Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang berputar di kepala Jimin. Namun pada akhirnya, Jimin memutuskan untuk tidak ambil pusing, tidak pula bertanya pada Jisa, meskipun rasa penasaran masih saja menginvasi.
Jimin menghargai privasi Jisa. Bagaimanapun, Jimin tetap harus memberikan ruang pada Jisa, membiarkan Jisa mengatakan apa yang menurutnya dapat dibagi dengan Jimin, atau menyimpan masalah ke dalam ranah pribadi. Sebab, Jimin tidak mau berlaku sebagai suami yang melewati batas, ingin tetap menghargai, selama Jisa tidak menciptakan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain.
"Jim, aku tidak ingin berangkat ke kampus ya?"
Jimin seketika menghentikan pergerakan laju sendok ke dalam mulut. Atensi Jimin beralih pada istrinya yang juga tengah duduk di sampingnya, menikmati sarapan yang sebetulnya tidak enak, tapi Jimin tetap menghargainya dengan tidak berkomentar sama sekali, menyantap nasi goreng yang keras itu tanpa protes, seolah makanan yang Jisa buat adalah yang terlezat.
"Kau sudah sering membolos. Aku tidak segan-segan memberikan nilai buruk karena kau sering tidak mengikuti mata kuliahku." tolak Jimin. Pria itu selalu tegas jika menyangkut perkuliahan.
Jisa berdecak, tapi tidak lantas menyerah. Dia masih saja berupaya membujuk Jimin. Hari ini ada yang harus ia lakukan. Penting sekali. Dan meskipun Jimin tidak mengizinkannya, Jisa masih tetap pergi. Namun, katakanlah sebuah formalitas. Atau halusnya adalah sebuah aturan yang mengharuskan setiap istri mendapat restu suami. Sekarang, ia sedang berupaya mengikuti aturan itu. Yah, kalau bisa.
"Tega sekali. Kau mau melihat istrimu sendiri tidak lulus?" Jisa menarik kursinya lebih dekat dengan Jimin. "Ayolah, Jim. Aku punya masalah yang harus aku selesaikan hari ini juga."
Jimin lantas mengernyit, memandang Jisa penuh selidik. "Masalah apa? Kau tidak melakukan hal-hal aneh 'kan?"
"Tentu tidak." Jisa dengan cepat menegaskan. "Aku tidak bisa mengatakannya, tapi—aku tidak bisa menundanya lagi."
"Kalau begitu, berarti tidak. Aku tidak mengizinkanmu pergi." Jimin meneguk airnya hingga tandas, lalu mengelap mulutnya dengan tisu.
Dengan sifat Jimin yang dominan seperti ini, terasa amat menjengkelkan. Bibir Jisa mengerucut.
"Hanya kali ini saja," pinta Jisa sekali lagi. Tangannya bertaut memohon.
Jimin menyampingkan tubuhnya, menatap wajah Jisa yang sebenarnya menggemaskan kalau sedang memohon begini. "Berapa banyak lagi hal yang kau sembunyikan dariku?" tanya Jimin halus sembari tangannya terus mengusap puncak kepala Jisa.
Seperti mendapat serangan tiba-tiba, Jisa seketika termangu. Bahkan, menelan ludah saja terasa sukar. Padahal, ia juga merasa jika Jimin tidak sedang menuntut, maksudnya mungkin saja kalimat itu sekadar menyeletuk, spontanitas.
"A-apa maksudmu?" Jisa membuang muka.
Bodoh kalau Jimin tidak menyadari raut tegang Jisa. Dia cukup tahu bahwa Jisa tidak akan menjawab pertanyaannya. Dia juga tahu bahwa istrinya sedang menyembunyikan sesuatu darinya, tapi kembali lagi pada prinsip untuk tidak melewati batas. Jadi, Jimin mengurungkan niat bertanya lebih.
"Tidak ada. Lupakan. Lakukan sesukamu, apa pun yang kau inginkan. Aku yakin kau bisa menentukan mana yang terbaik." Keputusan Jimin final. Dia kemudian beranjak dari kursi, meninggalkan meja makan setelah berhasil menyambar tas jinjing kulit, menyisakan Jisa yang betah terdiam menatap lantai.
Setelah mendengar ucapan Jimin yang terakhir, Jisa merasa bersalah. Dia sebenarnya tahu Jimin sedang menahan diri. Jimin memang pemaksa dalam urusan tertentu, tapi dalam situasi seperti ini Jimin berusaha mengalah, tidak menuntut.

KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR, MY SWEETNESS HUSBAND
FanfictionDengan berbagai cara yang boleh dikatakan licik, Park Jimin akhirnya mampu meluluhkan hati Nam Jisa dan memboyong wanita yang berstatus mahasiswinya itu menuju pelaminan. Park Jimin, seorang dosen keras dan disiplin namun juga panas, berkamuflase de...