🥀🥀🥀
Aku berdiri di atas panggung lebar dan megah, di ujung sebelah kanan ada kedua orang tuaku dan di sebelah kiri kedua mertuaku. Aku mengulum senyum saat kata mertua kuucapkan. Tidak salah, 'kan? Setelah usai pemberkatan di gereja tadi pagi, itu menandakan kalau kedua orang tua Mas Abra resmi menjadi mertuaku.
Aku melirik ke kanan, menelisik pahatan wajah Mas Abra dari samping. Hidungnya terlihat tinggi, bulu matanya cukup panjang untuk ukuran pria, garis bibir yang jika di tarik ke atas mampu membuatku terpesona. Rahangnya tegas, seolah menggambarkan sikap yang ia miliki. Sungguh aku beruntung bisa menikah dengan pria ini.
Aku terkesiap saat Mas Abra menoleh, mata ini mengerjap beberapa kali. Pipiku menghangat, aku berharap riasan di wajah ini mampu menyembunyikan rona bersemu. Tuhan ... aku malu, aku ketahuan sedang memperhatikan tentang visualnya.
Tanganku dibimbing mengait di lengannya yang kokoh. Wajah Mas Abra maju beberapa senti ke arah wajahku. "Kenapa, Sayang?" tanyanya.
Oh, Tuhan. Suara beratnya, panggilan sayang yang untuk pertama kalinya aku dengar, sepertinya membuatku melayang sebentar lagi. Aku kikuk harus menjawab apa, Mas Abra sudah sah menjadi suamiku, tapi deguban jantungku masih saja sering bergemuruh tidak karuan.
"Kamu capek, Sayang?"
Lagi-lagi pertanyaan Mas Abra menggantung begitu saja. Lidahku kelu, tidak bisa aku gunakan untuk menjawab atau lebih tepatnya kata 'Sayang' yang dilemparkan Mas Abra membuat daging tak bertulang itu kehilangan fungsi.
"Mas, Abel mana?"
Aduh, Nathalie! Kamu kenapa random sekali, sih. Aku tidak tahu kenapa bibirku justru mengeluarkan pertanyaan tentang di mana anak cantik itu berada, padahal jelas-jelas aku bisa melihat di ujung sana, Abel sedang berada di pangkuan Gaby—adik Mas Abra—dengan boneka kesayangan di pelukannya.
Mas Abra menunjuk pada kerumunan sebelah kanan. "Itu ada sama Gaby," katanya dengan senyum terangkat tinggi. "Kayaknya dia kecapekan, deh. Harusnya ini jam Adel tidur siang."
Aku mengangguk setuju, bisa kulihat dari sini gerak-gerik Abel sudah tidak nyaman. Anak itu tetap bertahan, tidak menangis. Pintar sekali putriku.
"Mau duduk?" tawar Mas Abra.
Aku mengangguk, sigap Mas Abra mengangkat gaun pengantinku. Aku berjalan beberapa langkah ke belakang menuju singgasana sehari kami. Belum juga tubuhku mendarat pada kursi pengantin, suara yang aku hapal betul menyapa telinga.
"Thalie ...," panggilnya dengan wajah anggun seperti yang biasa aku lihat saat berada di tempat kerja.
"Teh Rania! Aah, senengnya kalian nyempetin hadir."
Aku merentangkan tangan, memintanya memberikan pelukan untukku. Teh Rania meyambutnya dengan suka cita. Aku bersyukur punya teman kerja seperti Teh Rania. Tuhan begitu baik pada hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped in Delusion
DragosteAku seorang wanita berusia 28 tahun. Memiliki seorang putri cantik dari mantan suamiku dan mantan istrinya. Selama menikah dengan pria bernama Miguel Abraham, hidupku benar-benar seperti di neraka. Namun, aku tetap mencintai Adelaide Hadara Abraham...