HAMPIR dua bulan berlalu, akan tetapi Alden tak pernah menghitung berapa banyak waktu yang telah dihabiskannya di dalam penjara. Alden berusaha untuk membiasakan dirinya, tetapi rasanya seperti terjebak dalam mimpi buruk. Sunyi selalu mengisi ruangan sempit itu—yang terletak jauh dari jeruji tahanan lainnya. Para sipir memperlakukannya berbeda, layaknya tahanan dengan kasus berat.
Alden tak bisa memikirkan apa-apa lagi dengan hidupnya saat ini. Dirinya kerap menangis seiring meratapi takdirnya. Ya, takdir. Lantaran tak seorang pun bisa menghilangkan kutukan itu darinya. Alden benar-benar frustrasi. Seringkali terbesit keinginannya untuk mengakhiri hidupnya. Pikirannya tak henti membayangkan kehidupannya yang suram.
Namun, Alden takut jika ia akan menghancurkan hati kedua orang tuanya, bahkan apa yang terjadi saat ini sudah cukup membawa kesedihan mendalam untuk keluarganya. Ibunya selalu berlinang air mata sewaktu datang menjenguknya. Perempuan itu terus menangis dan berharap dapat membawanya kembali ke rumah.
Alden merasa hidupnya sangat menderita. Jauh lebih menderita dari sebelumnya. Dan nahas, dirinya tak bisa melakukan apa pun, bahkan keluarganya. Dia tak memiliki siapa pun yang dapat membebaskannya dari penjara. Orang-orang di luar sana pun semakin tak menyukai kehadirannya. Dia ingat jelas bagaimana orang-orang di pengadilan meneriakkan cacian untuknya. Sangat menyakitkan.
Dan keresahan yang paling pekat dirasakannya tak lain ketika ia mengingat Ethan. Wajah dan senyumannya tak luput dari ingatan. Dan Alden sangat merindukannya. Sejak hari itu dirinya tak pernah lagi mendengar kabar darinya. Hal itu menghancurkan hatinya. Dan air mata adalah satu-satunya caranya mengungkapkan pilu yang mendera.
Meski dirinya terjerembab dalam jurang kesedihan, Alden merasa seperti memiliki secercah harapan dengan mengingat perkataan Ethan di taman kala itu. Meski pemuda itu meninggalkan lubang di hatinya karena kehilangannya. Namun, tak mudah untuknya mengenyahkan semua kenangan yang mereka lalui. Setiap detiknya begitu berarti. Kebahagiaan yang tak bisa ditukar dengan kebahagiaan lainnya.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?"
Alden hanya diam sembari berpangku tangan—duduk dengan wajah dingin di kursinya menatap seorang perempuan hampir seusia ibunya dudui di hadapannya. Perempuan itu merupakan psikolog pribadinya yang datang untuk menjenguknya di penjara. Alden selalu terusik tiap kali melihatnya. Sikapnya berubah sejak berada di dalam penjara. Kini, gilirannya yang benci bertemu dengan orang asing.
"Apa ada sesuatu yang ingin kau ceritakan? Katakan saja, jangan ragu. Aku di sini sebagai teman bicaramu."
Psikolog itu kerap melontarkan kalimat yang sama, begitu pun caranya berbicara, dan juga senyum manis yang merayu. Alden bahkan tak tahu apakah itu senyum yang tulus atau dilakukannya dengan sengaja untuk sekadar memancingnya agar angkat bicara.
"Ibumu bilang dia selalu memberimu buku untuk kau baca selama di kamarmu. Kau mau menceritakan mengenai buku itu?"
Alis Alden menukik tak habis pikir. Baginya, ruang sel yang ditempatinya tak layak disebut sebagai kamar. Suasananya berbeda dengan kamar yang ada di rumahnya. Kasurnya keras tak seperti kasur di rumahnya.
"Apa itu penting?" Alden melempar tanya dengan sumbang.
"Ya, aku ingin mendengarnya." Psikolog itu menampakkan kembali senyumnya yang manis itu.
Alden menyengir hambar seiring membuang muka.
"Ibumu juga mengatakan kau sering bertanya mengenai temanmu."
Apa yang baru saja dikatakan psikolog itu lantas membuat Alden menarik kembali perhatiannya. Tatapannya memusat padanya.
"Ethan. Itu namanya, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kill Me With Your Eyes
Teen Fiction🏆The WATTYS 2021 Winner genre Wild Card, kategori Young Adult. -3 Desember 2021. 🥈#LGBT on December 2021 Namanya Alden Watts, tetapi orang-orang menjulukinya 'si mata iblis'. Matanya yang indah, tetapi juga mematikan. Semasa hidupnya, Alden tak pe...