Eps. 9. Market

42 11 0
                                    

"Ahjumma bawang merah setengah kilo, bawang putih setengah kilo, bawang bombai setengah kilo juga, " ucap Micha sambil membaca catatan belanja di tangan kanannya. Sedangkan di tangan kirinya masih menggandeng Eri.

"Oh iya nona. Sebentar ya, " ucap ahjumma penjual itu dengan ramah. Dengan gerakan cepat menimbang lalu memasukkan bawang pesanan Micha tadi ke dalam kantong plastik putih kecil.

"Maaf... Itu bukannya bawang ungu? " tanya Micha sambil menunjuk bawang merah. Ahjumma tadi masih tersenyum.

"Ne? Ini memang namanya bawang merah nona, " ucap ahjumma itu sambil tersenyum. Micha menggeleng. Masa warnanya ungu kok namanya bawang merah. Jangan harap bisa membodohi dia. Dia juga tidak buta warna ya!

"Tapi, ini warna ungu ahjumma," ucap Micha menaikkan satu oktaf suaranya. Eri menepuk dahinya sambil menutupi wajahnya. Ahjumma itu menarik napas panjang. Dia harus ekstra sabar kalau melayani pelanggan yang model begini.

Astaga! Micha eonni bikin malu saja!

"Iya, warnanya ungu tapi, namanya bawang merah. Kau bisa mencari tahu di internet bentuk dari bawang merah," ucap ahjumma itu dengan gertakan giginya sambil memaksakan mengulas senyumannya. Dia beringsut mengambil ponselnya. Mengetik sesuatu di kolom pencarian internet.

"Ini bentuk bawang merah nona. Sekarang kau percaya padaku kan? " ucap ahjumma itu sambil menyodorkan ponselnya. Micha mengangguk. Tapi, dalam hati dia masih tidak setuju mengenai nama bawang merah ini.

Pasti yang memberi nama bawang merah buta warna. Jelas-jelas warnanya ungu! Dan juga salahkan Jee juga! Pria itu bahkan tidak pernah membeli bumbu-bumbu dapur seperti ini. Makanya dia tidak tahu!

Biasnya pria itu akan menyetok ramyun berbagai rasa untuk hariannya. Kalau tidak ya makan di luar. Benar-benar pria yang tidak mau repot di dapur.

Ingatkan dia! Jika Jee menyuruhnya ke pasar lagi, dia tidak akan membeli bawang di sini lagi. Ahjumma itu sudah terlanjur tahu wajahnya! Disaat seperti ini dia ingin memiliki super power penghapus ingatan saja. Huh!

"lima ribu Won," ucap ahjumma itu sambil menyodorkan bawang pesanan Micha. Dia menyambar kantong itu lalu menyerahkan beberapa lembar uang kertas. Dia tersenyum sambil agak membungkukkan badannya.

"Ya! Aish! Wanita jaman apa dia?! Bahkan dia punya anak, masih tidak bisa mengenali bawang merah! Ya! Ya! Aigoo," omel ahjumma itu sambil menunjuk-nunjuk Micha yang tengah berjalan menjauh dari kedainya. Dia menatap miris setelahnya.

.
.
.
.

"Appa! Tolong Micha eonni! " Teriak Eri lantang dari bibir pintu. Gadis cilik itu nampak sudah sesegukan sambil menggandeng tangan Micha. Sedangkan Micha hanya menampakkan ekspresi biasa saja. Bagaimana ya? Sepertinya cenderung biasa saat mendapat luka ketika baku hantam. Apa dia dulu petinju? Atau guru beladiri? Mungkin saja.

"Memangnya kenap—. YA! MICHA! KAU KENAPA? Aish! Duduk dulu. Aku akan ambilkan kompres. Eri–ya. Tolong bantu dia Eri, " ucap Jee. Dia melesat dengan cepat mengambil beberapa buah es batu kemudian membungkusnya dengan selembar saputangan. Menyodorkan itu kepada Micha.

"Kau ini! Jangan macam-macam jika masih ingin tinggal denganku. Jangan membuat masalah. Atau nanti aku yang akan kena imbasnya," oceh Jee. Oh ini alasannya mereka pulang terlambat? Menjadi preman dulu ternyata.

Atau... Sedang menjadi pahlawan kesiangan?

"Lihat ini! Warnanya sangat ungu. Pasti rasanya kebas kan?" ucap Jee sambil menunjuk luka lebam di area pipi yang tampak berwarna merah keunguan. Jee meringis dalam hati. Bagaimana bisa seorang perempuan hanya menampilkan raut datar saat sedang terluka parah seperti ini? Dia bukan reinkarnasi Hulk kan?

"Bagaimana kau bisa menjadi petinju dadakan seperti ini?! Coba ceritakan!" titah Jee. Micha hanya merotasikan bola matanya malas. Meladeni orang cerewet seperti Jee hanya akan membuang tenaga.

Seperti tidak tahu keadaan saja. Mulutnya masih terasa kaku dan sedikit rasa perih saat dibuat berbicara. Dan bisa-bisanya pria ini mengoceh seperti seorang ahjumma pasar?

"Bagaimana aku bisa cerita kalau kau terus mengoceh padaku seperti itu?! " teriak Micha kemudian meringis memegang sudut bibirnya. Dia dalam hati merutuki perbuatannya. Dibuat bicara saja sudah sakit. Dia tadi malah berteriak. Ini kiamat baginya.

Jee langsung menutup rapat bibirnya. Si kecil Eri hanya menyimak perdebatan dua orang dewasa ini sambil memakan kuaci yang ada di meja tamu. Mungkin Jee tadi membeli kuaci itu saat pulang.

Gimana?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gimana?

Moga kalian suka 😊😊😊

730 Days My LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang