Bab 14: Dan Lagi

2.7K 104 8
                                    

***

Bagi semua orang, pernikahan kedua Olivia adalah kabar membahagiakan. Lain halnya dengan suamiku. Berbeda dari semua orang, Romeo justru menganggap keputusan Olivia sebagai duka besar. Ketika aku beritahu soal itu, wajah Romeo masam.

"Olivia mencintaiku. Kamu pasti salah dengar, Hana. Olivia tidak bakalan tega melukai aku. Kami seharusnya rujuk demi Aryan."

Setiap hari Romeo selalu menunjukkan harapan kembali ke Olivia. Dia menepis fakta Olivia menolaknya berkali-kali. Romeo berjuang atas sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan. Dia sudah bersama denganku, semestinya akulah yang dia prioritaskan bukannya mengejar sesuatu yang tidak akan dia dapatkan.

"Apa kamu masih mengharapkan Olivia, Mas? Maaf kalau aku tidak sopan namun aku harus memberitahumu bahwa kita telah menikah. Harusnya Mas belajar mencintaiku. Satu-satu cara melupakan orang lain adalah dengan menemukan cinta lain, berpindah ke lain hati. Kamu pasti bisa, Mas."

Aku menginginkan hakku sebagai istri. Olivia sudah memutuskan menikah dengan Dokter Stefan. Itu berarti dia sudah move on. Olivia layak mendapatkan kebahagiaan. Aku lega karena dia menemukan lelaki yang sempurna seperti Stefan. Aku memang belum mengenal Stefan lebih jauh, tetapi jika kuperhatikan Stefan pria sabar dan penyayang.

"Orang yang tidak setia tidak pantas mengatakan hal itu."

Mata Romeo berapi-api. Dia tidak terima nasihatku kepadanya. Romeo melanjutkan, "Aku memang tidak pernah membicarakan ini. Sekarang aku akan beritahu kamu, Hana. Menurutku kamu sangat menikmati perlakuan mantan suamimu beserta teman-temannya itu. Kamu tidak setia, Hana. Aku paham perempuan macam apa dirimu."

Aku terkesiap, mengepalkan tangan demi menahan sesak yang mau meledak dari dalam. Oh, jadi seperti ini pendapat Romeo? Dia tak pernah menyentuhku karena jijik kepadaku. Dia berpikir aku menyukai perlakuan tak baik Wahyu. Aku tidak percaya Romeo bisa mengatakan itu. Walaupun dia kesal, semestinya kata-kata itu tak keluar dari bibirnya.

"Aku tidak begitu, Mas. Aku sama sekali tidak suka perbuatan Mas Wahyu. Aku butuh keadilan."

Aku luapkan sedikit keluhan dalam hatiku. Romeo tidak bereaksi sehingga aku melanjutkan, "Jika aku punya uang sudah kulaporkan Mas Wahyu ke polisi. Apa yang aku punya? Uang makanku sehari-hari saja bergantung padamu, Mas. Aku minta bantuan ibuku tetapi mereka memilih memaafkan Mas Wahyu."

Kenapa seperti ini? Kenapa orang-orang bisa berpikiran sebuah pelecehan adalah perbuatan menyenangkan? Seorang psikologi pernah mengatakan bahwa pelecehan seksual merupakan tindakan kriminal yang dibuat dalam bentuk kesenangan, artinya seorang korban tak akan diberi simpati. Korban diposisikan sama dengan pelaku sebab semua orang terlanjur menganggapnya sebagai hal senang-senang.

Tidak ada yang menyenangkan dari sebuah pemaksaan. Aku tertekan, aku tidak akan menggores tanganku kalau aku merasa gembira atas perbuatan Mas Wahyu. Aku meninggalkan Romeo di ruang tengah, bersembunyi di dalam kamar untuk menangisi takdirku seperti biasa.

Aku berharap Romeo meminta maaf padaku tetapi dia tidak melakukan apa-apa. Dia membiarkan aku mengunci pintu di dalam kamar sampai esok hari. Dia mengetuk pintu kamar kami saat dia mau pakai pakaian kerja. Aku buka pintu dan  Romeo tidak bicara.

Aku melakukan hal yang sama. Hubungan kami semakin buruk seakan tak ada ruang kebahagiaan untuk kami. Setelah menikah kami tidak kunjung menemukan perasaan bahagia melainkan ketegangan setiap harinya. Masalah terus bertambah, aku mulai berpikir bahwa seharusnya pernikahan kami memang sesuai kontrak tertulis saja.

***

Olivia berada di rumah ibuku,  membicarakan persiapan pernikahan. Acaranya mungkin dua bulan lagi sebab masa "menyendiri" Olivia belum berakhir. Pihak keluarga Dokter Stefan menginginkan penentuan tanggal pernikahan segera. Kami sudah yakinkan mereka kalau sekiranya sekitar dua bulan ke depan tetapi mereka mau kepastian tanggalnya. Alhasil proses lamaran pun diputuskan.

Acaranya sengaja diadakan di rumah ibuku selaku nenek Olivia. Putriku memaklumiku, tak mau aku terbebani bila pergi di rumah Nadia dan Mas Wahyu. Olivia ingin berada di pihak tengah. Kendati Nadia ibu kandungnya, dia menghargai aku sebagai ibu yang merawat dia sejak kecil.

Sama seperti dahulu. Belum ada seorang pun yang mau menunjukkan sikap hangat kepada diriku. Aku berada di keramaian namun rasanya seperti sendirian. Aku menghibur dirimu sendiri bahwa inilah hukuman buatku. Aku tidak boleh nelangsa.

"Kamu sudah yakin 'kan dengan keputusan ini, Liv?"

Aku bertanya sebagai sosok ibu. Mendadak aku berpikir kalau bisa jadi Olivia memilih Stefan hanya agar Romeo terus bersama denganku. Aku tak ingin Olivia mengorbankan kebahagiannya demi diriku. Aku ingin memastikan Stefan merupakan pilihan hatinya bukan karena paksaan keadaan.

"Iya, Ma. Aku yakin."

Olivia membalas tenang. Dia tersenyum padaku, membuatku berpikir dia telah berkata jujur. Ibuku meminta Olivia menyambut tamu yang datang. Aku asyik membuat kue di acara lamaran ini. Aku membuat kue basah rasa coklat dan vanila, berharap pihak keluarga Stefan menyukai acara kecil-kecilan ini.

"Kamu ngapain tanya Olivia soal dia yakin atau tidak? Kamu takut Olivia rujuk sama Romeo?"

Meida bertanya ketus, menghentikan kegiatan membuat kue. Dia memutar bola matanya melihatku. Entah sampai kapan aku menjadi sasaran kemarahannya. Aku sangat merindukan suasana damai namun Meida dan ibuku selalu menawarkan pertengkaran.

"Aku sama sekali tidak berpikiran begitu. Aku hanya mau putriku bahagia. Aku sama sekali tidak masalah kalau Olivia dan Romeo bersatu lagi. Aku dan Romeo pun hanya nikah kontrak," jawabku.

Romeo juga belum menerima diriku. Hidup kami tidak harmonis. Kalau dia bahagia bersama Olivia. Aku tidak akan menghalangi. Aku menginginkan Romeo mencintaiku hanya karena aku pikir Olivia tidak lagi menyukainya.

"Banyak alasan kamu, Hana. Kamu pasti senang mengetahui Olivia bukan putrimu 'kan? Akhirnya kamu berpikir bahwa perbuatanmu selama ini bukanlah dosa. Dengar, Hana. Mau Olivia putrimu atau bukan, kamu tetaplah berdosa merebut suaminya."

Aku tidak pernah berkata begitu. Bagiku, menyakitkan ketika orang lain memutuskan apa yang kita rasakan. Aku tahu apa yang kurasakan. Aku tidak pernah benarkan perbuatanku. Aku tahu aku salah tetapi haruskah kesalahan itu selalu jadi bahan pembicaraan? Aku tidak berpikir seperti itu.

"Cukup! Jangan bicarakan lagi."

Aku menghentikan Meida bicara. Lalu mulut kejam lainnya datang. Nadia mendekatiku kemudian mencari cara agar aku terluka melalui kata-katanya. "Apa dua saudara perempuan sedang saling mendukung satu sama lain?"

"Maaf. Aku tidak pernah dukung Hana," sela Meida.

Nadia tersenyum mencemooh. Dia kelihatan berseri menemukan teman yang bisa diajak untuk menghina diriku. Aku menghela napas, aku ingin meninggalkan dapur saat Nadia mencekal tanganku.

"Mau kemana, Hana. Apa kamu tidak sanggup dengarkan kenyataan lain?"

"Memangnya apa yang mau kamu katakan?"

Nadia tertawa getir. Aku yakin hujatannya akan sangat menohok hatiku. Benar saja. Hatiku benar-benar terkoyak saat dia berkata, "Kamu tahu apa yang terjadi di luar? Romeo memohon kembali pada Olivia."

"Kasihan sekali kamu, Hana. Kamu mampu meladeni tiga pria tetapi tidak mampu layani satu."

Aku marah. Aku hendak menampar Nadia tetapi dihalangi olehnya. Aku keluar dari dapur. Aku menyaksikan Romeo berlutut di kaki Olivia. Semua mata tertuju padaku saat aku muncul. Mereka mulai berbisik. Aku yakin mereka membicarakan hal buruk tentangku. Aku pergi dari sana, masuk kamar lalu menangisi takdirku lagi dan lagi.

Instagram : sastrabisu

Suamiku adalah MenantukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang