part 20

42 7 0
                                    

20
***
Suara temaram menyelimuti sekelompok remaja yang tengah menari di lantai dansa. Musik mengentak, asap roko serta dry ice memenuhi ruangan besar itu. Semua orang bersenang-senang di sana saat ini, tak terkecuali dua orang yang tengah duduk berhadapan di depan meja bartender. Seorang pemuda berperawakan tinggi duduk bersama temannya.

“Elvan, lo udah minum berapa kali sih? Udah, Van. Jangan nyiksa diri lo terus kayak gini.” Gabino menyingkirkan gelas minuman yang ada di meja.

Namun, Elvan mengabaikan Gabino yang sejak tadi menemaninya dan kembali mengambil gelas yang berisi minuman tersebut. Temannya itu hanya geleng-geleng melihat kelakuan Elvan. Dalam gumamnya dia terus menyebutkan nama Zia.

“Udah, Mas. Dia jangan dikasih minum terus. Entar dia muntah,” ucap Gabino pada bartender di depannya. “Mending kita pulang.” Gabino mengajak Elvan keluar dari ruangan tersebut.

Elvan mengangguk. Dia sudah nyaris tidak bisa membedakan siapa yang berdiri di depannya. Pandangannya mulai mengabur, dan jalannya agak sempoyongan.

Dia pikir dengan begini, Zia akan keluar dari pikirannya. Zia akan berhenti membuat Elvan merasa bersalah karena menyakiti gadis itu. Zia akan berhenti membuatnya membenci diri sendiri. Namun tidak, Zia masih berdekam di sana. Masih menangis tersedu dalam benak Elvan. Masih memohon kepada Elvan dengan tubuh gemetar ketakutan.
Gabino tau, Elvan sangat mencintai Zia. Mendengar Elvan meracau tidak jelas, membuat pemuda itu bingung menghadapinya.

“Cewek masih banyak, Elvan! Saatnya lo lupain dia, biarin dia bahagia. Dengan lo, dia malah makin terluka!”

“Lo enggak tau apa-apa tentang gue dan juga dia. Jadi mending lo diem!”

“Terus aja lo kayak gini! Lepasin dia, Van. Lo mau dia bahagia kan?”

Pemuda itu sudah memejamkan matanya, dia tak lagi memperdulikan orang-orang di sekitarnya. Selalu satu nama yang dia sebut.

Kenzia.

***

Seorang pemuda berjalan keluar dari rumahnya dengan wajah masam. Dia dengan cepat berjalan menuju mobilnya, tak peduli tetes-tetes air hujan membasahi pakaian dan rambutnya.

Pemuda itu memasuki mobilnya. Namun, alih-alih menyalakannya di malah sibuk dengan handphone-nya. Tampak jelas dia sedang berusaha menghubungi seseorang, menyentuh huruf-huruf untuk merangkai kata agar si Gadis yang dihubunginya membalas pesan-pesan itu, tetapi hasilnya sama: nihil. Gadis itu sama sekali tidak merespons.

Pemuda itu berdecak kesal seraya mengumpat, lalu menstarter mobilnya. Dia harus menemukan gadis itu. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, dan dia mulai berjalan menuju sebuah kafe. Namun, gadis itu tidak ada di sana.

Lagi, dia mencoba mencari gadis itu tempat lain, namun lagi-lagi nihil. Kesal, dia mulai memicu kendaraannya lebih cepat. Bahkan hujan sekalipun tak mampu mendinginkan amarahnya. Selain karena sahabatnya tak kunjung pulang dan tak bisa dihubungi, dia juga baru saja bertengkar dengan kedua orangtuanya.

Dia tahu. Ini sudah kesekian kalinya mereka memaksa Ali untuk mengurus bisnis mereka. Berkali-kali juga dia menolak. Dia hanya tidak percaya bahwa mereka hanya peduli dengan uang dan bisnis. Tak pernah peduli dengan anaknya. Lalu untuk apa dia ada? Bukankah anak adalah permata bagi kedua orangtuanya? Sayangnya, Ali tak pernah merasa seperti itu.

Belum lagi sebelumnya, dia bertengkar dengan Elvan hingga baku hantam diantara keduanya terjadi. Ali tak habis pikir dengan cowok itu, mengapa dia selalu saja memperlakukan sahabatnya seakan dia itu sebuah mainan.

Hal sepele kadang mampu membuat hidup seseorang berantakan. Hal yang sepele kadang mampu menghancurleburkan sebuah hubungan. Begitu pun dengan Elvan dan Ali. Lucunya, keduanya dulu adalah sahabat akrab, tak seperti sekarang.

Keduanya, dulu saling mendukung satu sama lain. Bukan saling menjatuhkan seperti sekarang. Ali sudah melepaskan Zia kepada Elvan, dengan harap dia bisa menjaga sahabat perempuannya itu. Walau keputusan itu menyakiti hatinya.
Benar memang, rasa sesal selalu datang di akhir. Sekarang, Ali menyadari keputusannya melepaskan Zia untuk Elvan adalah keputusan yang buruk. Cowok itu tak pernah bisa membuatnya bahagia, hanya memberi luka.

Namun, hal pertama yang harus dia lakukan adalah menjemput sahabatnya itu. Ali mengemudikan mobilnya gila-gilaan menuju kafe yang terletak di bagian atas kota itu. Seraya menyetir, sebelah tangannya mulai mengetik serentetan pesan buat Zia.

Ali: gue bakal nyariin lo sampai ke mana pun itu, dan gue bakal nemuin lo.
Ali: dan kalau gue nemuin lo dalam keadaan nangis lai, gue gak janji si Elvan bakal bertahan ngelewatin malam ini.
Lantas, Ali mengalihkan pandangannya menuju jalanan.

Namun, semuanya sudah terlambat. Sebuah mobil truk melaju kencang ke arahnya dari sebelah kanan, dia tidak punya kesempatan untuk membanting setirnya agar bisa menghindar.

Mobilnya terguling-guling karena dorongan dari truk tersebut. Semuanya hancur, tak terkendali.

Pemuda itu hanya bisa merasakan semuanya berputar-putar serta berbagai benda menggores dan melukai kulitnya. Lalu semuanya memudar dan Ali lenyap dalam ruang hitam yang tak berujung.

Dan..

“Huft, cuma mimpi ternyata,” ucap pemuda itu. Lalu menengok ke arah jam yang menujukkan pukul delapan pagi. Dia sudah janji akan menjemput Zia di sebuah kafe sesuai janjinya malam tadi.

Dia pun bergegas keluar dari kamarnya.

Tbc~

You Wan't Understand [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang