Bab 1 : Mengakhiri

20.9K 257 2
                                    

***

Mencintai seseorang seharusnya berada pada konteks yang bisa dimengerti manusia. Namun nyatanya cinta tidak punya logika. Cinta akan mendorong kita pada jalan yang semestinya tidak pernah kita lalui. Aku mengikuti alur cintaku dan tanpa aku sadari aku telah jatuh ke dalam jurang yang menghancurkan diriku sendiri. Tidak, bukan hanya diriku tetapi juga orang-orang di sekelilingku.

"Jadi bagaimana Mas? Apa yang harus kita lakukan?" Aku bertanya pada Romeo, menantuku yang kini duduk berhadapan dengan aku. Romeo terlihat sangat frustrasi akan hubungan kami yang rumit. "Aku tidak tahu, Hana," bisik Romeo. Dia masih menggenggam tanganku dengan begitu eratnya.

Sama seperti Romeo, aku pun tidak tahu mesti melakukan apa.  Aku sudah egois menjalin hubungan gelap dengan suami putriku, Olivia. Dulu aku menikah muda. Aku berusia 17 tahun ketika tanteku menjodohkan aku dengan pria berumur 40 tahun bernama Wahyu. Sampai lahirlah putri tunggal kami, Olivia. Aku sudah berumur 35 tahun sementara suamiku 57 tahun. Olivia dipinang oleh Romeo. Saat itu, Olivia juga berumur 17 tahun. Aku tidak mau putriku memiliki nasib yang sama dengan diriku.

Aku punya pengalaman pahit menikah dengan pria dewasa. Dulu, aku menikah dengan Mas Wahyu yang lebih tua, alhasil aku menunjukkan sikap kekanakan-ku pada suamiku. Sampai akhirnya, Mas Wahyu berpaling pada wanita lain. Aku bersabar sampai Olivia masuk SMA. Kejadian terus berulang-ulang. Pada akhirnya aku memutuskan untuk bercerai. Sekarang kami sudah tidak punya masalah namun aku cukup trauma dengan pernikahan dini.

Tadinya aku tidak mendukung pernikahan Olivia dan Romeo karena aku merasa menikah muda tidaklah menyenangkan. Aku mau putriku menikmati masa gadisnya dulu, melepaskan semua sikap kekanakan yang dia punya. Olivia memohon agar aku mewujudkan keinginannya saat itu. Aku tidak punya pilihan selain merestui hubungan dia dengan pria yang 5 tahun lebih muda dariku. Romeo berumur 30 tahun.

Aku bilang pada putriku untuk tidak buru-buru memprogramkan anak. Tetapi semua yang aku perintahkan bagaikan angin lalu. Olivia dan Romeo dikarunia anak laki-laki setahun setelah mereka menikah. Di awal pernikahan mereka baik-baik saja. Namun lama kelamaan Olivia mengulang kesalahan yang sama seperti yang kulakukan.

Setiap kali aku mampir ke rumah mereka. Aku sering mendapati Olivia memarahi suaminya untuk masalah-masalah sepele. Misalnya lampu yang tiba-tiba mati dan Romeo belum mengganti lampu itu, atau masalah seperti Romeo menegur istrinya agar lebih hemat. Dan pada akhirnya perempuan selalu merasa benar. Olivia dan suaminya bertengkar seperti anak kecil.

Mereka mengabaikan anak mereka, Aryan. Aku menyarankan agar Aryan tinggal denganku. Namun Olivia bilang kalau sebaiknya aku tinggal di rumah mereka. Aku tidak punya pilihan karena kebetulan aku tinggal sendiri. Dan aku sering diganggu bapak-bapak kompleks. Mereka kira aku janda gampangan.

Baru sebulan tinggal di rumah putriku, aku merasa keadaan semakin tidak kondusif. Romeo sibuk bekerja sampai lupa istrinya sedang ulang tahun. Olivia merajuk, dia mengamuk ke Romeo. Aku tidak tahan dengan situasi mereka. Jadi kusarankan agar mereka introspeksi diri selama beberapa hari. Jika ada waktu, aku nasihati mereka. Aku bicara empat mata di kedua belah pihak.

Aku dekati putriku persuasif, begitu pun dengan Romeo. Aku berniat baik tetapi ada pihak yang menyalah-artikan perhatianku. Romeo haus akan perhatian. Dan ketika aku berikan itu, dia berpikir aku menyukainya. Aku tegaskan pada Romeo kalau hubungan kami hanya sekadar menantu dan mertua. Kendati selisih umur kami berjarak 5 tahun.

Romeo tidak kehabisan akal. Suatu malam dia jebak aku dengan minuman. Dan akhirnya dia memaksaku melakukan itu di dapur. Aku menangis pada saat itu. Aku menjauhi Romeo tetapi dia selalu datang padaku. Dia tidak menyerah sampai aku merasa luluh. Aku membuka hatiku padanya sebab aku tahu seperti apa kehidupan rumah tangganya dengan Olivia. Aku merasa dia butuh mainan, dan aku pertaruhkan diriku sebagai mainan barunya.

Ini sudah dua bulan hubungan gelap kami. Aku merasa ini salah. Aku tidak mau menyakiti putriku. Aku ajak Romeo bertemu di kafe dan membicarakan kelanjutan hubungan kami. "Ini terakhir kalinya kita bertemu, Mas. Aku tidak mau Olivia patah hati. Dia putriku. Takkan kubiarkan dia terluka," gumamku. Ini saatnya bagiku mengakhiri hubungan terlarang kami.

"Apa kita tidak bisa teruskan saja? Toh, Olivia tidak akan tahu. Aku sangat sayang sama kamu, Hana." Romeo mencium jari-jemariku. Cepat-cepat aku melepaskan jariku yang dipegangnya. "Tidak! Sadarlah, Romi. Kau punya Aryan. Kau punya Olivia. Mereka adalah tanggung jawabku bukan aku," kataku.

"Aku dan Olivia tidak bisa bersatu lagi. Kami sudah tidak pernah menghabiskan malam bersama." Romeo menatapku serius. Aku tersentak. Apa maksud Romeo? Dia bilang dia dan Olivia sudah tidak melakukan itu? Apa itu artinya selama ini akulah yang menggantikan posisi putriku? Ini tidak mungkin terjadi.

"Kau bohong 'kan? Kalian tidak mungkin seperti itu?" Aku pikir aku hanya permainan, hanya fantasi Romeo semata. Akan tetapi ini lebih dari yang aku duga. Romeo tidak pernah main-main dengan aku. Dia serius dengan semua yang dia ucapkan kepadaku, dengan semua perbuatannya padaku. "Aku serius, Hana. Kita seharusnya bersama. Kalau kau setuju, mungkin kita seharusnya--,"

"Seharusnya apa?"

Aku tidak cukup paham maksud Romeo. Dia memejamkan matanya. Dia berat mengatakan itu, aku amati Romeo menghela napas dan berkata, "Kita seharusnya menikah segera. Aku akan urus perceraianku dengan Olivia."

Aku menggeleng keras. Apa kata orang? Seorang mertua telah merebut menantunya dari putri kandungnya sendiri. Aku tidak bisa melakukan itu. Kendati kami beberapa kali berbuat serong di suatu tempat, itu tidak berarti kami menikah di hadapan semua orang. "Tidak. Kau pasti bercanda 'kan, Romi? Ini tidak mungkin terjadi."

Sebutir air mata membasahi pipiku. Aku menginginkan Romeo tetapi dia bukan milikku. Dia punya Olivia, dan akan selalu seperti itu. Apa yang harus aku lakukan. Aku sama sekali tidak mengerti harus berbuat apa. "Mengapa kau menangis? Kumohon, jangan menangis, Hana," bisik Romeo. Dia mengusap air mataku lembut. Aku takut atas apa yang sudah aku lakukan. Ini berat untukku.

"Jangan sakiti putriku, Romi. Kita putus malam ini, Oke?" Meskipun aku tidak mau melepas Romeo, aku akan mencoba melakukan itu. Aku tidak bisa jadi penghalang kisah cinta putriku. "Hubungan kau dan Olivia akan baik-baik saja," tegasku. Aku tidak bisa menerima kenyataan. Aku mengutuk diriku yang telah mengikuti kata hatiku.

"Apa kau tidak mencintaiku, Hana? Mengapa kau mempermasalahkan masalah yang sebenarnya bukanlah masalah besar? Kita hanya akan berkencan sembunyi-sembunyi. Itu tidak akan menyakiti siapa-siapa." Romeo sedang menghibur dirinya sendiri, berusaha mengklaim bahwa hubungan kami bukanlah kesalahan.

"Aku mencintaimu tetapi bukan berarti aku mau kau menyakiti putriku. Aku tidak bisa melakukan itu. Kita harus putus hari ini." Aku tegas pada Romeo. Aku tinggalkan dia sendirian di kafe walaupun dia masih ingin bicara padaku. Ini salah, dan aku harus mengakhiri semua ini.

See u next time!

Instagram : sastrabisu

Suamiku adalah MenantukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang