5 🥀 Boleh lebih sering?

141 25 18
                                    

🥀🥀🥀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🥀🥀🥀

"Auntie ... aku kangen."

Aku tercenung dengan kalimat ajaib yang dia ucapkan. Bagaimana tidak? Balita berusia tiga tahun itu mengucapkan kalimat yang luar biasa bagiku. Jika aku sering bertemu dengannya, rasanya wajar saja ada rasa rindu saat lama tak bertemu. Sedangkan ini, aku dan Abel baru satu kali bertemu dan tidak pernah berkomunikasi setelahnya. Entah kenapa kami bisa saling merindukan.

"Auntie, juga kangen sama Abel."

"Benalkah? Auntie kangen aku?" ucapnya semangat dengan suara nyaring khas anak balita.

Aku tersenyum, kemudian membenarkan ucapannya. "Iya, Sayang. Auntie lebih ... lebih kangeeen sama Abel."

Kulihat matanya yang kecil hilang saat tersenyum. "Kata papa, Abel sakit ya kemarin? Sakit apa? Cerita dong sama auntie."

Aku melihat dia membuka mulutnya lebar, telunjuk kecilnya menunjuk isi dalam mulutnya. "Gigi aku cakit, Auntie." Telapak tangannya menyentuh dahi, "kepaya aku panas," adunya padaku.

Sungguh menggemaskan. Cara Abel bicara yang masih cadel, cara Abel yang mengadu apa yang dia rasakan, aku menyukainya. Semuanya.

"Auntie," panggilnya.

"Iya, Sayang."

"Auntie, jalan-jalan cama papa?"

Aku terkesiap berusaha menyingkirkan sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku, bingung harus menjawab apa dengan pertanyaan bocah tiga tahun ini.

"Hmm ... nggak, kok. Auntie habis pulang kerja, nggak sengaja ketemu papa Abel."

Aku melihat Abel dari layar ponsel yang sedang aku pegang, ia mengangguk seolah mengerti alasan yang aku katakan tadi.

"Auntie, aku ngantuk," katanya sembari mengusap matanya dengan telapak tangannya yang kecil.

Aku melirik jam yang ada di sudut atas layar ponsel, sudah hampir setengah delapan malam. Lama juga kami ngobrol. "Oh, oke. Masih mau ngomong sama papa?"

Abel hanya mengangguk. Aku beralih melihat ke arah Mas Abra. "Mas, Abel masih mau ngomong," kataku.

Rupanya sejak tadi dia sudah menyantap makanannya, entah aku terlalu asyik berbicara dengan Abel, hingga tak menyadari kapan pramusaji mengantarkan makanan Mas Abra.

"Arahin aja kameranya ke belakang, tolong kamu yang pegang."

Aku menuruti ucapannya, mengubah pengaturan kamera ponsel pada panggilan video ini, sekarang aku bisa melihat Mas Abra dan Abel dari layar ponsel.

Trapped in DelusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang