Dengan berbagai cara yang boleh dikatakan licik, Park Jimin akhirnya mampu meluluhkan hati Nam Jisa dan memboyong wanita yang berstatus mahasiswinya itu menuju pelaminan.
Park Jimin, seorang dosen keras dan disiplin namun juga panas, berkamuflase de...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kata Jimin, dia kangen. Komennya jadi harus ngegas.
Akhirnya penulis amatiran yang males ini bisa up juga di malam minggu. Semoga bisa menjadi referensi bacaan kalian di malam minggu yang mendung ini.
Selamat membaca💜
————
Bisakah membayangkan posisi Jimin dan Jisa kali ini?
Serba salah.
Sama saja dengan makan buah simalakama—dengan atau tidak mengacuhkan masalah—keadaan sudah jauh berbeda. Bersikap biasa pun rasanya terlalu canggung. Dalam hati, jelas setengahnya masih tak bisa menerima. Bahkan, setiap detail kalimat yang terdengar tempo hari sering berputar layaknya rekaman kaset rusak. Satu hati meradang karena kekecewaan. Satu hati lagi merapalkan penyesalan tiada henti.
Tak ada sapaan hangat selamat pagi yang biasa menyapa. Tak ada makanan yang tersaji di meja meski sekadar roti isi. Jimin mendesah frustrasi sembari mengusap wajah. Ini sudah memakan waktu hampir satu jam, tapi Jisa belum keluar dari kamar.
Kemeja biru laut digulung sebatas siku, menampilkan urat-urat biru yang menonjol. Jimin kemudian menilik jam tangan, mengetuk-ngetuk permukaan meja, sebelum memutuskan berjalan menuju dapur.
Banyak bahan makanan, tapi tidak banyak pilihan yang cocok dibuat sebagai menu sarapan. Jimin tidak ahli memasak meski bisa membuat berbagai makanan. Masalahnya adalah selera. Apa yang menurutnya lezat belum tentu orang lain akan sependapat, bisa saja tidak lezat.
Pada akhirnya, Jimin memilih membuat panekuk yang sudah sangat ia kuasai. Dia sudah percaya diri dengan panekuknya karena beberapa kali tetangga apatemennya dulu memuji, dan sepertinya jujur.
Lebih dari lima belas menit berkutat dengan kesibukannya, dua porsi panekuk siap disajikan dengan saus apel. Kalau seperti ini Jimin betulan terlihat seperti seorang chef professional, sekalipun hanya membuat panekuk.
Tadinya, ia pikir bisa menikmati sarapan bersama Jisa. Memulai dengan obrolan kecil—atau tidak sama sekali—dengan berujung kebisuan sampai akhir. Itu terdengar lebih baik jika harus menikmati sarapan sendirian, rasanya jauh berbeda. Jimin masih bisa memandang wajah cantik istrinya. Namun, Jimin sudah menunggu cukup lama. Entah apa yang Jisa lakukan sampai membutuhkan waktu lebih banyak dari biasanya. Dia tak bisa menunggu lagi. Jadi, ia mengayun langkah cepat untuk memanggil Jisa.
Satu desahan panjang Jimin udarakan ketika tidak menemukan Jisa di dalam kamar, di kamar mandi, lalu tersadar bahwa tas yang kerap kali dipakai Jisa tidak ada di tempatnya, semacam etalase tas dan sepatu itu sudah kosong di dua tempat. Artinya, Jisa sudah meninggalkannya. Mungkin saat Jimin memasak tadi, Jisa diam-diam pergi.