Selamat membaca!
***Hujan deras ditambah kilatan petir, mengantar Ali pulang ke rumah Zia sambil membuka kaca helmnya. Cowok itu mengedarkan pandangan karena rumah itu sepi. Tidak ada satu pun orang terlihat. Hanya ada kendaraan-kendaraan yang terparkir di garasi rumahnya.
Ali memencet bel berkali-kali sambil menghalau air hujan yang membasahi tubuhnya. Namun tak ada yang keluar. Ali memilih untuk menunggu sebentar di depan rumahnya Zia. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan menghubungi Zia, namun tidak aktif. Berkali-kali ia mencoba menghubunginya bahkan mengirim pesan namun sama sekali tak ada balasan dari Zia.
"Lo ke mana sih, Zi?" gumam Ali mengigil, khawatir hujan akan semakin deras.
"Eh, Den Ali?" sapa Bi Diah sesaat setelah membukakan pintu rumah.
"Bi, mau tanya Zia udah pulang?" tanya Ali terus terang.
"Non Zia belum pulang, Den. Saya kira lagi sama den Ali," jawab Bi Diah.
"Hah? Belum pulang?" Ali terkejut mendengar jawaban asisten rumah tangganya Zia. "Kalau begitu, saya pergi dulu, Bi. Mau cari Zia." Cowok itu melajukan motornya pergi menjauh di mana pun Zia, Ali harus menemukannya.
Sampai malam hari pun ternyata Ali tak menemukan Zia. Dia kembali kerumahnya, namun tetap saja belum pulang. Ali merasa tidak tenang. Ia nyaris gila karena tak menemukan Zia.
Zia lo di mana?
Ali mengedarkan pandangannya ke sekitar gerbang rumah Zia. Terdapat seorang gadis basah kuyup menuju ke arahnya.
"ZIA?!"
***
"Apa yang terjadi, Zi?"
Ali terdiam menatap Zia yang basah kuyup. Hendak memarahi pun tak sanggup rasanya. Gadis itu basah, meninggalkan jejak becek di lantai tempatnya berdiri. Karenanya, tetes air matanya tersarukan begitu saja.
Namun, bukan Ali kalau dia tak mampu melihat retakan di mata sahabat perempuannya itu. Pemuda itu menghela nafas. "Lo habis..."
Kata-katanya terhenti begitu saja, saat Zia menubruknya, memeluk erat lalu mulai terisak lagi sambil sesekali terbatuk. Ali tak mampu menolak. Meski tubuhnya ikut basah kembali karena menyerap air dari pakaian Zia. Dia tetap memeluk sahabatnya itu. Seolah merasakan sakit yang gadis itu rasakan.
Sudah ke dua kalinya. Ya, dua kali usaha Zia meminta maaf kepada Elvan terbuang sia-sia. Jangankan diberi kesempatan untuk berbicara, Elvan bahkan hanya membaca pesan yang dia kirimkan tanpa membalasnya barang sehuruf pun.
Zia menangis tersedu. Tidak, jangan bayangkan Zia lemah. Sejak Elvan mengacuhkannya saat itu, memotong ucapannya tadi di rumahnya, tidak membalas pesannya, dan membuat dia menunggu berjam-jam yang berakhir sia-sia di sebuah cafe tempat favorit mereka dulu, Zia belum pernah menangis.
Tidak sekali pun. Namun, dia menangis kali ini. Hari di mana dia menunggu Elvan berjam-jam sampai cafe nyaris tutup dan dia di usir keluar oleh waiters-nya, lalu berjalan di bawah hujan badai yang deras pada malam dingin ini, sendirian.
Katakan, hati perempuan mana yang tidak hancur?
Dia telah berusaha. Berjuang dengan segala kemampuannya hanya untuk meminta secercah simpati Elvan, memaafkannya atas apa yang terjadi. Bahkan untuk sesuatu yang tak pernah Zia lakukan.
Dia tidak peduli dengan semua yang hari ini menimpanya, ia bisa untuk tidak peduli dengan ucapan orang lain. Tapi tidak dengan Elvan. Dia harus bisa meyakinkan Elvan bahwa apa yang dia lihat bukan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, kembali lagi. Elvan telah di butakan oleh kenyataan tanpa mau tau seperti apa di baliknya.
"Udah, Zi," ujar Ali geram. "Lo udah berusaha cukup keras, dan dia enggak ngerespons. Antara dia pengecut atau dia emang gila."
Zia melepaskan pelukannya, lalu menatap sahabatnya tak mengerti.
"Mungkin dia cuma main-main sama lo dari awal," tambah Ali.
Batin Zia berdenyut sakit. Jadi ..., benarkah? Benarkah selama ini Elvan hanya bermain-main dengannya.
"Zi, percaya sama gue. Kalo dia beneran sayang sama lo, kenapa dia gak bisa percaya sama lo? Kenapa dia lebih percaya sama foto itu?"
"Tapi..." Zia menjawab.
"Seenggaknya, dia bersedia denger penjelasan dari lo. Tapi ini? Dia sama sekali gak ngebuka pintu kesempatan buat lo. Ada dua alasan dari itu. Pertama, dia bosen. Dia mau mutusin lo, tapi dia pengecut. Jadi, dia ngehindar, dengan harapan lo bakal capek sendiri kemudian mutusin dia. Kedua, karena dia benar-benar enggak ngerasa pernah niat sama lo. Karena dia benar-benar enggak pernah ngebangun apa pun sama lo. Dia enggak ngerasa ada yang perlu di selesain. Jadi, dia menjauh gitu aja."
Dan gadis itu berdiri terpaku di tempatnya. Tidak mungkin. Tidak mungkin Elvan sejahat itu kepadanya. Tidak mungkin yang mereka bangun selama ini hanya ilusi semata.
"Gue enggak percaya," ujar Zia.
Ali menghela nafas lelah. "Dia udah acuhin lo dua kali. Apa lagi yang nggak lo percaya, Zi?!"
"Mungkin dia ..."
"Apa? Mungkin dia juga yang edit foto itu buat di jadiin alasan dia buat pergi dari lo?"
"ALI?!" Mata Zia berkaca-kaca. Dia tahu, sangat tahu, bahwa apa yang dilakukan sahabatnya ini adalah untuk melindungi Zia dari rasa sakit.
Namun, Zia tidak bisa ..., tidak sanggup memercayainya sampai Elvan mengatakannya langsung.
"Gue gak ngerti. Harusnya, saat ada yang bikin lo sakit, lo menjauh dari rasa sakit itu, Zi," lanjut Ali. "Tapi lo? Lo malah mendekat. Itu sama aja lo kayak meluk kaktus berduri, Zi."
Zia terkekeh, memang kenyataannya itu. Tapi dia bisa apa?
"Hidup lo bukan untuk Elvan, Zia. Banyak hal yang harus lo perhatiin juga. Contohnya sekarang, lo mau bilang apa sama orangtua lo kalo lo di DO dari sekolah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
You Wan't Understand [TAMAT]
Teen FictionKenzia Ratu Ofelia, si gadis yang hidupnya penuh dengan lika-liku. Mulai dari permasalahan keluarganya, hingga kisah asmaranya dengan seorang pria yang sangat ia cinta, Elvan. Disisi lain, Alister. Sahabatnya, menginginkan dia lebih dari seorang sa...