***
Aku dipukuli dan semua orang hanya melihat diriku. Di detik terakhir, ibuku terpaksa menjauhkan tubuhku dari Mas Wahyu. Dia lega setelah menyaksikan wajahku lebam. "Aku tidak akan biarkan kamu bahagia, Hana. Lihat saja, ini baru permulaan," tegas Mas Wahyu berapi-api. Dia tidak pernah menarik kata-katanya. Aku sangat takut dengan ancaman itu. Namun apakah ada orang mau bersimpati kepadaku saat ini? Aku rasa tidak ada.
Meskipun aku korban, orang-orang lebih senang menyebut aku pelaku kejahatan. "Kamu kok tega gitu sih, Han. Kamu selingkuh sama suami anak kamu loh. Kamu tega khianati sama putri kamu sendiri." Meida berkomentar sembari menggeleng. Seperti semua orang, Meida tidak percaya atas apa yang kulakukan.
"Tiap bulan aku kasih uang ke kamu, Han. Meskipun kita bercerai, aku tetap menghargai kamu. Aku mau kamu bahagia, aku menebus kesalahanku dengan membiayai hidupmu. Lalu kau membalas perbuatanku yang dulu kepada putrimu? Kau tidak punya perasaan, Han!" Mas Wahyu bersungut-sungut.
"Maafkan Hana, Mas." Aku tidak mau menjelaskan apa-apa. Setiap kata yang keluar dari bibirku hanyalah angin lalu. Tidak ada seorang pun yang mau dengarkan aku. "Maaf aja enggak cukup, Han. Kamu mati aja sana." Ketika Mas Wahyu bilang begitu. Aku kembali terisak, aku tidak percaya Mas Wahyu akan bilang begitu.
"Kamu masih bisa nangis juga ya? Bukannya kamu enggak punya hati? Kamu tega sakiti putrimu tetapi kamu sakit hati saat orang lain menghujatmu. Kamu memang luar biasa, Hana. Hebat sekali." Aku tidak membalas, aku membiarkan Mas Wahyu menyerang aku habis-habisan.
"Apa yang ada di otakmu, Hana? Olivia itu darah dagingmu. Kamu kok bisa-bisanya kepikiran buat selingkuh dengan Romeo. Ibu enggak pernah ajarin kamu kayak gitu, Han. Ibu malu punya anak kayak kamu. Kalau Ibu bisa ulur waktu, Ibu enggak bakalan lahirin kamu." Ibuku menambahkan. Lagi-lagi kalimat menohok menikam hatiku. Aku menangis sementara Dokter dan perawat cuma bisa menyaksikan drama di ruang inap Olivia.
"Aku khilaf, Bu."
"Itu mah enggak khilaf, Han. Itu namanya enggak punya otak. Segitu enggak tahannya kamu begituan sama laki-laki sampai menantumu pun kamu embat. Astaga, kamu yang bikin kiamat semakin dekat, Han. Kelakuan kamu itu. Aku enggak bisa ngomong lagi." Meida menambahkan perkataan menohok. Aku tercenung seiring air mataku bercucuran. Aku menoleh ke arah Olivia, berharap dia mau membela.
Olivia tahu kebenaran cerita tentangku. Aku berharap dia mau menjelaskan segalanya kepada Mas Wahyu dan ibuku. Namun Olivia tidak melakukan apa-apa. Dia memalingkan wajah dariku.
"Mending Mama pulang aja deh. Jangan temui Olivia lagi. Olivia enggak sudi bertemu Mama lagi."
Sejak tadi hanya kalimat olokan yang kudengar. Aku menyeka air mataku.Aku tidak bisa minta bantuan ke siapa-siapa. Hanya aku yang bisa menolong diriku sendiri. "Jangan ngomong gitu, Liv. Mama tahu kamu benci Mama. Namun bagaimana pun Mama masih ibu kandung kamu. Jangan sakiti Mama dengan berkata begitu."
"Waktu Mama selingkuh sama Mas Romeo. Mama mikirin apa? Surga? Mama bahkan melupakan kalau perselingkuhan antara Mama dan Romeo akan menyakiti aku. Sebaiknya Mama introspeksi diri. Kalau Mama enggak mau disakiti maka lebih baik jangan mulai perkara yang menyakiti orang lain."
Aku pergi setelah kemarahan Olivia tumpah. Aku bertemu Romeo di luar rumah sakit. Romeo mencemaskan aku saat melihat luka di wajahku.
"Ada apa, Han? Apa yang terjadi? Mengapa wajahmu begini?" Hanya Romeo yang perhatian padaku. Di saat semua orang membenciku.
"Aku enggak apa-apa, Mas. Aku cuma jatuh di tangga tadi. Mas enggak usah khawatir." Aku berusaha menipu Romeo. "Kamu yakin kamu cuma jatuh? Kamu seperti dipukuli, Han." Kecemasan tercetak jelas di wajah Romeo. Aku tidak mau egois, aku harus merelakan Romeo jauh dari kehidupanku.
"Aku pulang dulu ya, Mas. Silakan temui Olivia. Dia butuh kamu, Mas." Kami berpisah. Aku putuskan pergi dari rumah Olivia. Aku ganti nomor teleponku. Aku cari tempat tinggal baru. Aku kerja di sebuah rumah makan agar aku bisa menafkahi kehidupanku. Aku mengira kehidupan baruku akan membuat aku lepas dari jeratan masa lalu.
Ternyata, dugaanku salah. Satu bulan pisah dari Romeo, aku mendapati diriku mengandung anak lelaki itu. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku menemui Romeo di kantornya. Romeo tidak sehangat seperti biasanya. "Aku terkejut kamu mau ketemu aku, Han," kata Romeo. Dia memperhatikan aku dan belum menyadari perutku membesar.
"Ada yang mau aku bicarakan sama kamu, Mas," ujarku. Aku belum melanjutkan bicaraku ketika Romeo menyela, "Kalau kamu mau membahas Olivia dan aku. Kami baik-baik saja. Memang tidak mudah memulai hubungan yang baru dengan Olive. Pada mulanya dia mengaku jijik padaku." Aku bisa bayangkan itu. Aku pernah berada di posisi Olivia, saat Mas Wahyu selingkuhi aku.
"Namun seiring kami bersama, Olive mulai menerima aku kembali. Aku menyadari kalau kami memang ditakdirkan bersama. Kami hanya perlu berhenti bertengkar. Kuncinya akulah uang mesti mengalah." Romeo sangat antusias dan aku tidak mau menghancurkan kebahagiaannya.
"Makasih ya Han sudah menyarankan aku dan Olivia bersama. Tahun depan kami berencana memprogramkan bayi kedua kami."
Aku kehilangan harapan. Romeo perlahan melupakan aku. Kini aku harus menanggung kesalahan kami sendirian. "Aku senang dengar kabar baik dari kalian." Aku tidak mau membicarakan kehamilanku di hadapan Romeo. Aku benar-benar tidak tahu mesti melakukan apa-apa. Romeo melupakan aku secepat yang aku duga.
Aku pamit pulang setelah bicara dengan Romeo. Badanku terasa lesu. Aku tidak bisa memendam penderitaan ini sendirian. Aku gagal bicara dengan Romeo. Aku temui Ibuku sore harinya. Aku meminta pendapat ibuku. "Aku hamil anaknya Romeo, Bu." Bukan sambutan yang aku terima. Ibuku menampar aku dengan keras.
"Setelah putrimu bahagia. Kamu masih sempat-sempatnya datang dan merusak hubungan rumah tangganya?" tanya Ibuku marah-marah. Aku memegangi perutku lalu bergumam, "Terus aku mesti gimana, Bu. Aku terlanjur begini. Aku enggak ada niat sedikit pun hancurkan rumah tangga Olive. Aku hanya mau memberitahu Mas Romeo."
"Enggak ada niat hancurkan rumah tangga Olivia? Kalau kamu niat kamu enggak akan muncul lagi, Han."
"Kalau kamu sayang putrimu, mending kamu gugurin bayi itu. Anak itu hanyalah anak haram. Dia enggak berhak menginjakkan kaki di hadapan kami."
Aku menggeleng keras waktu Ibuku bilang begitu. Rasa benci membuatnya bicara hal yang menyakitkan hati semua ibu di dunia ini. "Enggak. Aku enggak akan melakukan itu, Bu. Ibu boleh benci aku tetapi jangan benci cucumu."
"Kamu sudah bikin kekacauan, Han. Kalau kamu mau memperbaiki semuanya. Mending kamu selesaikan sendiri. Jika ibu jadi kamu, ibu akan gugurkan bayi itu. Kalau dia lahir dia hanya akan malu mengetahui perbuatan ibunya. Cuma itu saran ibu, Han."
Hatiku tersayat mendengar saran ibuku. Aku terpukul, perasaanku sebagai ibu dilecehkan secara emosional. Aku mungkin jahat, aku kejam. Aku rela disebut apa saja oleh siapa pun. Tetapi aku tidak rela calon anakku dibenci semua orang, bahkan saat belum lahir sekali pun. Aku pergi, aku harus mencari solusi bagi diriku sendiri.
Instagram : sastrabisu
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku adalah Menantuku
Fiksi UmumHana merupakan janda berusia 34 tahun-an, tinggal bersama putrinya bernama Olivia 17 tahun) yang menikah muda dengan Romeo (30 tahun)... Maksud hati menyatukan rumah tangga putrinya yang retak, Hana justru terbuai oleh menantunya yang tampan.