Bab 3

8.1K 154 7
                                    

***

Setelah rahasiaku dan Romeo terbongkar, Olivia sangat terpukul. Dia merasa hidupnya tidak berguna. Sore hari, Olivia minum racun tikus. Aku menemukannya saat busa keluar dari mulutnya. Aku panik, aku merasa hancur. Aku hubungi Romeo sampai dia muncul dengan tatapan pilu,  menunjukkan perasaan cemas luar biasa.

Kami merasa bersalah pada Olivia, aku tidak bisa berkomentar begitu pun dengan Romeo. Aku menggendong Aryan sampai di rumah sakit. Aryan sangat membutuhkan ibunya. Aku tidak percaya Olivia memilih keputusan keliru seperti ini. Mengapa dia mengesampingkan Aryan yang tak berdosa sama sekali.

"Olivia masuk rumah sakit, Mas." Suaraku bergetar saat mengabarkan berita buruk itu. Aku menghubungi Mas Wahyu selaku ayah kandung Olivia. Dokter masih memeriksa keadaan Olivia. Entah bagaimana kondisi putriku sekarang. Aku berharap semuanya baik-baik saja.

"Memangnya Oliv sakit apa, Han?" Mas Wahyu agak heran sebab kemarin dia sempat bertemu putrinya. Aku gugup, tidak mau mengakui kesalahanku.

"Ada racun dalam botol air mineral, Mas. Olivia enggak sengaja minum racun itu." Aku bohong. Kalau Mas Wahyu tahu apa yang sudah kulakukan pada Olivia. Dia akan siksa aku seperti yang sering dia lakukan saat kami masih bersama. Mas Wahyu sangat berbeda dengan Romeo yang penyayang. Wahyu lebih kasar.

"Kamu tuh gimana sih, Han. Ngapain kamu taruh racun dalam botol air mineral. Kamu memang niat bunuh anak kamu sendiri ya?" Mas Wahyu berapi-api. Aku minta maaf. Aku bahkan belum jujur dan Mas Wahyu sudah menyerang aku habis-habisan. "Enggak, Mas. Aku sayang Olivia. Aku enggak tahu kalau keadaan akan bakalan begini."

"Kalau sampai Olivia kenapa-napa, habis riwayat kamu, Han. Aku akan hancurkan hidupmu. Ini salahmu," tegas Mas Wahyu. Panggilan telepon kami berakhir. Aku duduk di ruang tunggu dengan perasaan sedih. Aryan menyeka air mataku. Dia tidak tahu kalau aku baru saja membuat ibunya dalam masalah. Aryan masih sangat polos, aku tidak mau melukai anak itu.

"Kamu pulang saja ya, Han. Biar aku yang urus Olivia. Biarkan Aryan istirahat," kata Romeo. Aku tidak bisa meninggalkan putriku segampang ini. Aku berkata, "Enggak, Mas. Aku bertanggung jawab atas Olivia. Aku harus di sini sampai dia sadar."

Romeo menggenggam tanganku. Dia mengusap lembut pipiku seraya berbisik, "Ini bukan salah kamu, oke? Jangan pernah salahkan diri kamu. Mending kamu pulang. Kasian Aryan enggak bisa menginap di tempat ini." Aku melihat Aryan, dia menunjukkan reaksi tak suka berada di rumah sakit. Romeo benar. "Kabari aku kalau keadaan Olivia sudah baikan." Romeo mengangguk.

Sebelum aku pulang, Romeo menyempatkan untuk berikan aku kecupan di ujung kepalaku. Aku cukup menghangat karena perbuatannya. Selain itu, aku terlalu lelah sehingga tidak sempat protes atas apa yang dia lakukan. "Kamu jaga kesehatan ya, Han. Olivia akan baik-baik saja." Romeo meyakinkan diriku dan aku percaya kepadanya.

Sampai di rumah, aku membaringkan Aryan di tempat tidur. Aku benar-benar takut menghadapi takdir hidupku. Aku tidak mau Olivia kenapa-napa namun di sisi lain, aku akan dibenci semua orang karena sudah membuat kehidupan rumah tangga putrimu hancur. Aku pun tak menghendaki ini pada awalnya. Romeo memaksaku begituan. Aku korban, namun semakin lama. Romeo justru membuat aku nyaman. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku sama sangat bingung.

Aryan sudah tidur. Aku baring di sampingnya. Saat aku bangun pagi harinya, aku lihat Romeo ada di sampingku, dia memelukku. Aku terkesiap, apa yang dia lakukan? Dia seharusnya membangunkan aku saat dia sudah pulang. Aku bangkit dari tempat tidur. "Jangan pergi dulu, Han. Aku masih mau peluk kamu."

"Jangan kayak gini Mas. Oliv ada di rumah sakit. Kita tidak seharusnya bersama di saat dia sedang sekarat." Aku menangis. Aku bersalah dalam hal ini. Aku tidak tahu cara menebus kesalahanku. Hanya air mata yang bisa aku keluarkan. Bagaimana caranya agar Olivia bisa bahagia dengan Romeo? Bagaimana caranya membuat Romeo menyadari betapa besar cinta istrinya kepada dia.

Romeo datang padaku, menyeka air mataku. "Kita tidak pernah memaksa Oliv minum racun itu. Kita tidak bisa bertanggung jawab atas perbuatannya." Aku membelalakkan mata. Baru kemarin aku lihat perasaan bersalahnya. Kini dia menunjukkan sisi egoisnya lagi. "Maksud kamu apa ngomong gitu, Mas? Kamu tega melihat Oliv sakit?"

"Olivia minum racun karena kesalahan kita. Kita berselingkuh dari Olivia, Mas. Apa kamu lupa?" Aku berteriak. Romeo diam. "Aku minta maaf, Han. Aku hanya tidak mau kau terus menyalahkan diri sendiri. Aku tidak mau kau jauhi aku gara-gara Olivia. Aku cinta kamu, Han." Romeo menggenggam tanganku.

"Kalau kamu sayang aku. Tolong, pertahankan Olivia. Aku bahagia kalau putriku bahagia. Kumohon, Mas. Kita akhiri saja hubungan ini." Aku sudah bosan beritahu Romeo. Namun kali ini aku serius mau mengakhiri perselingkuhan antara aku dan Romeo.

"Kalau kamu masih berusaha dekati aku. Aku bakal minum racun yang sama seperti racun yang diminum  Oliv." Aku bersungguh-sungguh. Jika memang Olivia bisa merelakan nyawanya demi kebahagian aku. Mengapa tidak, aku relakan nyawaku juga demi kebahagiaan Olivia.

"Kamu enggak serius 'kan, Han?" Romeo tidak rela aku mati. Aku tegaskan padanya kalau aku tidak main-main. Romeo frustrasi. Dia meremas rambutnya kuat-kuat.

"Kenapa kamu beri aku pilihan yang sulit, Han? Aku udah enggak tertarik sama Oliv. Aku sayang kamu, Han?"

"Enggak bisa. Kamu harus kembali pada Olivia kalau kamu sayang sama aku." Romeo memaksa hatinya kembali pada Olivia. Dia memberikan aku satu syarat. Syarat itu cukup membuat aku bimbang namun aku menyetujinya. Aku melaksanakan persyaratan itu dengan Romeo. Sekarang aku bisa pastikan hubungan rumah tangga putriku akan baik-baik saja.

Olivia sudah sadar ketika aku datang menjenguknya. Dia belum bisa bicara. Dia terus melototi aku saat  menjenguknya. Dia tidak mengamuk karena ada Mas Wahyu, ibuku, dan juga saudara perempuanku Meida di sana. "Wahyu bilang kamu taruh racun di botol air mineral. Kamu kok bisa sampai seceroboh itu sih, Han?" Ibuku bertanya saat aku menyiapkan makanan untuk Olivia.

"Tolong jangan bahas masalah itu lagi ya, Bu. Olivia akan jelaskan saat dia sudah sembuh."

Biarkan Olivia yang beritahu semua orang kalau aku berhasil merebut suaminya. Aku tidak bisa membicarakan kotoranku sendiri. Ibuku menghela napas panjang. Aku membujuk Olivia makan tetapi dia tidak mau kalau aku yang memberinya makanan. "Biar aku saja." Saudaraku, Meida yang mengambil alih tugasku.

Olivia tidak bisa makan normal untuk sementara. Makanan yang diberikan tidak melalui mulut melainkan dari hidung. Ada selang yang dipasang di hidungnya, yang menghubungkan langsung ke lambungnya. Aku tersiksa setiap kali melihat Olivia kesakitan. Aku tidak sanggup menyaksikannya. Seandainya waktu bisa terulang.

Instagram : Sastrabisu

Suamiku adalah MenantukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang