Bab 12: Kebenaran

2.7K 106 5
                                    

***

Sebetulnya aku belum memahami apakah Romeo masih marah padaku atau tidak, namun yang aku tahu dia membelikan ponsel baru padaku beserta nomor baru usai memecahkan telepon genggam lamaku. Aku minta maaf padanya. Dia berkata kalau kemarin dia hanya terlalu stres karena pekerjaan. Itulah sebabnya dia gusar padaku.

"Mas bisa cerita padaku kalau ada masalah di kantor."

"Ya."

Jawabannya masih datar. Seperti biasa, dia belum bersedia kembali ke ranjang yang sama dengan aku. Dia masih memilih tidur di sofa, membuat ranjang kami semakin dingin setiap malamnya.

Perlahan aku membiasakan situasi ini. Kami merupakan kesalahan, dan kemungkinan butuh waktu lama baginya menerima pernikahan kami. Aku berharap Romeo melupakan kontrak pernikahan kami.

Aku merindukan Aryan. Keesokan harinya, aku menengok Aryan di rumah Olivia. Aku cukup takut Olivia akan mengusirku. Akan tetapi saat aku sampai di sana, Olivia membiarkan aku masuk ke dalam rumahnya. Di tempat itulah aku dan Romeo bertemu, menjalani cinta terlarang kami sampai terbuai dan melupakan batasan kami.

"Mama Nadia ada di dalam. Ayo masuk, Ma."

Olivia tidak tersenyum saat memberitahuku. Firasat-ku mengatakan hal buruk saat mendengar nama Nadia. Hubungan kami tidak terlalu baik selama bertahun-tahun. Bila kami bertemu kami hanya akan bertengkar.

"Ngapain kamu datang kemari? Kamu memang enggak punya rasa malu ya, Han. Sudah putus urat malu-mu?"

Nadia bertanya ketus. Dia memberiku senyum kering, mencemooh kemunculanku di hadapan dirinya. Dia berkacak pinggang seakan aku adalah hal paling memuakkan di dunia. Aku datang di rumah putriku bukan karena Nadia melainkan karena putriku dan cucuku, Aryan.

"Aku berhak datang kemari. Aku ibunya Olivia. Sementara kamu? Kamu hanya orang asing. Kamu hanya mama tiri bagi Olivia." Aku mendekati Aryan yang tengah asyik main mobil-mobilan. Aryan tidak mau aku dekat dengannya. Dia menjauh dariku. Aku benar-benar merasa terkejut atas perubahan Aryan. Aku menduga Nadia sudah menghasut anak itu agar membenciku.

"Kamulah yang orang asing di sini."

"Cukup. Jangan bicara lagi. Mama tidak perlu tahu kebenarannya."

Aku tersentak atas ucapan Olivia. Apa yang tidak seharusnya aku ketahui? Kenapa mereka menganggap aku orang asing. Aku memandangi Nadia dan Olivia secara bergiliran. Aku meminta penjelasan atas apa yang mereka sembunyikan. Aku berhak tahu rahasia yang terpendam.

"Hana harus mengetahui ini, Olivia. Dia mesti sadar kalau dia tidak ada hubungannya dengan kamu. Itulah sebabnya Hana tidak memiliki ikatan kuat denganmu, Olivia. Dia tega merebut suamimu." Aku masih bingung apa yang dibicarakan Nadia. Mengapa dia berbicara seakan-akan  aku bukan ibu kandung Olivia? Nadia seorang pembohong, aku tidak bisa percaya dengan dia.

"Apa maksudmu. Aku adalah ibu kandung Olivia," selaku.

Nadia meringis. "Olivia adalah putri kandungku. Kau hanyalah wanita gila yang menjadi tempat putriku dititipkan!" tegas Nadia.

Aku belum paham. Apa maksud aku disebut perempuan gila. Nadia-lah wanita gila itu. Dia mengakui putriku sebagai anak kandungnya. Dia menciptakan skenario mengerikan yang sama sekali tidak lucu. "Olivia putriku. Aku mengandungnya saat aku berusia 17 tahun. Aku merawatnya sejak kecil. Aku melahirkan Olivia."

Nadia tertawa lalu menatapku tajam. "Benar. Saat itu kamu memang hanya perempuan 17 tahun yang labil dan gila. Kamu depresi saat kehilangan bayimu. Asal kamu tahu saja, Hana. Aku adalah istri pertama Mas Wahyu. Kamu hanyalah wanita kedua."

"Dan Olivia? Dia adalah putriku. Saat kamu gila, aku harus menyerahkan Olivia untuk dijadikan putrimu. Kamu memang bodoh, Hana. Bayi perempuan 6 bulan saat itu kamu percayai sebagai putrimu. Kamu memang gampang ditipu."

Aku mematung. Apakah yang dikatakan Nadia benar adanya? Semua penjelasannya masuk akal namun anehnya aku belum mengingat apa-apa. Aku lupa kenangan saat aku melahirkan Olivia. Momen itu hilang dari ingatanku.

"Jangan percaya Nadia, Liv. Kamu adalah anak mama. Nadia hanya mama tirimu. Dia berusaha menjauhkan kita berdua. Itulah sebabnya dia mengarang cerita."

"Jangan banyak mengkhayal, Han. Aku dan Olivia sudah lakukan tes DNA. Olivia sudah tahu semuanya. Kami tidak mau memberitahu dirimu karena kamu bukanlah bagian dari kami," kata Nadia.

"Kamu tahu alasan Olivia tidak pernah punya adik? Itu karena Mas Wahyu takut kamu depresi untuk kedua kali. Sayangnya, saat ini kamu nekat hamil lagi. Kamu harus siap-siap saja, Han. Ini akan berat bagimu."

Nadia mengambil kertas yang ada di atas meja televisi. Dia menyodorkan kertas itu padaku. Aku baca seksama hasil tes DNA mereka. Hasil DNA mereka 99% akurat, sama. Aku menggeleng aku tegaskan pada mereka kalau surat itu tidak benar. Pasti ada yang salah.

"Kamu mengambil sampel tubuhku diam-diam 'kan, Nadia? Waktu itu kamu datang ke rumah sakit melabrakku. Kamu pasti ambil satu helai rambutku. Aku yakin kamu melakukan itu."

Aku tidak bodoh. Aku lebih percaya Nadia merekayasa tes DNA demi mendekati Olivia. Akulah ibu kandung Olivia, aku yakin. Aku hanya perlu ingat momen saat aku melahirkan Olivia. Kenangan itu terasa kabur di kepalaku karena sudah terlalu lama.

"Kamu percaya Mama 'kan, Liv? Nadia sedang membohongi kita semua."

Aku tidak peduli semua orang tidak percaya kenyataan akulah ibu kandung Olivia. Aku ingin dengarkan pendapat Olivia. Kalau dia sudah meyakini diriku ibunya maka aku akan merasa lega.

"Kita memang tidak punya hubungan darah, Ma. Waktu Mama koma bukan aku yang mendonorkan darah ke Mama tapi  orang lain. Lihatlah, aku bahkan tidak mewarisi kecantikan Mama. Itulah sebabnya Mas Romeo lebih memilih Mama ketimbang aku."

"Jangan bicara begitu. Kamu anak mama, Liv."

Aku berusaha mendapatkan rengkuhan dari putriku namun dia menolak. Dia benar-benar percaya pada kebohongan ciptaan Nadia. Aku benar-benar syok. Jantungku seperti dicabut paksa. Aku sulit mempercayai situasi ini. Aku memaksakan kepalaku berpikir sampai kepalaku terasa begitu sakit.

Aku masih menyimpan perasaan traumatis dan benci terhadap Mas Wahyu namun demi memastikan kebenaran dari cerita ini, aku mengusir perasaan takutku. Aku mendatangi kantor Mas Wahyu seiring mataku menggenang air mata. Jika ucapan Nadia benar maka itu akan menyakiti hatiku.

"Hana. Apa yang membuatmu datang ke tempat ini?"

Suara Mas Wahyu membuat tanganku gemetaran. Aku memegangi tanganku agar tidak membuatku bertambah panik. "Maafkan Mas ya, Hana. Saat itu Mas khilaf sama kamu. Mas enggak ada niat bikin kamu terpukul." Mas Wahyu memegang pundakku. Aku keringat dingin sekaligus merinding. Aku mendorong badannya menjauh.

Aku membelakangi Mas Wahyu sambil berbisik, "Apakah Olivia anakku, Mas?" Suaraku bergetar. Setetes air mata membasahi pipiku. Mas Wahyu membalikkan badanku. Aku berusaha tidak memandangi matanya.

"Kamu sudah tahu kebenarannya dari Nadia?"

Tubuhku langsung lemas. Air mataku jatuh bercucuran. Mas Wahyu meyakinkan aku kalau dia melakukan semua itu demi kesehatan mentalku. Agar aku sembuh dari perasaan depresi. Setelah dengarkan konfirmasi dari Mas Wahyu, aku pulang ke rumah. Aku berusaha mengingat masa laluku, memastikan semuanya salah.

Instagram : sastrabisu

Suamiku adalah MenantukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang