Dulu, Nam Jisa selalu mendengar seluruh nasihat yang neneknya berikan. Wejangan yang harus dilaksanakan, tanpa bantahan.
Pernah suatu ketika sang nenek berkata 'warnamu berpengaruh untuk alam. Itulah mengapa kau harus bisa mengontrol diri. Yang paling penting, jangan biarkan warnamu terpengaruh orang lain, kau bisa berada dalam bahaya'.
Jisa selalu memegang teguh nasihat itu, berusaha untuk mempertahankan warna miliknya, mati-matian mengendalikan diri. Namun, semenjak bertemu dengan Jimin, semuanya menjadi sulit. Jimin hampir selalu berhasil menariknya, mengubah warna yang Jisa pertahankan mati-matian.
Puncaknya semalam. Pertama kalinya Jisa merasakan perubahan warna, akibat dari hilangnya kontrol terhadap diri sendiri. Mungkin, efeknya belum terlalu terasa, tapi perlahan-lahan tubuhnya kian lemas, seperti seluruh tenaganya terkuras padahal tidak melakukan sesuatu yang berat.
Jisa kira semuanya akan kembali normal ketika ia bangun, seperti biasa, tenaganya akan pulih tanpa membutuhkan waktu lama. Tapi kali ini Jisa salah, kondisi tubuhnya tidak jauh berbeda dari semalam, lemas dan panas.
Boleh dikatakan ini pertama kalinya Jisa mengalami reaksi semacam mati rasa. Ketika Jimin mengecup punggungnya dari belakang sebelum meluncur ke kamar mandi, terus terang Jisa tidak merasakan apa pun.
Bahkan, ia tidak akan tahu Jimin menciumnya jika tidak menengok ke belakang. Dia sempat takut, tapi hal itu memang akan terjadi cepat atau lambat, seiring dengan kekuatannya dalam mempertahankan warna, jadi ia mencoba bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Termasuk melupakan masalah besar kemarin, fakta yang mengejutkan dan kalimat menyakitkan Jimin.
Hari ini, Jisa sengaja memakai riasan agak berlebih. Wajahnya pucat. Dengan menggunakan bedak yang agak tebal diharapkan akan menutupi itu. Yah, meskipun dengan begitu, Jimin makin sering memandanginya, tersenyum mesum, bahkan kerap kali Jimin membasahi bibirnya dengan sedikit menjulurkan lidah. Itu memang kebiasaannya, tapi sumpah—sexy sekali.
Sial. Jisa teringat dengan pergulatan semalam, sekaligus kebohongan Jimin. Dia berusaha menahan diri sebaik mungkin. Menghela napas berkali-kali sebelum memasukkan sendok ke dalam mulut, menikmati sarapan tanpa terusik, tanpa memikirkan hal lain selain makanan lezat di depan mata, benar-benar pintar memanipulasi.
"Riasanmu terlalu tebal. Aku tidak suka, Ji." Jimin sudah lama memperhatikan Jisa dari tempat duduknya. Perubahan Jisa cukup membuatnya takjub. Dia senang, tapi juga kesal. Jisa terlihat semakin cantik. Pertanda bahaya. Kalau Jisa semakin cantik, semakin banyak pria yang akan mendekatinya, semakin banyak pula yang ingin merebut Jisa dari tangannya.
Tidak. Jisa mutlak miliknya.
Milik Park Jimin.
"Itu kan kau, bukan aku. Aku menyukainya," balas Jisa enteng. Dia mengelap bibirnya dengan tisu. Bekas liptintnya menempel di sana. Tanpa membuang waktu, Jisa beranjak dari duduknya. Kegiatan sarapannya sudah selesai, Jisa ingin berangkat ke kampus lebih dulu, tidak ingin menunggu Jimin. Dia memaksa tubuhnya terus bergerak meski lemas. Namun, sebelum Jisa pergi dari sana, Jimin menahan pergerakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR, MY SWEETNESS HUSBAND
Hayran KurguDengan berbagai cara yang boleh dikatakan licik, Park Jimin akhirnya mampu meluluhkan hati Nam Jisa dan memboyong wanita yang berstatus mahasiswinya itu menuju pelaminan. Park Jimin, seorang dosen keras dan disiplin namun juga panas, berkamuflase de...