Bab 2 : Ketahuan

12.8K 181 5
                                    

***

Aku menjauhi Romeo setelah pertemuan kami terakhir kali. Aku tegaskan padanya kalau kami tidak boleh berhubungan lagi. Aku melakukan itu demi menjaga keutuhan rumah tangga putriku, Olivia. Setiap kali Romeo pulang kerja, aku sengaja tidak menampakkan diriku karena aku memang tidak mau menemuinya saat ini.

Aku menduga Romeo akan menyerah namun ternyata tidak. Saat tengah malam tiba, dia menggedor-gedor pintu kamarku. Ketukannya di pintu itu membuat aku takut. Aku tidak mau Olivia memergoki kami jadi kuputuskan untuk membukakan Romeo pintu kamar. "Mau apa lagi Mas? Kita sudah berakhir," kataku. Romeo masuk kamarku, mengunci pintu kamar. Dia berusaha melakukan itu kepadaku. Romeo semakin agresif dan aku sangat takut padanya.

"Jangan, Mas. Pikirkan Aryan, pikirkan Olivia. Bagaimana perasaan mereka kalau tahu selama ini kita sering begituan di belakangnya." Waktu aku bicara begitu, Romeo berhenti sejenak. "Kita sudah terlanjur berdosa. Kita lakukan saja selagi tidak ketahuan."

Aku mendorong tubuh Romeo. Aku tidak bisa menyakiti putriku meski aku menyukai suaminya juga. Aku pernah menikah dan disakiti pria tua dan kini hasratku pada pria muda amat besar. Aku mencoba mengusir perasaan itu namun aku tidak sanggup kalau Romeo terus memelas belaian. Aku tidak pernah lolos dari jeratnya. "Kamu milikku," bisik Romeo waktu dia berhasil menguasai diriku. Kami begituan.

"Kamu enggak boleh nyesel, Han. Inilah takdir kita," gumam Romeo. Aku cuma bisa menangis. Aku tidak bisa menghentikan perasaan ini. Aku benar-benar tidak sanggup menjalani kehidupan begini. "Ini bukan takdir kita, Mas." Aku menyela. Air mataku tak berhenti bercucuran tetapi apa gunanya itu semua. Tidak ada!

"Aku berusaha melupakan kamu, Mas. Tolong, jangan dekati aku lagi. Ini tidak benar. Kita tidak boleh seperti ini terus." Romeo mendekap aku dari belakang. Aku mengusir tangan lembut miliknya yang membelenggu badanku. "Mending kamu keluar, Mas. Aku enggak mau Olivia pergokin kita habis melakukan ini."

"Tapi, Han. Aku kangen kamu." Tidak bisa. Aku tidak bisa berkompromi akan hal beginian. Ini tidak boleh terjadi 'kan? Ini sebuah kesalahan besar dalam hidupku. "Tolong, Mas. Kamu sudah dapatkan yang kamu mau. Sekarang kamu tinggalin aku sendiri." Aku berbicara tegas.

Perlahan aku mendengar gerakan Romeo menjauhi aku. Dia memakai pakaiannya kemudian keluar dari kamar milikku. "Ini belum berakhir, Han. Kita akan terus begini. Kamu adalah takdirku. Kamu tidak akan jauh dari aku."

Romeo meninggalkan aku sendiri. Dia sangat egois, mungkin aku juga begitu. Tetapi aku masih punya sedikit hati. Berbeda dengan Romeo, dia sama sekali tak mau melepaskan aku. Dalam keadaan begini, aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku serba salah. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan malam ini. Aku tidak akan membukakan pintu Romeo kendati dia memaksa seperti malam ini.

Aku bangun agak terlambat. Aku benar-benar mengantuk setelah Romeo berhasil mengganggu tidurku semalam. Aku melangkah keluar kamar ketika aku mendengar perdebatan Olivia dengan Romeo. Aku menggeleng, mereka selalu seperti ini. Aku tidak tahu sampai kapan mereka akan berhenti bertengkar seperti anak kecil.

"Kenapa kamu selalu membandingkan aku dengan Mamaku? Apa kamu suka dengan Mama?" Jantungku berdebar hebat ketika kudengar bentakan Olivia. Dia melibatkan aku dalam pertengkaran mereka. Aku punya firasat buruk akan hal ini. "Ya, aku memang mendambakan ibumu. Dia jauh lebih baik jadi istriku ketimbang kamu. Aku bosan dimarahi terus sama kamu, Liv. Apa kamu enggak bisa melayani aku dengan baik seperti ibumu?"

Mataku membelalak, aku menyela, "Kamu itu bicara apa, Romi!" Aku tidak mau kedokku terbongkar. Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Olivia diam sejenak. Dia memperhatikan aku dan Romeo secara bergiliran. "Ini enggak mungkin 'kan, Ma? Mama dan Romeo enggak mungkin selingkuh 'kan?"

Aku merasa jantungku seakan dicabut paksa. Bibirku keluh, aku membalas dengan pelan, "Mama enggak pernah punya hubungan sama suami kamu, Nak." Aku berusaha menghindari tatapan tajam Olivia. "Romeo adalah menantu Mama. Enggak mungkin Mama merebut dia dari kamu. Mama terlalu tua buat dia." Aku berusaha mencari kata-kata logis.

"Mama dan Romeo hanya berbeda 5 tahun. Mama bisa saja melakukan itu sama Mas Romeo. Kalau itu tidak benar maka tatap aku, Ma!" Aku berusaha menatap Olivia namun aku tidak bisa menyembunyikan perasaan bersalahku. Mataku tiba-tiba menggenang air mata. "Mama bohong!"

"Enggak, Liv. Mama jujur. Mama hanya tidak menyangka kamu menud--." Ucapanku dipotong oleh ucapan Romeo. Dia berseru, "Aku dan Mamamu memang punya hubungan serius, Liv. Aku terpaksa selingkuh dengan dia karena aku bosan bertengkar dengan kamu. Aku tidak bisa diomeli sepanjang hidupku. Aku bukan orang sabar yang kamu impikan. Aku punya batas kesabaran, Liv."

Olivia membuka mulutnya lebar-lebar. Perlahan dia menutup mulutnya. Dia terisak, aku berusaha menenangkan dia namun Olivia menepis tanganku. Dia tidak mau aku menyentuh kulitnya. Olivia benar-benar marah. "Aku enggak nyangka Mama dan Mas Romeo bisa Setega itu sama aku. Aku--."

Olivia menangis terluka. Aku ikut terbawa oleh isakan itu. Aku minta maaf berkali-kali. Sementara Romeo terus mencari pembenaran atas perbuatannya. "Perselingkuhan antara aku dan Mamamu bermula dari kamu, Liv. Kalau saja kamu memperlakukan aku dengan baik. Kalau saja kamu mau menghargai aku sebagai suamimu maka perselingkuhan ini tidak akan terjadi."

Tangisan Olivia semakin pecah. Aku mendengar suara Aryan menangis di dalam kamar. Namun aku tidak bisa meninggalkan Olivia dalam keadaan seburuk ini. "Berhenti, Mas. Jangan teruskan lagi," pintaku. Aku memberikan Romeo pengertian. Tetapi dia tidak mendengarkan aku. "Tidak bisa, Han. Dia harus tahu di mana letak kesalahannya sampai semua ini terjadi. Bukan hanya dia yang terluka di sini."

Olivia tidak berhenti meneteskan air mata. Dia tidak bisa membalas satu pun kata-kata suaminya. Semua kata yang yang dia punya seakan telah habis mengetahui fakta perbuatan aku dan Romeo. "Seandainya kamu bisa lebih bersabar, Liv. Bisa menyambut aku dengan baik. Aku tidak akan begini. Hanya ibumu yang memberikan perhatian yang seharusnya kamu berikan padaku."

Olivia menatap aku dengan linangan air mata. "Ini 'kan yang Mama harapkan terjadi padaku? Sudah puas bikin aku begini? Aku enggak percaya Mama kayak gini." Olivia sesenggukan waktu mengatakan itu. Hatiku teriris, aku tidak membalas karena aku tahu aku memang salah.

"Aku percaya Mama tetapi kenapa Mama kayak begini?" Olivia kecewa. Dia sangat rapuh. Dia benar-benar tersakiti. "Ini bukan salah Mamamu, Liv. Aku yang paksa dia." Romeo masih menyempatkan diri membelaku.

Olivia menoleh ke arah suaminya. Dia melangkah mendekati Romeo dan memberikan satu tamparan setelah itu tangisannya kembali tumpah. Olivia meninggalkan kami kemudian masuk ke dalam kamar. Dia menangis di saat putranya Aryan ikut menangis.

Instagram : sastrabisu

Suamiku adalah MenantukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang