05. Sweet Happiness

597 94 57
                                    

"Sepertinya cincin kita tertinggal.

Jisa membalikkan tubuhnya ketika kalimat yang memicu kepanikan itu terlontar. Menatap tidak percaya kepada Jimin yang sedang meremas rambutnya ke atas. Di situasi seperti ini rasanya sulit dipercaya kalau masalah terkait cincin mampu menciptaan masalah yang jauh lebih besar.

"Kau bercanda? Bagaimana bisa lupa? Itu masalah penting, Jim." Jisa menggeram kesal. Kepalanya pusing. Dan ketika Jimin tanpa mengatakan apa pun lagi langsung membuka pintu mobil, Jisa menghempaskan tubuhnya ke belakang. Bersandar nyaman agar otaknya tenang. Mencoba untuk tidak peduli dengan Jimin yang kalang kabut, berlari menuju halte tempat mereka menunggu tadi untuk mencari cincin yang tertinggal.

Sejenak, Jisa mengatur napas dengan tangan yang bergerak mengeratkan jaket Jimin di tubuhnya. Wangi Jimin menempel di sana, seolah pria itu sedang memeluknya.

Beberapa detik atmosfir di dalam mobil senyap. Myung Soo pun sengaja tidak langsung melajukan mobilnya lagi sesaat Jimin pergi. Dia justru menilik Jisa dari kaca spion yang menyorot tempat duduk belakang.

"Jimin memang agak teledor," Myung Soo bersuara, memalingkan wajahnya menatap Jisa. "Makanya, kau harus sering mengingatkannya. Demeter," Myung Soo berdehem. "Maaf maksudku Jisa, kau harus mengerti Jimin dengan baik. Lelaki itu memang sinting, tapi dia sepertinya sangat serius."

"Serius?" Jisa bertanya heran. Dia menatap remeh Myung Soo karena merasa tidak sependapat. "Kenyataannya Jimin itu tidak pernah serius denganku. Buktinya, dia berani menggoda wanita lain di depan mataku."

Itu adalah kenyataannya. Tidak ada kalimat apa pun yang bisa menyangkal tabiat Jimin yang satu itu. Senang menggoda, bermain mata sampai berakhir meniduri memang menjadi kebiasaan Jimin sejak dulu. Myung Soo sangat hafal bagian mana pun yang Jimin sukai.

Namun, untuk urusan mencintai, Myung Soo berani bertaruh bahwa Jimin tidak pernah main-main. Sekali Jimin menaruh hati, selamanya tidak akan mau melepaskan. Bila perlu pria itu akan mengikat dengan tali simpul kuat. Sengaja agar tak bisa lari.

"Tapi Jimin betulan mencintaimu. Dia tidak akan sampai segila itu untuk mendapatkanmu jika tidak mencintaimu. Bahkan, awalnya aku tidak menyangka kalau Jimin akan sampai menidurimu." Myung Soo menggigit bibir. Takut kalau ucapannya menyinggung perasaan Jisa. Jadi, sebelum suasana bisa saja berubah, Myung Soo terlebih dulu berinisiatif meminta maaf.

"Maaf, aku tidak bermaksud," sesal Myung Soo.

Berbeda dari dugaannya, Jisa sedikit memiringkan kepalanya sembari mengernyit. "Untuk apa?" Jisa tidak tahu untuk bagian mana pria itu meminta maaf.

"Untuk ucapanku barusan. Aku pikir itu menyinggung perasaanmu."

Jisa justru tertawa pelan. "Aku sama sekali tidak merasa tersinggung. Memang memalukan, tapi aku rasa banyak yang mengalaminya. Itu bukan aib, kan?"

Myung Soo menggeleng kuat, lalu tangannya mulai memegang kendali stir, melajukan kembali mobilnya.

Selepas mobilnya bersatu lagi dengan jalanan, ia baru menjawab, "Bukan, tentu bukan aib. Tidur dengan pasangan adalah hal biasa. Aku juga sering melakukannya." Myung Soo sejemang ragu untuk melanjutkan ucapannya. Sebelah tangannya mengusap dagu sementara sebelah tangannya yang lain masih memegang kendali stir.

Myung Soo menilik Jisa lagi. "Apa kau mencintai Jimin?"

Jisa tidak tuli, hanya tidak segera menjawab beberapa detik. Dia memalingkan kepalanya ke samping, tatapannya kosong, tapi bibirnya tersenyum tipis. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur.

Jimin masih menjadi titik tersulit bagi Jisa. Pria itu terlihat begitu dekat, tapi seperti ada dinding besar tak kasat mata untuk bisa menjangkau presensinya. Jimin seolah masih menjadi pertanyaan. Apa yang sebenarnya Jimin mau darinya? Apakah Jimin benar-benar mencintainya? Atau ada hal lain terkait alasan Jimin terlihat terobsesi untuk mendapatkannya.

DEAR, MY SWEETNESS HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang