10. 🥀Abel Tantrum

31 4 0
                                    

🥀🥀🥀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🥀🥀🥀

Samar kudengar percakapan Mas Abra dan Gaby di luar sana. Kulihat Abel sudah berada di gendongan Mas Abra, anak itu sudah memeluk leher Mas Abra dengan wajah masih berurai air mata. Aku melangkah mendekat, menghampiri Abel dan Mas Abra.

"Sori ya, Mas, Kak. Ganggu malam kalian, aku udah bujuk Adel biar berhenti menangis, tapi dia beneran mewarisi keras kepala Mas Abra. Tetap minta mau tidur bareng sama Mas."

Aku tersenyum menanggapi penjelasan Gaby, kuusap rambut Abel yang lembut. "Mau ikut mami?" tawarku saat wajahnya mendongak menatapku lamat.

Dia merentangkan tangannya, kusambut putri kecilku dengan bahagia. Aku meringis menopang berat badan Abel yang cukup berat. Abel anak yang cukup pesat pertumbuhannya, anak ini baru berusia empat tahun, tapi tubuhnya mewarisi sang papa. Abel cukup tinggi dan bongsor untuk ukuran anak seusianya.

"Ya udah, kalau gitu aku permisi ya, Mas, Kak." Gaby berpamitan hendak kembali ke kamarnya yang hanya berjarak tiga kamar dari kamar kami.

Abel kubawa duduk dalam pangkuan di tepi tempat tidur, wajahnya dia sembunyikan di dadaku, tangan mungilnya melingkar memeluk tubuhku.

"Abel kenapa nangis, Sayang?" tanyaku lembut seraya mengusap punggung sempitnya.

"Tante Gaby nakal, katanya Mami dan Papa nggak sayang kakak lagi," ucapnya dengan tenang.

"Kok, gitu?" Aku melemparkan pertanyaan pada Abel, tetapi mataku memperhatikan gerakan Mas Abra. Dia berjalan ke nakas samping tepat tidur, menyalakan lilin aromaterapi kemudian meraih bathrobe dan masuk ke kamar mandi.

"Kata Tante Gaby sama Om Alan, Mami mau kasih Papa adek. Nanti kakak dilupain," ujarnya lagi. "Nggak mau, Mami. Kakak nggak mau adik, Mami." Tangis Abel pecah lagi.

"Oh, Sayang. Cup ... cup ... jangan nangis lagi, ya. Mami akan tetep sayang Kak Abel," bujukku agar anak ini tidak semakin menjadi dalam tangis, mengingat ini sudah cukup tengah malam.

Tangisnya masih menyisakan getaran di bahu mungilnya, aku terus mengusap, mencium puncak kepalanya Abel agar dia tidak merasa terabaikan. "Udah dong nangisnya, kan udah gede, udah dipanggil kakak."

Sejak genap berusia empat tahun beberapa bulan lalu, Abel ingin dipanggil dengan sebutan kakak. Katanya, karena dia sudah masuk TK dan itu berarti sudah dewasa. Aku terkekeh awalnya, mendengar celotehan anak itu yang mengklaim bahwa dirinya sudah dewasa.

"Abel sudah dewasa, kan?" tanyaku geli.

Dia hanya mengangguk, mengeratkan pelukannya. Aku mencium dahi dan pipi gembilnya.

"Kalau sudah dewasa berarti nggak nangis dong, orang dewasa bisa nahan kesedihannya."

Wajahnya mendongak. "Mami nggak sedih? Kalo nanti aku punya adik? Nanti Papa nggak sayang kita lagi, Mi."

Trapped in DelusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang