Eps. 3. Korea

93 15 0
                                    

"Kau bangun? Syukurlah. Kau sudah terbaring di kasur selama dua minggu penuh. Apa kau ini korban pembunuhan atau malah penjahatnya?" tanya Jee. Ya... Walaupun hanya satu minggu gadis itu terbaring di rumahnya sih. Karena, seminggu sebelumnya dia terbaring di kapal.

Gadis itu tidak menjawab. Dia memegang kepalanya yang terasa berdenyut sakit. Seluruh tubuhnya terasa sangat remuk. Astaga! Ini bencana!

Dia mengamati ruangan yang katanya sudah dia tiduri selama dua minggu. Dia melirik pria asing itu. Dia memejamkan matanya paksa karena nyeri kepalanya datang lagi. Pria itu mendekatinya untuk memeriksa keadaannya.

"Appa!" Jee menoleh ke belakang kemudian tersenyum manis. Dia memandangi gadis kecil itu sampai dia ketakutan dan bersembunyi di belakang pria itu.

"Kau siapa? Aku di mana?" tanyanya bertubi-tubi. Jee, pria itu tak langsung menjawab. Dia mendudukkan dirinya ke ujung ranjang kemudian menggendong gadis cilik itu hingga duduk di pangkuannya.

"Namaku Jee Yong, Kim Jee Yong. Kau ada di rumahku. Aku menemukanmu di kapal perusahaan ketika kau tak sadarkan diri," ucapnya. Gadis itu berusaha mencerna ucapan Jee hingga nyeri itu datang kembali.

"Dan kau? Siapa namamu?" tanya Jee. Dia memandang Jee. Entah. Dia tidak ingat apapun tentang dirinya. Bahkan dia kaget karena dia tiba-tiba bisa bangun. Astaga!

"Aku tidak tau. Semakin aku mengingat... Semakin kepalaku berdenyut nyeri," ucapnya. Jee menyimpulkan jika wanita yang ada di depannya ini lupa ingatan. Ya, tentu saja. Perkara nama saja dia lupa.

"Baiklah. Kau istirahatlah. Aku akan menyiapkan sarapan lagi. Kau nanti langsung ke bawah saja," ucap Jee. Dia hanya mengangguk patuh.

"Eri-ya... Ayo, biarkan kakak ini beristirahat," ucap Jee kepada putrinya. Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya. Sejenak gadis cilik itu menatap ayahnya sambil berkedip lucu beberapa kali.

"Aku di sini saja. Bersama kakak ini," ucap Eri dengan lucu. Jee terkekeh sambil mengusak lembut rambut anaknya lalu mengangguk mengiyakan. Kemudian melenggang pergi meninggalkannya mereka.

"Kakak? Halo. Namaku Eri. Kim Aeri. Putrinya appa Jee Yong," ucap Eri. Gadis kecil itu tersenyum lugu membuat gadis itu gemas. Dia tersenyum melihatnya.

"Nama kakak siapa?" gadis itu menggeleng. Dia tidak ingat apapun tentang dirinya. Dia menunjukkan ekspresi sedih.

"Hm... Mari kita cari nama buat kakak!" dia mengangguk antusias. Eri nampak berpikir keras. Alisnya mengkerut hebat sudah seperti siswa Senior High School yang tengah melakukan ujian kimia saja!

"Bagaimana dengan Micha? Bukankah itu terdengar lucu?" ucap Eri. Dia mengangguk setuju. Eri itu tersenyum manis hingga menunjukkan deretan giginya.

Okey. Namanya Micha. Tidak pakai marga. Dia tau kalau dia hidup hari ini. Sekarang tanggal empat belas Februari. Anggaplah ini hari ulang tahunnya. Micha tersenyum tipis.

"Ngomong-ngomong... Di mana ibumu? Apa ibumu tidak marah jika ayahmu membawaku ke rumahmu?" tanya Micha. Wajah gadis itu berubah menjadi muram. Tanpa aba-aba dia naik ke ranjangnya dengan susah payah. Micha sedikit membantunya.

"Eommaku ada banyak. Bahkan aku tidak tau eomma asliku. Aku hanya melihatnya di foto," ucap Eri dengan sedih. Micha paham betul apa maksud gadis cilik itu. Dia mendekap tubuh mungilnya dengan erat. Dia tidak tau jika ada anak di usia semuda ini sudah dihadapkan dengan cobaan seperti ini. Masih kecil sudah broken home.

"Kau tau? Aku bahkan menganggap bibi galak tetangga kita sebagai ibuku," cicitnya dengan suara kecil. Dia tertegun. Masih kecil sudah broken home. Orangtua yang berpisah, anak jadi korban. Dia semakin mengeratkan pelukan.

"Kau tau? Aku bahkan tidak ingat siapa namaku. Jadi, mulai sekarang aku menganggap semua orang itu keluargaku. Jangan sedih. Bahkan ada banyak orang yang memiliki nasib sepertimu atau bahkan sepertiku." Eri masih diam mendengarkan. Micha mengelus lembut rambut gadis cilik itu.

"Takdir memang tidak bisa ditebak. Bahkan waktu saja kadang sangat kejam. Menurutku, tidak ada hari tanpa bencana," lanjutnya. Eri yang tidak mengerti maksud perkataan Micha hanya mengangguk saja.

"Benar. Sekian pembicaraan ini. Selepasnya, mari kita makan. Aku sudah lapar," ucap Jee tiba-tiba masuk kamar. Dia membawa Eri dalam gendongannya.

"Eri-ya... Kau ke meja makan dulu ne?" Eri mengangguk lucu. Dia segera meninggalkan kamar itu. Jee menatap kepergian gadis empat tahun itu dengan tersenyum manis lalu dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi datar. Dia melirik Micha. Gadis itu balik memandangnya dengan tatapan bertanya.

"Kau bisa berjalan? Sudah tidak sakit?" Micha mengernyitkan alis bingung. Memangnya tubuhnya terluka? Jee mendengus.

Oh iya, dia kan lupa ingatan! Jee menepuk dahinya. Dia merutuki dirinya.

"Saat aku menemukanmu, sebuah pisau kecil sudah menancap secara tidak aestetiknya di betismu," ucap Jee. Micha membola. Dia langsung memeriksa kedua betisnya.

Dia meringis melihat lukanya. Sudah agak mengering sih. Tapi, pasti akan meninggalkan bekas. Dia cemberut. Apa memang begitu mengerikan ya hidupnya dulu? Astaga. Semakin dipikir, ini semakin rumit.

"Aku akan berjalan sendiri. Kau duluan saja," ucap Micha. Jee menatap gadis itu dengan tidak yakin. Beberapa detik kemudian dia mengendikkan bahu. Lalu beringsut meninggalkan Micha sendirian. Tidak benar-benar meninggalkannya sih. Jee berdiri menunggu di depan kamar hingga gadis itu keluar.

"Akh!" Jee buru-buru menghampiri gadis itu. Perlahan membantunya untuk duduk di pinggiran ranjang. Gadis itu meringis. Kakinya masih nyeri. Ditambah katanya dua minggu penuh tidak menapakkan kakinya di lantai.

"Dasar! " Micha cemberut. Dia kan tidak mau merepotkan Jee.

"Appa! Ayo! Aku sudah lapar!" teriak Eri. Gadis cilik itu cemberut. Lama sekali ayahnya itu. Dia kan sudah lapar.

"Ne, sebentar lagi," ucap Jee. Lalu tanpa aba-aba dia menggendong Micha ala bridal style. Micha kaget. Astaga! Dia memandang Jee dengan tatapan... Woah! Pria ini ternyata kuat juga menggendong dirinya. Mengingat tinggi pria itu dengan dirinya hampir sama. Mungkin hanya terpaut sepuluh atau sebelas senti dari dirinya.

Ya... Tinggi tidak menentukan besarnya tenaga seseorang.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



730 Days My LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang