***
“Ini bener, lo? Alister!” Gibran histeris. “Tapi, lo kan ada di sana, jangan-jangan lo ...”
“Apa?” Ali melototi Gibran.
“Alhamdulillah...” Gibran menubruk Ali, begitupun sebaliknya. Keduanya begitu riang, ternyata ada juga yang bisa melihat Ali.
Beberapa orang di sekitar Gibran, memperhatikannya. Ada yang berbisik, beberapa diantaranya bergidik. Gibran lupa, bahwa hanya dia yang dapat melihat Ali saat ini. Refleks, Gibran menghentikan perlakuannya.
“Jangan di sini, gue bisa di kira gila.” Gibran pun pergi bersama Ali. Keluar dari rumah sakit, dan pergi entah mau kemana.
***
Two and a half weeks later...
Ali masih saja belum bangun. Kondisinya masih sama, tidak ada perkembangan dan juga tidak ada penurunan. Peralatan medis masih menempel di tubuhnya. Zia setiap hari selalu datang ke rumah sakit itu, bahkan dia rela selalu pulang malam hanya untuk menemani Ali. Sepi, itulah kehidupan Zia sekarang. Rasanya ia ingin pergi ke keramaian, lalu menumpahkan semua kesedihannya di sana.
Pagi ini Zia sudah bersiap untuk sekolah, dia kali ini selalu berangkat bersama Syafira. Biasanya, Zia selalu berangkat bersama Ali. Cowok itu selalu rajin menjemputnya. Entah sampai kapan Ali akan terus terbaring di sana.
Zia sedang membuka lokernya yang sangat susah. Dia berniat untuk membereskan kembali lokernya, yang sudah lama tak ia sentuh. Sejak malam kelabu itu, Zia tak pernah lagi mau tau tentang Elvan. Baginya sudah terlalu lelah untuk selalu peduli dengan cowok itu.
Zia tidak marah pada Elvan. Sejujurnya, rasa marah atau benci sekalipun tidak cukup untuk mendeskripsikan apa yang dia rasakan pada Elvan.
Dia bukan lagi sosok cowok yang selalu Zia rindukan. Dia bukan lagi sosok cowok yang selalu ia nantikan kehadirannya. Dia hanya cowok egois yang sok jaim, yang selalu menyalahkan orang lain, padahal dia sendiri salah. Dan karenanya, dia membuat orang terlihat lemah.
Elvan membuat Zia terlihat lemah. Elvan membuat Zia terlihat rapuh, hancur. Elvan membuat Zia terlihat mengemis akan kehadiran dia di sampingnya. Zia tidak mau bohong, Zia berharap Elvan datang menjenguk Ali. Zia berharap Elvan datang saat itu, paling tidak, untuk ikut iba atas apa yang terjadi pada Ali. Tapi, apa? Elvan tidak pernah ada di sana. Elvan tidak pernah ada di saat Zia butuh.
Zia capek di dustai oleh Elvan. Zia capek di beri janji-janji saja. Zia capek bergantung pada seseorang karena pada akhirnya orang itu akan pergi dan membiarkan Zia jatuh sendiri.
Selama sebulan itu, Zia belajar bagaimana caranya bangkit untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Zia belajar bagaimana untuk tidak bersender pada siapa pun, tidak Ali, tidak syafira, tidak Elvan, bahkan orang tuanya sendiri.
Zia belajar caranya jadi kuat. Dan itu berhasil.
Dia mungkin sudah hancur. Tapi, Zia belajar satu hal dari itu. You can’t break what’s al ready broken. Kita tidak bisa merusak apa yang telah rusak. Kita tidak bisa memecahkan apa yang telah pecah. Zia tidak mau membiarkan Elvan menang dengan menghancurkannya lebih dalam.
Elvan sudah tidak mempunyai hak atas Zia. Mulai detik ini, Zia adalah Zia. Dia bukan milik siapa pun selain dirinya sendiri. Zia tidak peduli, apa pun yang terjadi. Zia sudah lelah menangis. Menangisi Ali, Elvan dan juga hidupnya yang mengenaskan ini.
Zia mengisi ulang lokernya. Dia membuang sampah-sampah yang diantaranya adalah kertas-kertas ulangan yang nilainya anjlok, kertas contekan, bungkus coklat yang entah sudah berapa abad ada di sana, beberapa foto polaroid yang entah kapan diambilnya. Kebanyakan foto Zia dengan Elvan, tapi ada juga fotonya dengan Ali, Keisha, Gentari, Agatha.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Wan't Understand [TAMAT]
Teen FictionKenzia Ratu Ofelia, si gadis yang hidupnya penuh dengan lika-liku. Mulai dari permasalahan keluarganya, hingga kisah asmaranya dengan seorang pria yang sangat ia cinta, Elvan. Disisi lain, Alister. Sahabatnya, menginginkan dia lebih dari seorang sa...