***
Olivia dan Romeo resmi bercerai. Aku tinggal bersama Romeo namun rasanya dia bukan milikku. Dia masih frustrasi, memikirkan bagaimana caranya agar bisa rujuk dengan Olivia. Romeo tinggal denganku hanya karena kasihan padaku. Kami tidak pernah bersentuhan walau kami berada di kasur yang sama.
"Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau, Mas? Aku akan menuruti maumu."
Aku berujar saat Romeo pulang kerja. Dia kelihatan stress dan kupikir dia butuh tempat melampiaskan penat. Romeo menggeleng, ini sudah kesekian kalinya dia menolak bersentuhan dengan aku. Dia selalu punya alasan menghindar.
"Aku lagi enggak mau gituan, Han," katanya. Kemarin dia bilang belum siap. Kini dia punya jawaban lainnya.
"Kamu jijik sama aku 'kan?"
Aku menebak. Aku selalu dihantui perbuatan Mas Wahyu. Setiap kali kejadian itu terngiang di kepalaku, aku merasa tidak pantas bersanding dengan siapa-siapa. Aku merasa begitu kotor. "Enggak, Han. Aku enggak jijik sama kamu. Buat apa? Kamu istriku, aku tidak mungkin jijik padamu 'kan?"
Romeo mengalihkan perhatian menuju jendela. Tatapannya kosong. Aku menebak kalau dia bohong padaku. Dia tidak mau menyentuhku sebab dia merasa rendah untuk sekadar berbagi kesenangan denganku.
Aku membuatkan Romeo teh, untuk menenangkan hatinya. Aku tidur lebih awal. Waktu aku bangun hatiku benar-benar terluka. Romeo tidak meminum teh buatanku. Dia membiarkan teh itu tetap dalam keadaan penuh sampai pagi hari. Kalau hanya sekali dia melakukan itu, aku bakalan memaklumi namun ini sudah lebih dari dua kali. Romeo terpaksa tinggal bersamaku.
Pagi-pagi Romeo sudah tidak ada di dalam kamar. Aku cari di mana keberadaannya. Aku mengintip di ruang tengah rumah baru kami. Kudengar Romeo membujuk Olivia rujuk dalam telepon. "Aku akan ceraikan Mamamu, Liv. Aku enggak cinta sama dia. Aku sadar kalau dia hanyalah pelampiasanku sejak lama."
"Kamu mau 'kan balik sama aku? Anggap saja ini demi Aryan. Pernikahan kontrak antara aku dan Mamamu akan tetap berlaku. Aku tidak tahan jauh dari kamu, Liv."
"--"
"Aku janji akan jadi ayah yang baik buat Aryan. Bukankah kita sudah rencanakan bayi kedua?"
"--"
"Liv, Olivia!"
Romeo menendang sofa dengan keras waktu panggilan teleponnya mendadak mati tanpa sepengetahuannya. Wajah Romeo dipenuhi emosi yang membara. Dia benar-benar marah dan aku takut mendekatinya. Dia melempar vas bunga, nyaris mengenai diriku yang diam di sudut ruangan. Aku tersentak, memegangi jantungku yang terasa akan lepas karena tindakannya.
Aku mengambil sendok sampah, memasukkan serpihan-serpihan vas bunga yang berserakan di lantai. Aku mencoba tak bersuara agar Romeo tidak terganggu. Aku memperhatikan Romeo menyesap rokok. Aku belum pernah melihat dia merokok sebelumnya namun kupikir dia melampiaskan kekesalannya melalui rokok.
Suasana hati Romeo sedang tidak bagus. Jadi aku mencari cara agar dia senang. Saat dia mandi, aku menyiapkan baju kerjanya, semua perlengkapan yang sering dia bawa ke kantor. Aku berharap perhatianku padanya membuat hati Romeo luluh.
"Aku 'kan enggak nyuruh kamu siapkan pakaianku, Han? Aku enggak suka sama warna baju pilihanmu. Lain kali enggak usah lakukan sesuatu yang tidak aku minta," kata Romeo ketus. Dia tidak pernah bicara dengan nada begitu padaku. Ini pertama kalinya.
"Maafkan Hana, Mas."
Aku menunduk. Cukup sedih karena niat baikku tidak pernah dihargai. Aku duduk di pinggir ranjang dengan perasaan sedu. Romeo mencari pakaiannya di dalam lemari. Dia nyaris mengeluarkan semua isi lemari supaya bisa menemukan apa yang dia cari. Aku tidak mengeluh bagaimana nanti melipat pakaian tersebut, aku hanya penasaran pakaian mana yang mau dia pakai.
"Cari kemeja yang mana, Mas. Mungkin Hana bisa bantu."
"Kemeja biru hadiah dari Olivia mana? Kemeja yang aku pakai hari Rabu itu." Romeo menjelaskan datar. Aku membantunya mencarikan kemeja itu. Setelah kutemukan pakaian itu, Romeo tidak ucapkan terima kasih. Aku memaklumi karena suasana hatinya sedang tidak baik. Romeo berangkat kerja bersama dengan sikap dinginnya.***
Perlahan-lahan, aku kehilangan sikap hangat Romeo. Aku menunggunya pulang dari kantor. Kusambut dia dengan wajah ceria namun Romeo masih orang yang sama seperti tadi pagi. Tatapan Romeo dingin saat melihatku. Dia tidak bicara dan itu membuatku takut. Kami mulai jarang mengobrol. Seolah ada jarak yang memisahkan kami. Tubuh Romeo ada di hadapanku namun jiwanya berada di luar sana entah di mana.
"Han. Aku mau ngomong sama kamu."
Aku memberanikan diri duduk di samping suamiku yang tengah asyik menonton TV. Ekspresi wajah Romeo serius. Aku menduga dia akan membicarakan hal penting. "Ada apa, Mas?"
Romeo menghela napas, mengalihkan perhatiannya dari layar TV sehingga kami saling menatap. Mata kami beradu begitu intens. Jantungku berdebar, bersiap-siap mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh bibirnya yang manis. "Setelah bayi kita lahir. Aku mau kita cerai. Kamu enggak apa-apa 'kan, Han? Aku merasa hubungan kita tidak sehat. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita sampai akhir. Aku tidak bisa lupakan Olivia."
"Tapi aku mulai mencintai kamu, Mas."
Aku mengusir segala egoku. Olivia sudah mengorbankan kebahagiaannya untukku dan aku tidak mau pengorbanan putriku sia-sia. Olivia memintaku berjanji menjaga Romeo, membuatnya bahagia. Namun apa yang terjadi? Romeo malah ingin kami berpisah.
"Kamu bohong 'kan, Han? Kamu enggak mungkin mencintaiku. Dulu aku mengemis cintamu tetapi kau menolak cintaku." Romeo mengembalikan kata-kataku yang dulu. "Aku serius, Mas. Sejak dulu aku memang menyukai Mas Romeo. Semenjak kesalahan itu terjadi."
"Aku enggak bisa, Han. Apa kamu tega biarkan Olivia dan Aryan menderita tanpaku?"
Romeo menegaskan agar kami pisah setelah aku melahirkan. Aku memohon, meminta waktu lebih lama padanya. Romeo bilang kalau dia butuh waktu mencerna permintaanku. Apa yang paling menyakitkan adalah Romeo semakin terasa jauh. Biasanya kami berada dalam satu ranjang, kini dia memilih tidur sendiri di sofa. Beberapa kali aku memergoki dia menghubungi Olivia namun Olivia selalu menolak ajakan darinya.
Aku punya suami tetapi rasanya aku sendirian. Mas Wahyu tidak berhenti menghubungiku meskipun aku berkali-kali mengabaikan panggilannya, dia tetap bersemangat hubungi aku. Ponselku berdering ketika Romeo sedang ada di kamar. Aku beringsut mendekati nakas. Aku menatap takut Romeo. Tanganku gemetaran, aku mau matikan panggilan itu.
Dan...
Romeo memergoki panggilan itu. "Apa maksud dari ini semua, Hana. Apa kamu dan mantan suamimu berhubungan gelap?" Romeo kelihatan gusar. Aku menjawab gagap, "Eng...gak, Mas."
Romeo membanting ponselku sampai layarnya berubah jadi hitam. "Mas Wahyu terus ganggu aku, Mas. Aku tidak pernah menanggapi permintaannya. Aku tidak akan mengkhianatimu." Aku mencoba meredam amarah Romeo.
Kalau saja Romeo mengeluarkan isi hatinya mungkin aku tahu seperti apa pemikirannya tetapi dia tidak begitu. Amarah terbesar Romeo adalah diam. Aku takut kemarahan yang dia pendam suatu hari akan meledak. Aku sudah jelaskan semuanya, sebisaku. Aku tidak tahu apakah Romeo percaya atau tidak.
Instagram : Sastrabisu
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku adalah Menantuku
Tiểu Thuyết ChungHana merupakan janda berusia 34 tahun-an, tinggal bersama putrinya bernama Olivia 17 tahun) yang menikah muda dengan Romeo (30 tahun)... Maksud hati menyatukan rumah tangga putrinya yang retak, Hana justru terbuai oleh menantunya yang tampan.