Bab 6: Aborsi?

3.5K 133 4
                                    

***

Menjadi orang ketiga adalah sesuatu yang sangat berat untuk dilalui. Aku tidak punya teman berbagi cerita. Aku hanya percaya ibuku namun tampaknya dia belum bisa menerima perbuatan burukku. Aku berhenti meminta pendapat orang lain. Aku melakukan itu untuk menjaga kesehatan mentalku.

Malam hari usai bekerja di warung, aku merenung di dalam kamar. Aku memikirkan semua perkataan ibuku. Pada mulanya aku tidak mendukung saran darinya, namun seiring aku mengingat dosaku, aku mendadak sepakat dengan ide gila ibuku.

Dengan berat hati, aku pinjam uang kemudian pergi ke klinik khusus kandungan. Aku mau mengugurkan bayiku. Hanya itu yang bisa kulakukan agar semua permasalahan yang aku timbulkan segera mereda, semua akan baik-baik saja tanpa aku dan bayiku.

Dokter kandungan yang menanganiku adalah seorang Dokter pria. Aku membaca papan namanya. Dia bernama Dokter Stefan. "Mbak yakin mau aborsi?" Dokter Stefan menatap mataku dalam-dalam. Aku terkesiap akan pertanyaannya. Sejujurnya aku belum siap tetapi waktu memaksaku melakukan semua ini.

"Ini keputusan  terbaik untuk semua." Aku menunduk murung.
Dokter Stefan menghela napas. Dia terus mengamati aku.

"Coba pikirkan baik-baik, Mbak. Mungkin Mbak mau mengugurkan bayi itu tetapi apa bayi itu bersedia dilenyapkan? Bayi itu punya hak untuk hidup. Jangan renggut nyawanya, Mbak. Berikan dia kesempatan. Bayi yang tak bersedia hidup akan keluar dengan sendirinya. Bukan dengan cara seperti ini."

Dokter Stefan menasihatiku. Aku harus apa? Aku hanya mengikuti saran ibuku. Aku menangis lagi seperti yang selalu aku lakukan. Aku benci meneteskan air mata terus-terusan. "Dokter tidak tahu seperti apa kehidupanku. Setelah Dokter dengarkan ceritaku. Dokter akan membenciku. Dokter akan setuju dengan keputusan aborsi ini."

"Seorang ibu tidak akan membunuh anak mereka kecuali mereka punya alasan kuat. Ini keputusan yang sangat berat, Dok." Aku menggenggam tanganku sendiri. Aku adalah alasan diriku tetap kuat. Jika kita masih punya dua tangan, percayalah kita masih bisa bertahan hidup sendirian.

"Kalau begitu bicaralah. Aku di sini siap mendengarkan." Dokter Stefan memperhatikan aku dengan intens. Aku mengambil napas, menatap vas bunga dengan hampa. Aku ceritakan kisah-ku sama seperti yang kuceritakan ke Olivia. Dokter Stefan kehabisan kata-kata. Dia bergeming waktu aku selesai bicara.

"Mbak butuh air mineral?" Dokter Stefan menawarkan saat obrolan kami berakhir. Aku mengiyakan. Persis seperti dugaanku, Dokter Stefan sama halnya dengan yang lain. Waktu aku selesai meneguk air mineral, Dokter Stefan berkata, "Setelah aborsi, akan ada efek sampingnya seperti mual, diare, muntah, demam, sakit kepala, dan panas dingin."

Setelah dengarkan ceritaku, Dokter Stefan bertingkah seperti orang yang tak pernah mendengarkan cerita dariku. Lihat, dia setuju dengan kegiatan aborsi ini. "Ayo baring, Mbak. Aku akan suntikkan obatnya."

Dia tersenyum. Aku menuruti perintah darinya. Aku gemetaran. Desak di dalam dada kutahan. Aku memejamkan mata saat Dokter Stefan menyuntikkan sesuatu ke tubuhku.
Sebutir air mata membasahi pipiku. Ini pengorbanan terbesarku. Demi kebahagiaan putriku, aku harus melenyapkan anakku yang lain.

"Sudah selesai, Mbak. Mbak sudah bisa pulang." Dokter Stefan memberitahu. Aku belum bisa menerima perbuatanku sendiri.

"Boleh aku tinggal sebentar, Dok? Aku mau melihat segumpal daging bayiku."

Belum ada reaksi yang terjadi di tubuhku. Hatiku teriris, aku takut melihat segumpal daging bayiku.

"Kenapa bayiku belum keluar, Dok?" Apa aborsi semudah ini. Apakah Dokter menggunakan metode tertentu? Menghancurkan bayi dari dalam tanpa darah keluar setetes pun?

Dokter Stefan memberitahu kalau dia menggunakan metode baru. Dia memintaku pulang, dan tidak memperkenankan aku membayar biaya aborsi. Dokter Stefan bilang bersimpati padaku. Dia bersedia bayar biaya aborsi itu. Aku tanya ke frontliner berapa biaya aborsi. Mereka bilang harganya 7 juta rupiah.

Aku membuka mulut lrbar. Jika pun aku aborsi menggunakan uangku, itu tak akan cukup. Aku minta nomor Dokter Stefan, aku berencana ganti uangnya kalau aku sudah punya uang. Sampai di rumah, aku merasa aneh. Tidak ada apa-apa yang terjadi padaku. Aku tunggu seminggu, aku tidak mengalami pendarahan. Sebaliknya, aku mengalami masa ngidam. Aku mual-mual nyaris tiap hari.

Aku mampir ke klinik Dokter Stefan keesokannya. Dokter Stefan mengaku kalau dia tidak tega membunuh bayi tak berdosa. Dia tidak memberiku obat penggugur kandungan melainkan vitamin.

"Bagaimana nasib pernikahan Olivia, Dok? Aku tidak bisa merusak rumah tangga mereka. Putriku pernah coba bunuh diri karena kelakuanku. Aku tidak mau melukai hatinya kedua kali." Aku terpukul. Dokter Stefan mendekatiku. Dia menenangkan aku.

"Mbak mesti katakan sejujurnya. Putrimu mungkin terlalu terkejut waktu pertama kali dengar isu perselingkuhan Mbak dan menantu. Yakinlah, Olivia akan mengerti saat dengar informasi kedua ini. Olivia pasti sudah membayangkan ini akan terjadi." Dokter Stefan memberikan aku kekuatan. Aku tidak nyaman dengan tatapan dan perhatiannya sehingga aku melirik ke arah lain.

"Terima kasih, Dok."

Aku membahas tentang biaya tujuh juta rupiah yang kuyakini sebagai biaya aborsi Minggu lalu. Dokter Stefan bilang kalau biaya itu tidak ada. Aku lega karena memang aku tidak punya uang untuk biaya sebanyak itu.

"Mbak harus rutin minum ini juga."

Dokter Stefan memberiku tiga kotak susu hamil. Dia tersenyum padaku. Senyuman itu manis namun menakutkan buatku. Aku trauma dengan laki-laki. Aku belum bisa memulihkan kondisi psikologis-ku.

"Aku akan bayar susu hamilnya." Aku membuka dompetku dan memberikan uang sebesar 300 ribu rupiah. Hanya itu yang aku punya namun aku mesti merelakan uang itu.

Aku tidak bisa berurusan dengan cowok lain lagi. "Jangan lakukan ini, Mbak. Aku bantu Mbak karena aku seorang Dokter. Kalau Mbak tetap bayar pemberianku, harga diriku sebagai Dokter kandungan terasa sangat tidak dihargai."
Aku mematung.

"Tolonglah--, aku hanya mau bantu, Mbak. Aku sudah dengar cerita Mbak. Aku bisa membayangkan seperti apa penderitaan Mbak.

Perselingkuhan selalu tidak adil bagi perempuan. Mbak adalah korban, seharusnya ada yang memperhatikan Mbak." Dokter Stefan memberiku semangat namun aku merasa kalau aku tidak pantas mendapat kebaikan dari siapa pun lagi. Betul kata ibuku, aku tidak seharusnya lahir di dunia ini.

"Terima kasih. Ini terakhir kalinya aku merepotkan Dokter Stefan." Aku meninggalkan Dokter Stefan kemudian mengambil tiga kotak susu hamil pemberian darinya. Perkataan Stefan terngiang di kepalaku.

Dia menghiburku, mengatakan apa yang ada di dalam benakku. Benar katanya, perselingkuhan selalu tidak baik bagi perempuan. Apa yang Romeo dapatkan setelah melecehkan aku, setelah membuat aku jatuh hati padanya.

Romeo hidup bahagia. Ibuku bahkan memihak Romeo. Aku tidak tahu seperti apa reaksi Mas Wahyu tetapi setelah sebulan berlalu aku menyaksikan Romeo tampak tidak punya beban. Dia tidak punya pergolakan batin sama sekali. Dia melupakan aku secepat yang dia bisa.

Aku bahkan masih ingat waktu kuberikan dia kesepakatan. Romeo bilang bahwa dia akan selalu mencintaiku. Sekarang ungkapan itu berada seperti semilir angin di telingaku. Hilang begitu saja.

Instagram : sastrabisu

Suamiku adalah MenantukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang