Angkasa Nolan Maheswara. Nama yang bagus, ya? Hehe.
Pertama kali bertemu Angkasa dan Lintang, aku mengira jika keluarga mereka itu mengabdikan hidup mereka pada NASA. Habisnya, hampir seluruh anggota keluarga besar mereka itu bernamakan nama-nama langit. Entah itu nama asteroid, nama bintang, bahkan hingga nama-nama galaksi.
Bahkan aku pernah mengetahui, ada salah satu paman dari Langit dan Angkasa yang bernamakan Bamberga—salah satu nama Asteroid—dan dipanggil Om Bambam. Lucu sih, tapi kalau Omnya sudah tua, kan aneh.
Ada juga sepupu mereka yang bernama Camelopardalis—salah satu nama rasi bintang—dan dipanggil Camelo. Untung saja sih, mereka masih memilih nama-nama yang masih bisa dipanggil dengan mudah. Tapi memang, yang terbaik hanya Angkasa dan Lintang.
Waktu kutanya pada Lintang, katanya memang sedari nenek moyangnya lahir pun, mereka sudah bernamakan nama-nama benda langit.
"Udah tradisi, kata Mama. Kalau gak di kasih nama benda langit, nanti rejekinya gak lancar." Aku yang waktu itu masih SD, hanya bisa manggut-manggut. Belum sepenuhnya paham. Begitu kami menduduki bangku SMP dan kutanyakan hal yang serupa, Lintang malah menjawab :
"Tau, deh. Mungkin ngelahirinnya di ruang terbuka sambil memandang langit." Aku bergidik ngeri sambil membayangkan.
...
Angkasa itu suka sekali dengan namaku, padahal itu bukan sesuatu yang begitu luar biasa. Sangking sukanya dengan namaku, ia beberapa kali kupergoki menggunakan namaku untuk hal-hal yang tidak berhubungan denganku. Seperti contohnya begini :
Waktu itu aku, Angkasa, Lintang, dan Rendra sedang makan sore bersama di kantin, sepulang sekolah. Rendra ada di sampingku, sedangkan Angkasa dan Lintang ada di hadapanku. Tiba-tiba ponsel Angkasa berbunyi, itu adalah nomor tak dikenal.
Saat Angkasa menjawabnya, aku dibuat terkejut oleh ucapannya.
"Halo, dengan Biru berbicara di sini." Padahal itu hanya panggilan salah sambung.
Aku kan hanya takut kalau-kalau namaku dijadikan santet atau pesugihan. Bagaimana kalau aku dijadikan tumbal? Tapi kata Angkasa sih, tumbal itu harus orang-orang terdekat.
"Gak mungkin mah kamu ada yang nyantet! Kan pawangnya sakti!" Ucap Angkasa setelah aku mengungkapkan kekhawatiranku.
"Siapa pawangnya?"
"Kak Lukas. Kan ayahnya pawang hujan."
Rendra tersedak mendengar itu. "Ayahnya kerja di BMKG, Sa!"
Angkasa terkekeh setelahnya.
Atau juga saat-saat random seperti memesan minum hingga meminjam buku di perpustakaan. Pernah suatu waktu aku dibuat bingung oleh pesan masuk yang mengingatkan bahwa waktu tenggat peminjaman buku akan datang dua hari lagi. Aku yang memang saat itu tidak sedang memijam buku di perpustakaan pun hanya mengabaikan pesan itu dan menganggapnya salah sambung. Eh, ternyata itu adalah ulah Angkasa.
"Aku kemarin ditelpon petugas perpus deh, katanya suruh balikin buku."
"Yaudah sih, tinggal balikin aja." Jawab Rendra santai.
"Nah itu masalahnya. Aku gak pinjam buku perpus. Kan aneh?"
Tapi tiba-tiba Leksa datang menghampiriku, Rendra, dan Lintang yang sedang duduk bersebelahan di atas pagar balkon sekolah. Saat itu sekolah sudah sepi, dan kami memang berencana ingin sekedar bermain-main. Biasanya memang kelas akan dikunci dua jam setelah bel pulang sekolah berbunyi. Dan itulah yang menjadi alasan Lintang selalu mengajak kami berpatroli keliling seluruh kelas sambil mengambil beberapa alat tulis yang tertinggal. Lumayan, sih. Siapa tahu kan nemuin Sarasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biru | Nomin
Hayran KurguNamanya adalah Biru. Ia adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dengan surai lembut berwarna langit cerah. Tanpa alasan dan tanpa rekaan. Indahnya, itu adalah sebuah turunan. Biru benci jika harus dipanggil 'Biru'. Katanya itu nama yang ka...