lagi agar suasana tak begitu canggung. "Lupakan saja. Itu bukan apa-apa."

"Apa sesuatu terjadi?" Alden bertanya dengan hati-hati. Dirinya tak bermaksud ingin mencampuri masalah yang mungkin saja Ethan tutupi. Alden berharap sikapnya tak membuat Ethan tersinggung.

"Memangnya ada apa?"

"Mungkin aku bersikap sok tahu, tapi aku merasa ada sesuatu yang tak berani kau ceritakan padaku ... atau orang lain."

Ethan sepintas tertegun. Tak biasanya Alden sepeka itu menelisik dirinya. Ethan merasa bahkan ia tak pernah menyadari bahwa pemuda itu dapat merasakan naluri sekuat itu membaca sikapnya.

"Aku berpikir tak seharusnya aku menilai sesuatu yang tak kuketahui seenaknya," sesal Alden sewaktu mengingat kejadian itu.

Mendadak air muka Ethan berubah keruh. Wajahnya berpaling enggan melihat wajah Alden.

Melihat Ethan mengabaikannya, Alden tertegun gugup. Dia merasa telah membuatnya tersinggung karena ucapannya. "Maaf kalau ucapanku lancang. Aku tak bermaksud mencampuri kehidupan pribadimu."

Ethan terkekeh dengan sumbang. Wajahnya kembali menoleh. Ucapan Alden sama sekali tak ada yang menyinggung perasaannya. Namun, ada sesuatu yang membuat dirinya sukar untuk menceritakan sesuatu padanya. Bukan karena ia tak percaya padanya, melainkan hal itu membuat hatinya didera kesedihan mendalam.

Alden merapatkan bibirnya tak berani berucap apa pun lagi sewaktu memerhatikan Ethan yang merenung di hadapannya. Dari wajahnya terlihat ia menyimpan sesuatu yang enggan diungkapkannya. Alden enggan untuk mengusiknya. Dia juga tak tahu harus bersikap seperti apa—takut apa yang dikatakannya malah membuat Ethan terluka. Hening pun mengisi ruang di antara mereka.

"Berjanjilah kau akan selalu bertahan meskipun kau merasa menghadapi hari yang sulit." Kalimat itu meluncur dengan sendu dari mulut Ethan tanpa melihat Alden di sebelahnya.

Raut Alden memaku penuh tanya menerka-nerka maksud ucapan Ethan barusan. Rasanya ada sesuatu yang tersirat dalam kalimat itu. Tak lama kemudian ia melihat pemuda itu mendongakkan wajahnya ke langit.

Kill Me With Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang