Mencintaimu itu sederhana Faraz. Mungkin, bukan karena kamu tidak cukup pantas, hanya saja aku yang tidak cukup siap.
-Feeda-🌻🌻🌻🌻🌻
Matahari tergelincir kearah barat. Biru bertukar semburat oranye. Hembusan angin berembus halus bertiup didepan wajah cantik Feeda. Feeda membenarkan letak poninya yang berantakan. Taman bunga itu belum sepenuhnya jadi, begitu kata Faraz. Padahal sudah cukup indah bagi Feeda.
"Aku mau langsung pulang."
"Saya antar naik mobil saja ya." Ucap Faraz sembari mengunci kembali pintu taman bunda buatannya tersebut.
"Aku bisa naik angkot."
"Oke kalau begitu saya ikut." Putus Faraz tanpa meminta persetujuan lagi.
Sesaat kemudian, Faraz memberhentikan sebuah angkot biru dan Feeda duduk disampingnya. Feeda fokus pada ponselnya dan memasang headset memutar lagu-lagu Tulus.
"Feeda ...." Panggil Faraz pelan, "Lihat ini." Tunjuk Faraz pada salah satu sudut belakang angkot yang mereka tumpangi. Terlihat sebuah kalimat manis, 'Feeda itu milik Faraz, jangan diganggu gugat!'
Akan jadi hal yang menyenangkan dan romantis untuk orang lain tapi tidak bagi Feeda. Feeda malah melotot tajam dan menyeringai ganas, "Itu kan spidol permanen! Ngapain kamu tulis disitu? Dimarah abangnya baru tahu rasa!" Omel Feeda yang membuat penumpang lain ikut memperhatikan mereka dan ikut ikutan tersenyum. Faraz sendiri cuma senyum-senyum kecil menikmati ocehan Feeda.
Saat tepat didepan rumah Feeda. Faraz berteriak 'kiri' dan angkot biru saksi bisu ocehan Feeda hari itu pun berhenti.
"Biar saya saja yang bayar." Ucap Faraz mengeluarkan dualembar uang seratus ribu rupiah. "Bang, tulisan dideket salon musik belakang jangan dihapus ya. Kembaliannya ini buat abang saja."
"Tulisan apa iyeu teh?" Abang sopir angkot mengengok kebelakang salon, "Haha ... Ikrar cinta bukan? Siap-siap pak boss!"
Feeda yang mendengar sendiri percakapan itu makin gemas saja. Kenapa hari ini begitu menyenangkan sekaligus menyebalkan. Ini semua karena Faraz. Feeda merasa perasaannya semakin tak keruan.
"Kamu marah?" Tanya Faraz dengan hati-hati.
"Kenapa kamu bisa terus melakukan apa yang kamu mau lakukan dengan seenaknya?"
"Maksudnya?"
"Ya ... Kejadian hari ini saja contohnya. Kamu ajak aku main sepeda, kenalan dengan kak Ido dan kak Yna, taman itu dan tadi kejadian di angkot. Kenapa semuanya selalu atas dasar kehendakmu, Faraz?" Emosi Feeda meluap-luap.
"Feeda ..." Faraz melepas headset yang menempel ditelinga Feeda. Berdiri tepat didepannya lalu berkata lirih, "jawabannya akan tetap sama. Kalau pertanyaanmu selalu 'kenapa' maka jawaban saya akan selalu 'karena kamu'. Cuma itu yang bisa saya ucapkan Fee."
"Yaa ... Tujuanmu apa? Hanya ingin mendapatkan hatiku lalu mematahkannya? Iya begitu?"
"Fee ... Mana bisa saya mematahkan dan menyakiti hatimu."
Feeda mengusap wajahnya gusar. "Faraz, sebaiknya kamu pulang. Sudah mau Maghrib." Feeda masuk kedalam rumahnya tanpa menoleh lagi kearah Faraz.
Terkadang memahami perasaan sendiri begitu sulit bagi Feeda. Disatu sisi ia bahagia sekali dengan segala kejutan dan kelakuan Faraz yang menurutnya sederhana dan tulus. Tapi disatu sisi ia meragu. Bukan meragu pada Faraz dan perasaannya. Tapi pada dirinya sendiri, pada perasaannya sendiri.
🌻
Faraz tidak langsung pulang, ia cemas kalau ternyata Feeda betul-betul marah atas kejadian diangkot tadi. Alhasil ia menelepon Feeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
FARAZ & FEEDA
Teen FictionKepulangan tidak selalu membahagiakan untuk Feeda. Kembali tidak selalu hal yang menyenangkan untuknya. Feeda yang terbiasa sendiri harus menerima kalau ada seseorang yang ingin menjadikannya rumah. Faraz laki-laki yang tidak pernah menyangka bisa...