***
Aku buka mataku perlahan-lahan. Kupikir aku akan berada di suatu tempat yang jauh, menghilang dari bumi. Kenyataannya adalah aku berada di rumah sakit. Aku melihat sekelilingku dan Olivia tengah tertidur menunggu aku sadarkan diri. Aku tidak menyukai tempat ini.
Mengapa ibu dan Meida menolong aku? Mereka seharusnya membiarkan aku mati agar aku dapatkan hukuman setimpal atas apa yang sudah aku perbuat kepada Olivia. Aku tidak sanggup mendapatkan teror Mas Wahyu tempo hari. Aku tidak bisa diperlakukan seperti itu. Semua wanita tidak pantas mendapat hal mengerikan seperti itu.
"Mama sudah sadar?"
Olivia bertanya datar. Dia pura-pura kuat namun aku tahu dia rapuh, bersedih. Olivia tumbuh bersamaku sejak dia masih sangat kecil. Olivia tidak akan menunggu aku bangun kalau tidak peduli padaku.
"Kenapa kalian tolong Mama, Liv? Mama tidak pantas dapatkan kesempatan hidup."
Aku mau cabut selang infus yang terhubung di tubuhku namun Olivia menghalangi. Dia berkata kalau aku seharusnya memperbaiki situasi yang aku rusak bukannya menghilang seperti pecundang. Aku memang orang yang seperti itu. Aku tidak bisa mengatasi masalah yang aku mulai. Aku ingin lari sampai tidak ada lagi yang mengingat aku.
Aku bergeming, menatap peralatan rumah sakit dengan hampa. Seperti hari kemarin, aku masih orang yang merasa hidupku tidak berharga. Setiap kali kuingat tawa Mas Wahyu dan teman-temannya, aku merinding. Perasaan gamang menyelimuti pikiranku. Hatiku sedu, kalut. Aku tak punya tujuan hidup lagi. Aku mau menyerah akan kesinisan orang orang padaku.
"Aku akan ceraikan Mas Romeo."
Di tengah pergolakan batinku, Olivia mengumumkan. Aku menoleh, menyaksikan dia tertawa paksa. Dia tidak akan sebahagia itu saat memutuskan apa yang mau dia lakukan. Aku beringsut duduk."Kamu enggak serius 'kan, Liv?" Aku mengambil napas. Aku melihat Olivia berhenti tergelak. "Aku serius. Aku mau Mama bahagia sama Mas Romeo. Aku tidak bisa menerima dia lagi, Ma." Olivia memejamkan mata sesaat, menutup luka yang ada dalam hatinya.
Perpisahan Romeo dan Olivia bukanlah sesuatu yang aku harapkan. Aku menginginkan mereka tetap bersama. Aku dan Romeo hanya terikat kontrak pernikahan. Setelah masa kontrak kami berakhir, otomatis kami akan bercerai. Romeo pun tidak lagi menyimpan rasa terhadapku. Dia bilang mencintai Olivia.
Aku mematung. Di saat yang sama, ibuku dan Meida masuk ruangan. Wajah mereka kusut. Kemarahan masih tercetak di wajah mereka. Sampai kapan pun, aku berpikir mereka tidak akan menerima diriku. Bahkan meninggal pun, kurasa mereka tak akan meneteskan air mata.
"Dengan kamu menggores tanganmu, tidak akan menghapuskan dosamu, Han. Tidak akan menyelesaikan masalah yang kamu timbulkan. Aku bawa kamu ke rumah sakit bukan karena aku peduli padamu. Aku hanya tidak mau kau lari dari tanggung jawabmu dengan mudah. Kamu harus menyelesaikan semuanya, Han." Lagi-lagi Meida menohok hatiku. Dia melipat tangan di depan dada sembari menatapku dengan tatapan benci.
Aku tidak bicara. Aku kehabisan kata-kata. Semua yang dikatakan Meida benar, aku tidak bisa membantah sedikit pun. "Kami sudah membicarakan persoalan kau dan Mas Wahyu bersama seluruh anggota keluarga. Perbuatan Mas Wahyu tidak akan diproses secara hukum. Kami sepakat memaafkan tindakannya. Wahyu hanya kesal dengan kamu, Han. Dia mau balaskan kemarahan atas apa yang sudah kaulakukan pada Olivia. Pikirkanlah kalau kamu berada di posisi Wahyu."
Aku menggeleng keras. Aku tidak habis pikir mereka maafkan tindakan keji Mas Wahyu dengan begitu mudahnya sementara mereka tidak mampu memaafkan kesalahanku. Aku meremas seprei kuat-kuat. Apakah keadilan untukku benar-benar tidak ada? Aku merasa begitu muram. Aku berbaring tanpa kata, membelakangi mereka. Aku lelah berdebat, lelah memperjuangkan hak yang harus aku dapatkan. Bicara pun tak ada gunanya.
"Kalau kamu memikirkan tentang keadilan, Han. Maka ingat saja dosa-mu. Apakah kamu pantas mengharapkan keadilan setelah semua tindakan buruk yang kamu lakukan pada putrimu? Kalau aku jadi Tuhan, Han. Aku enggak akan maafin kamu." Meida adalah saudara perempuanku, aku tidak percaya dia sama sekali tak bersimpati dengan masalah yang aku hadapi.
"Aku akan jemput Aryan."
Olivia pamit pergi dari kamar inapku. Waktu bergulir begitu lambat. Bagaimana caranya aku atasi ini semua. Aku harus berjuang melewati masalahku sendiri. Aku tidak bisa mengharapkan orang lain. Seribu kebaikan akan mengalahkan satu kejahatan. Kini aku memahami makna dari kata-kata itu. Aku mengalaminya, dan rasanya sungguh tidak enak.
Saat Olivia tidak ada, suasana menjadi sangat mencekam. Tidak ada seorang pun yang berinisiatif bicara dan itu mengerikan. Setetes air mata bergulir membasahi pipiku. Aku menghapusnya segera. Aku harus berhenti menangis. Tidak ada yang berubah, semua orang akan tetap menyalahkan diriku.
***
Sore hari, aku mengatakan pada Romeo kalau aku sudah agak baikan. Aku minta dia mengurus agar aku bisa pulang. Romeo bertanya apakah aku yakin, dan aku menunjukkan kalau keadaanku sudah baik-baik saja. Romeo sudah tidak ada di kamarku ketika Nadia menemui diriku. Dia datang dengan emosi yang besar. Dia menampar wajahku sangat keras.
Aku melirik ibuku dan Meida yang hanya menutup mulut. Bagiku menutup mulut saja tidak cukup. Aku mengharapkan bantuan. Setidaknya mereka menahan Nadia atau semacamnya tapi tidak, mereka hanya diam menonton perbuatan Nadia. Itu melecehkan pikiranku, merusak emosiku.
"Kamu pasti rayu Mas Wahyu 'kan? Dia tidak mungkin melakukan hal tak senonoh kalau bukan kamu yang menggoda dia. Kamu memang wanita murahan, Han. Tidak puas dengan menantumu, kamu masih saja goda mantan suamimu?" Nadia membentak.
"Aku tidak begitu. Mas Wahyu yang paksa aku. Aku tidak mengharapkan perlakuan buruknya padaku. Aku yakin semua perempuan tidak mau diperlakukan begitu." Aku mengatakannya dengan getaran dalam suaraku. Aku berusaha kuat kendati aku lemah.
Nadia menampar pipiku kedua kali. Aku mau menolong diriku sendiri. Aku ingat perbuatan jahat Mas Wahyu padaku. Kemarahan yang kupendam aku tumpahkan. Aku balas menampar pipi Nadia. Kami bertengkar. Setelah aku melawan barulah ibuku dan Meida melerai kami. Aku tidak mau berpikir buruk namun kelakuan Meida dan ibuku seolah menginginkan aku pasrah diperlakukan buruk. Mengapa mereka begitu kejam padaku?
"Ingat, Han. Aku tak akan buat kamu bernapas lega. Kami harus dapatkan siksaan yang lebih parah. Kamu pantas diperlakukan buruk!" Nadia meninggalkan kami.
Setelah istri Mas Wahyu pergi. Ibuku tidak memberikan pembelaan padaku sama sekali. Dia justru menyakiti hatiku seperti biasanya. "Nadia pantas marah begitu sama kamu. Ibu jadi curiga kamu yang goda Wahyu begituan."
Aku membelalak kemudian menimpali, "Teganya ibu berkata begitu. Aku korban, Bu. Kenapa ibu selalu menyalahkan aku? Apa kesalahanku yang lalu harus dikait-kaitkan dalam segala hal?" Aku murung.
"Sudahlah, Han. Kamu enggak usah protes sama masalah yang datang padamu. Kamu layak diperlakukan buruk. Ini karma, Hana." Meida menambahkan. Aku tidak bicara. Betulkah takdirku sudah digariskan begini? Aku benar-benar tidak sanggup hadapi cacian setiap hari.
Instagram : sastrabisu
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku adalah Menantuku
Fiksi UmumHana merupakan janda berusia 34 tahun-an, tinggal bersama putrinya bernama Olivia 17 tahun) yang menikah muda dengan Romeo (30 tahun)... Maksud hati menyatukan rumah tangga putrinya yang retak, Hana justru terbuai oleh menantunya yang tampan.