***
Aku tidak punya siapa-siapa di lingkunganku untuk membela diriku. Aku meminta saran Dokter Stefan mengenai apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Stefan bijak, dan aku yakin dia punya saran baik. Stefan bilang padaku kalau seharusnya aku memberitahukan kehamilanku kepada mantan suamiku, Mas Wahyu. Dia mengira mantan suamiku akan memberikan solusi.
Aku merasa itu ide yang sangat buruk tetapi Stefan mendesak aku untuk jujur. Dia menambahkan jikalau kebohongan hanya akan melahirkan kebohongan lainnya.
Aku mengunjungi rumah mantan suamiku keesokan hari. Nadia, istri Mas Wahyu membuka pintu sembari sinis melihat kedatanganku.Saat dia melakukan itu, aku terpaku mengamati wajahnya. Setelah aku amati, Nadia punya kemiripan dengan wajah Olivia. Aku tidak tahu apakah wajah ibu tiri bisa sangat mirip dengan wajah anak tirinya? Bentuk wajah Olivia seperti perpaduan antara wajah Mas Wahyu dan Nadia.
"Hana. Ngapain kamu datang ke sini?"
Nadia langsung menyerang aku dengan pertanyaan. Aku tidak mengerti mengapa reaksinya seperti itu. "Aku mau ketemu sama Mas Wahyu. Aku harus bicara dengan dia."
Nadia memutar bola matanya. Dia meringis, menampakkan tatapan jijik kepada diriku. "Setelah kamu khianati putrimu, kamu berani datang ke rumah ini? Ingat ya, Han. Kami tidak menerima perempuan penggoda seperti dirimu.""Kau enggak salah ngomong, Nadia? Setahuku kamu merebut Mas Wahyu dariku. Kau tidak pantas nasihati aku, Nadia. Kita berdua memiliki kotoran yang sama. Kau tidak terlalu sempurna untuk meledek aku. Kecuali kau adalah ibunya Olivia."
Aku ingat momen saat perselingkuhan Mas Wahyu dan Nadia terbongkar. Setelah apa yang mereka lakukan, aku tidak bisa berdiri di hadapan Nadia dan membiarkan aku terhina. Nadia pernah melakukan dosa yang sama seperti diriku. Rasanya sangat lucu membayangkan penggoda meledek penggoda.
"Aku memang ibu kandung, Olivia."
Aku kaget. Dia bicara begitu lantang seakan itu benar. Nadia tidak mungkin merupakan ibu kandung Olivia karena aku jelas-jelas hamil saat menikah dengan Mas Wahyu. Anak kami adalah Olivia.
"Bohong! Olivia putriku. Aku membesarkan dia dari bayi. Berhenti bicara omong kosong, Nadia. Aku tahu aku salah telah khilaf berhubungan dengan Romeo namun itu tidak berarti hubungan antara aku dan Olivia terputus sebagai ibu dan anak."
Nadia menampar wajahku dengan sangat keras. Apa yang sedang dia pikirkan? Mengapa dia marah saat aku menyebut Olivia putriku? Mata Nadia berapi-api. Dia mendorong aku, menjauhi rumahnya. Dia usir aku secara paksa. Aku ngotot ketemu Mas Wahyu. Kami bertengkar dan perkelahian ini membuat Mas Wahyu keluar dari rumah.
Saat melihatku, Mas Wahyu menarikku, mendorong aku ke dinding. Dia mencekik leherku sembari bergumam, "Ngapain kamu datang ke rumahku? Tubuh kotormu ini tidak boleh menyentuh tanah rumahku," tegas Mas Wahyu.
Kemarahan Mas Wahyu persis seperti kegusaran Nadia. Aku memaklumi emosi Mas Wahyu namun tidak dengan Nadia. Ada yang mencurigakan namun aku tidak mau mencari tahu tentang apa yang aku pikirkan. Aku lebih percaya kalau dulu aku hamil anak Mas Wahyu lalu lahirlah putri kami bernama Olivia.
"M...a...s."
Susah payah aku memanggil namanya. Leherku terasa sangat sakit. Aku tidak bisa bernapas. Aku pegang tangan Mas Wahyu agar dia mau melepaskan tangannya yang melingkar di leherku. Mas Wahyu berhenti mencekik leherku. Dia beralih menarik rambutku sangat kuat seakan rambut itu hanya rumput. Cengkraman di rambutku terlalu kuat sampai aku tidak sanggup bergerak. Sekali bergerak rambutku terasa akan tercabut dari akarnya.
"Katakan apa maumu sekarang, heh?"
Mas Wahyu geram. Aku tidak sanggup menahan sakit. Aku menjawab pertanyaan Mas Wahyu cepat agar siksaannya padaku berhenti. "Aku hamil anak Romeo, Mas."
Mata Mas Wahyu membelalak. Matanya terlampau bulat sampai aku berpikir bola matanya akan melompat keluar. Dia melepas cengkramannya padaku perlahan-lahan.
Dia menatap mataku serius, mataku menggenang air mata karena takut padanya. Mas Wahyu adalah orang yang paling aku takuti di dalam kehidupanku. Ketika dia marah, dia tak akan memakai hati nuraninya.
"Kamu memang bukan ibu yang baik bagi, Oliv. Kau tidak pantas jadi ibunya." Mas Wahyu berbicara datar. Aku merasa ngeri sebab Mas Wahyu tidak melakukan apa-apa. Aku merasa kalau dia merencanakan hal yang lebih besar untuk menyakiti aku.
"Maafkan aku, Mas."
Minta maaf tidak akan merubah keadaan tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku terlanjur berdosa. Kesalahanku terlalu banyak sampai aku tidak tahu bagaimana caraku mengatasi semua masalah ini.
"Dia memang bukan ibunya, Oliv 'kan. Akulah ibunya Oliv. Itulah sebabnya kita menikah. Sebenarnya bukan aku wanita penggoda, Hana. Kamulah orang itu. Kamu merebut Mas Wahyu dariku. Tak puas dengan perbuatanmu padaku. Kau berusaha menghancurkan rumah tangga putriku, Olivia.
Aku tidak memahami sedikit pun perkataan Nadia. Semua yang dia katakan adalah omong kosong. Dia mengarang cerita hanya untuk menyakiti hatiku. Membalikkan fakta kehidupan kami. Jelas-jelas akulah wanita pertama yang dinikahi Mas Wahyu.
"Kamu bukan ibu kandung Olivia tetapi aku."
Air mataku tumpah. Aku mengambil napas kemudian menjawab pertanyaan Mas Wahyu.
"Aku akan beritahu Oliv, Mas. Aku akan beritahu Mas Romeo. Aku ingin keadilan buat bayiku." Dokter Stefan menyarankan aku mengenai ide ini. Aku benar-benar menyetujui ide dari Dokter itu.
"Kamu bilang apa, Han?"
Aku menoleh ke arah lain karena tak ingin melihat kemurkaan Mas Wahyu. Aku memegang perutku, melindungi bayiku dari serangan Mas Wahyu. Hanya aku yang bisa menolong bayiku ketika semua orang tak menginginkan dia. "Aku bilang akan beritahu semua orang," ulangku Aku paksa diriku menjawab, mengabaikan perasaan gentarku.
Mas Wahyu menamparku sangat keras. Kekuatannya begitu besar. Aku terhempas jatuh di lantai. Belum puas menamparku, Mas Wahyu menendang-nendang tubuhku dengan begitu teganya. "Jangan sakiti aku, Mas." Aku memeluk kaki Mas Wahyu. Aku memelas namun tetap diabaikan olehnya.
"Ingat, Hana. Aku tidak akan biarkan hidupmu tenang. Aku tidak menganggu kamu selama beberapa bulan hanya karena aku kira kamu tidak akan muncul lagi di kehidupan kami."
Aku diam selagi Mas Wahyu melanjutkan, "Tampaknya kamu memang wanita tidak tahu malu, Hana. Ketika orang lain tidak menginginkan kehadiranku. Kamu masih datang ke kehidupan kami."
Mas Wahyu melihat balok di sekitaran kami. Dia hendak mengambil benda itu waktu aku memeluk kedua kakinya."Kumohon, Mas. Jangan sakiti aku. Aku akan menjauhi Romeo dan Oliv kalau itu akan buat Mas Wahyu tenang. Aku tidak akan ganggu rumah tangga mereka." Mas Wahyu menampakkan mimik tenang.
Mas Wahyu menghela napas. Dia mencekik daguku. "Aku pegang janjimu. Kalau sampai kamu melanggarnya, habis kamu, Han. Kamu akan merasakan perihnya siksa neraka sebelum malaikat mengantarmu ke tempat asalmu itu."
Aku merinding mendengar perkataan Mas Wahyu.Aku sepakati aturan main ini. Aku tidak akan muncul di hadapan Mas Romeo seperti yang orang-orang inginkan. Aku seharusnya mengasingkan diri seperti yang aku lakukan biasanya. Aku meninggalkan rumah Mas Wahyu dengan perasaan muram. Segalanya nihil.
Aku tidak mendapatkan apa-apa. Mungkin memang sudah takdirku merawat bayiku sendirian. Kehadiran kami akan membuat semua orang bahagia. Perjuanganku baru dimulai, inilah permulaan yang harus kutangani sendirian.
Instagram : sastrabisu
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku adalah Menantuku
General FictionHana merupakan janda berusia 34 tahun-an, tinggal bersama putrinya bernama Olivia 17 tahun) yang menikah muda dengan Romeo (30 tahun)... Maksud hati menyatukan rumah tangga putrinya yang retak, Hana justru terbuai oleh menantunya yang tampan.