Sandaran-04

313 41 2
                                    

Maaf jika banyak typo🍎



☊☊☊



Hari pernikahan yang terimpikan sudah didepan mata. Mungkin bagi orang-orang diluar sana akan merasa sangat bahagia dihari yang mereka impikan. Tetapi berbeda untuk Irene.

Perempuan Bae itu diam sembari menatap sepatu dengan hak tinggi mewah yang dipilihkan Sehun khusus untuknya.

Irene hanya bisa menatapnya dengan lesu. Ia tak bia memakainya karena kondisi kakinya yang tak memungkinkan.

"Rene, waktunya kita berangkat," ujar Suho yang kini memasuki kamarnya.

Irene masih menatap sepatu tersebut.

Suho tak tinggal diam. Lelaki itu memegang tangan Irene, lalu menggenggamnya. "Nggak usah sedih, mungkin ini pertanda jika bukan waktu yang tepat buat pakai sepatu itu," ujarnya.

Entah mengapa Suho mempunyai firasat tak enak untuk hari ini.

"Ayo Rene," Suho membantu Irene untuk berdiri.

"Senyum dong, kan pengantin baru" ujar Suho. Kini kedua ibu jarinya menarik sudut bibir Irene agar perempuan itu tampak tersenyum.

"Ho, gimana kalau Sehun kecewa sama aku?" Irene tampak masih memikirkan tentang kekecewaan Sehun dibenaknya.

Suho tersenyum tenang. Pria itu memang pria yang pandai menghadapi situasi apapun.

Dengan lembut, Suho mengusap bahu Irene. "Gimana bisa Sehun nggak puas sama pesona kamu?" Ujarnya tenang.

Lelaki Kim itu menatap lekat kedua manik Irene. "Hari ini kamu cantik banget Rene, jadi mana mungkin Sehun akan kecewa lihat kamu?" Suho tersenyum.

Ia berkata jujur jika Irene hari ini sangat cantik, meskipun perempuan itu tetap cantik setiap harinya. Suho memang selalu terpukau dengan pesonanya. Tetapi itu semua bukan dasar dari perasaan Suho. Perasaan Suho itu murni, dan sulit untuk hilang.

"Tapi Ho..." Irene menatap Suho yang tadi sempat melamun. "Aku nggak bisa tampil sempurna. Kaki aku nggak bisa dipakein sepatu," perempuan itu tampak lesu lagi.

"Nggak ada manusia yang sempurna Rene," lelaki Kim itu menatap manik Irene dengan tenang. "Mungkin kita pengen tampil sempurna. Tapi semua itu percuma," Suho menjeda kalimatnya.

"Karena kita cuma mikirin sempurna dari penampilan, bukan murni dari dalam diri kita,"

Irene mulai memikirkan apa yang Suho katakan. Tetapi bukan perkataan Suho yang terpikir. Justru benaknya malah memuji bagaimana cara Suho berbicara. Begitu tenang, dan nada bicaranya pun mudah mengurangi kecemasan Irene.

"Rene," Suho memegang kedua pundak Irene dan membuat perempuan Bae itu tersadar.

"Hari ini emang hari yang sepesial buat kamu. Tapi bukan berarti hari yang sempurna buat kamu." Ujarnya, lalu menggenggam tangan Irene. "Tetap lakukan yang terbaik dan tenang. Buat kesan yang baik meskipun ada kekurangan,"

Akhirnya senyuman pun terukir dibibir Irene. Perempuan Bae itu mengangguk dan akhirnya mau meninggalkan kamarnya.

Dibantu Suho, Irene berjalan dengan gaun indahnya keluar kamar dan membuat keluarganya terpukau.

Meskipun tak memakai alas kaki, tetapi kecantikan Irene tak berkurang. Cara berjalannya yang sedikit pincang itu sukses tertutupi oleh gaunnya.

"Kalau sakit nggak usah ditahan," ujar sang ibu khawatir.

Irene menggeleng. "Aku nggak mau ngecewain Sehun ma," ujarnya.

"Kita berangkat?" Ayahnya tersenyum.

Irene mengangguk. Perempuan itu berjalan dengan Suho menuju mobil.



☊☊☊




Perasaan gugup itu terus menyelimuti Irene. Bahkan rasa nyeri pada kakinya tak bisa dirasakan karena betapa hebat rasa gugupnya.

Gedung megah dengan dekorasi indah itu sudah di depan mata.

Pintu mobil terbuka, Suho turun dan membuka pintu mobil sebelah. "Turun Rene, semua pasti udah nunggu kamu," Suho tersenyum.

Dengan tersenyum, Irene keluar dari mobil dengan begitu anggun. Red carpet yang tergelar didepannya itu menambah kesan mewah dan indah. Apa lagi orang-orang dipinggir yang berdiri seperti patung penjaga.

Kali ini Irene benar-benar merasa seperti seorang putri kerajaan yang berjalan diantara para penjaga istana.

Suasana hati Irene semakin membaik kala ia mendapat sambutan dari para perempuan yang seolah menjadi pelayan tuan putri setelah berjalan sampai setengah dari panjang karpet itu.

Suho dan keluarga Irene yang berjalan dibelakang Irene ikut merasakan kebahagiaannya. Tetapi perasaan janggal Suho itu justru semakin kuat.

Untuk menenangkan dirinya, Suho hanya menarik nafas, lalu membuangnya.

























ToBeContinue🍎

Sandaran-endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang