23. Salah Paham

1.3K 165 17
                                    

Setelah peristiwa malam yang menggemparkan di pemukiman Shinobi Konoha akibat ulah Shino serta sikap dewasa yang diperlihatkan oleh bungsu Uchiha, mampu mengetuk hati para ninja. Mereka mulai membuka diri dengan menyapa, tersenyum, dan tentu saja para gadis muda berusaha menarik perhatian terhadap Sasuke, tidak hanya Sakura, Karin maupun Ino.

Pagi hari tampak cerah dengan tanah basah serta daun-daun yang masih terlihat segar menitikkan air akibat hujan semalam. Ninja-ninja dan Kunoichi muda Konoha tak melakukan kegiatan apa pun, berbeda dengan senior mereka yang sudah berangkat bersama Orochimaru ke sebuah pantai. Para Nakama tampak malu-malu mendekati pemuda tampan yang sedang duduk sendiri di atas batu sambil menyerut kayu. Naruto yang telah tiba lebih dahulu mengawai teman-temannya yang berdiri agak menjauh karena mereka masih merasa segan pada Sasuke. "Mendekatlah kemari, Dattebayo! Bocah ini sudah jinak, tak akan menggigit kalian!"

Seketika mata hitam jernih milik klan Uchiha terlihat penuh, tetapi hanya sekejap saja. Ia kembali asyik berkutat dengan karyanya membuat sebuah boneka kayu.

"Naruto! Tanyakan padanya, dia sedang membuat apa?" Rasa penasaran Choji tak bisa dibendung, tetapi untuk bertanya sendiri ia masih sedikit takut.

Dasar bodoh! Tak urung, bungsu Uchiha merasa geli dengan tingkah polah teman-temannya. Ia menunjukkan sikap masa bodoh dan mempercepat pahat-memahat pada kayu sejenis pinus lalu meniupnya. Gerakan lembut yang dibuat oleh bibir tipis Sasuke membuat Ino dan Sakura seraya ingin menangis karena begitu terpesona akan ketampanannya. Bahkan sebagian ninja berkedip-kedip. Di dalam hati mereka mengakui betapa rupawan kawan yang pernah menjadi buronan ini.

Mereka adalah teman seangkatan Sasuke yang masih tersisa karena ada satu rekannya yang telah gugur di medan perang juga Hinata tak ikut di sana. Satu per satu ninja muda mendekat lalu bergerombol berdiri takut-takut tepat di depan si bungsu Uchiha. Naruto bangga seolah ialah yang berjasa menyatukan teman-temannya. "Hei, lihat! Bukankah ini lumayan, Dattebayo!"

Para Nakama semakin fokus dan terkesima dengan miniatur burung Elang yang dipahat oleh Sasuke. Tak disangka, bungsu Uchiha selain jago bermain pedang, tinggi dalam tingkatan jutsu, pandai juga membuat patung kayu, bahkan hasilnya lebih bagus dari pahatan tanah liat buatan Deidara.

Dari tempat yang tak begitu jauh, Hinata sedang mengamati Sasuke yang kini sudah dikerubungi teman-temannya. Merasa ada yang melihat, si pemuda tampan pun menoleh padanya sehingga mata mereka berserobok kemudian dengan cepat sama-sama mengalihkan perhatian seirama jantung yang berdebar kencang. Segurat merah tipis menghias pipi putih mulus keduanya. Bungsu Uchiha menarik napas berat untuk mengerem detak jantungnya yang memburu. Beruntung teman-teman sedang mengagumi hasil karyanya dan tak ada satu pun yang melihat interaksi mereka.

"Kak!"

"Oh, maaf." Hinata kelabakan sendiri setelah disentuh oleh adiknya. Ia sedang duduk berhadapan dengan si bungsu Hyuuga di balai-balai teras rumah Hiashi sambil menyuapinya.

Tangan mungil menyentuh pembalut pada mata. "Kapan pembalut ini dibuka?" Hanabi meraba bagian matanya kemudian kedua tangannya kembali turun ke pangkuan.

"Oh ... kebetulan besok akan dibuka, bukan?!" Mata Hinata berbinar, haru dan gembira. Harapan besar bahwa adiknya akan kembali riang dan lincah terbayang di pikirannya. "Kau akan segera melihat rumah-rumah yang kita buat, kelinci, Mirai yang mengemaskan--"

"Aku ingin bermain dengan Mirai! Aku ingin melihat Mirai! Hihihi ... suaranya saja sangat lucu apalagi wajahnya, pasti ... hm ...." Hanabi mengeram gemas membayangkan sosok seorang bayi berusia sekitar lima bulan yang dilahirkan oleh Kurenai.

Hinata menyelisik wajah adiknya. Dalam hati ia berharap supaya Hanabi benar-benar pulih. Namun, tak lama kemudian wajah murung ditunjukkan oleh si bungsu Hyuuga dan seketika saja kakaknya menjadi khawatir. "Hanabi, kau kenapa?"

MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang