Bab 4

6.4K 136 16
                                    

***

Kesepakatan aku dan Romeo berjalan dengan baik. Romeo mulai memperhatikan Olivia. Dia membawakan Olivia bunga mawar merah saat Olivia sudah membaik, sudah bisa bicara.

Romeo berubah, aku menyaksikan perubahan itu. Aku memandangi Romeo dan Olivia di depan pintu kamar rumah sakit. "Suami putrimu sangat romantis ya, Han. Dia sampai bawa bunga buat Olivia."

Aku menoleh ke arah saudara perempuanku Meida yang bicara padaku. "Iya. Romeo memang pria romantis." Momen kebersamaan aku dan Romeo terlintas di kepalaku. Kenangan itu memabukkan. Seandainya bisa, aku mau memiliki lelaki seperti Romeo seutuhnya.

"Apa Olivia mengatakan sesuatu padamu tadi?" Dokter bilang Olivia sudah bisa bicara. Aku belum siap jikalau semua orang tahu apa yang sudah aku lakukan kepada Olivia. "Sesuatu yang seperti apa? Olivia tidak mengatakan hal serius," balas Meida. Aku mengangguk, mengeluarkan napas lega.

"Oh."

"Memangnya kenapa, Han? Kamu sembunyikan sesuatu dari kami?" Aku menggeleng keras, meyakinkan Meida kalau aku tidak menyembunyikan sesuatu. Aku tidak tahu apakah Meida percaya padaku atau tidak. Hanya saja, dia tidak lagi membalas ucapanku.

Meida pamit sholat ashar ketika ibuku datang bersama Aryan. Aku titip Aryan sebentar padanya saat mau ke kamar inap Olivia. "Ibu enggak sholat dulu? Aku bisa jagaian Aryan. Meida barusan ke musholla."

Aku sengaja menyuruh ibu ke musholla agar aku bisa bicara dengan Olivia. "Iya, benar. Kamu beneran enggak apa-apa jagain cucumu?"

"Enggak apa-apa, Bu."

Setelah kuyakinkan ibuku, beliau akhirnya pergi sholat, menyusul Meida. Romeo ada di dalam ruangan Olivia. Aku memberi kode agar  meninggalkan aku dan Olivia. Romeo membawa Aryan pergi sehingga di dalam kamar inap Olivia hanya ada aku dan dia. "Maafin Mama ya, Liv," bisikku sambil mengambil duduk di dekat ranjang putriku. Aku paham minta maaf tidaklah cukup namun hanya itu yang sanggup kulakukan.

Wajah Olivia kusut. Dia merasa jijik untuk sekadar memandangiku. "Enggak! Aku enggak bisa maafin perbuatan Mama. Apa Mama enggak punya rasa malu?" Olivia mengamatimu, "Maafin Olive udah bicara kasar sama Mama. Olive cuma mau menegaskan kalau perbuatan Mama itu salah." Mata Olivia menyala-nyala.

Olivia menlanjutkan, "Mama tahu seperti apa hubungan rumah tangga aku sama Mas Romeo. Kami bertengkar. Bukannya menyatukan kami, Mama justru merebut suamiku. Aku kecewa sama Mama. Orang yang seharusnya aku percaya justru menikam aku dari belakang. Rasanya sakit, Ma." Olivia memegangi hatinya, sesak yang ia pendam telah terlampiaskan, keluar dari mulutnya.

"Oliv," panggilku. Aku belum bicara dan Olivia menyela, "Mama pernah disakiti 'kan? Mama tahu betapa sakitnya waktu Papa selingkuh dari Mama. Terus kenapa Mama biarkan aku terluka? Romeo suamiku, Ma. Apa pantas Mama berhubungan dengan menantu Mama sendiri? Romeo itu ibarat anak Mama juga. Sebenarnya apa yang Mama pikirkan?" Olivia membentak.

"Masalah ini enggak segampang yang kamu kira, Liv." Air mataku membasahi pipiku. Kuhapus cairan bening tersebut lalu menambahkan, "Mama sudah coba bujuk kalian berdua. Mama dekati Romeo, menasihati dia. Kamu tidak tahu kalau suamimu pernah melecehkan Mama. Saat itu Mama benci banget sama suamimu. Mama malu memberitahu kalian semua karena bagi Mama itu adalah aib."

Apa yang terjadi antara aku dan Romeo butuh proses yang panjang.  Aku membenci Romeo berbulan-bulan sampai perasaan benci itu perlahan berubah, semua yang aku lalui amat berat. Olivia mendelik namun dia tidak berkomentar. "Pelecehan itu terjadi berkali-kali, Liv. Mama merasa sudah terlanjur kotor. Jadi--." Aku tidak bisa berkata-kata lagi.

"Mama mau bilang kalau Mama biarkan Romeo terus-terusan menodai Mama? Kalau Mama memang benci Romeo sejak awal, Mama tidak akan biarkan dia menyentuh Mama untuk kedua kali. Olive enggak bisa percaya sama Mama." Olivia membalikkan muka ke arah lain. Dia menangis namun tidak mau aku menyaksikan kesedihannya.

"Mama sudah jujur, Liv. Mama enggak bohong." Olivia tidak peduli kepadaku. Aku terpukul akan keadaan ini. Tidak ada orang yang bisa memahami keadaanku. "Cobalah mengerti Mama, Liv. Kalau kamu di posisi Mama. Apa yang bakal kamu lakukan?"

Olivia bersungut-sungut. "Kalau aku jadi Mama maka aku bakal bilang ke semua orang mengenai tindakan buruk Romeo. Mama tidak mengungkapkan itu ke orang-orang karena Mama menyukai perbuatan Romeo. Mama menikmatinya itulah sebabnya Mama tidak cerita. Jika Mama merasa benar maka Mama akan bilang semua kejadian pahit Mama padaku. Tidak--, itu bukan kejadian pahit. Itu momen bahagia Mama."

Aku sesenggukan. Mengapa semua orang tidak percaya kepadaku? Aku tahu kalau aku salah tetapi setidaknya mereka mengerti sedikit bagaimana berada di posisiku. Apa yang orang-orang pikirkan tidak segampang yang mereka bicarakan.

"Mama sudah bikin kesepakatan dengan Romeo. Suamimu tidak akan mendua lagi. Mama janji tidak akan ganggu hubungan kalian."

Olivia meringis. "Oh, jadi Romeo lebih mendengarkan Mama? Aku sudah duga ini terjadi." Aku menggeleng keras. Mengapa semua yang aku lakukan selalu salah? Aku sudah merelakan perasaanku dan sekarang aku pun bersalah? Aku harus bagaimana lagi? Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.

"Enggak seperti itu, Liv." Aku menghela napas. Aku melihat sekelilingku. Mumpung tidak ada orang aku berkata, "Liv, Mama mohon jangan bilang ke siapa pun soal kejadian yang menimpa kamu ya. Mama enggak mau buat suasana makin rumit. Mama janji tidak akan ganggu hubungan rumah tangga kalian."

Olivia menyeringai. Aku pikir segalanya sudah berakhir. Aku kira Olivia tidak akan bahas soal hubungan gelapku dan Romeo. Tetapi aku salah. Ini baru permulaan. Waktu Meida, ibuku, dan Mas Wahyu menjenguk Olivia, dia mulai membongkar kedokku. "Aku mau mengungkapkan sesuatu kepada kalian semua," ujar Olivia.

Aku menggeleng. "Jangan, Liv. Mama mohon." Aku belum siap berhadapan dengan Mas Wahyu. Semua orang menatap aku dan Olivia bergantian. Dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan Olivia. Ada banyak orang di dalam ruangan dan aku belum siap menghadapi perasaan benci mereka.

"Ada apa, Liv? Apa Mamamu mengancammu?" Mas Wahyu melototi aku.

Mas Wahyu berdiri kemudian mencengkram kedua lengan merasa seperti perih di lengan. "Katakan padaku, apa yang sudah kaulakukan dengan putriku?" tanyanya tajam.

Aku mengigit bibirku agar tidak mengatakan sesuatu. "Cepat, katakan!" bentak Mas Wahyu.

"Mama selingkuh dengan Romeo, Pa. Mama adalah alasan mengapa aku minum racun. Gara-gara Mama aku begini. Mama menghancurkan hidupku." Olivia sesenggukan.

Ibuku bertanya tegas, "Kamu beneran melakukan hal keji itu, Han?" Mataku berair, aku menunduk sebentar. Aku melirik Dokter, perawat, ibuku, dan Meida bergiliran. "Maafkan, Hana. Ini terjadi begitu saja."

Aku menangis. Mas Wahyu tidak bisa menahan kemurkaan. Dia menonjok muka-ku dengan sangat kuat. Badan kecilku terhempas cukup jauh di lantai. Sudut bibirku robek, berdarah. Aku pantas mendapatkan itu. Air mataku bercucuran. Aku menyesal, kini aku harus menerima penderitaanku.

Instagram : Sastrabisu

Suamiku adalah MenantukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang