"Bukankah ini sebuah takdir yang indah?" sahut Mean bersemangat.
Plan menoleh ke arahnya dan mengerling. Jelas wajahnya agak merah. Sepertinya ia agak mabuk. Ia tak biasa minum juga. Sebenarnya hampir tak pernah. Plan membayar dan ia pergi ke arah luar tanpa menghiraukan Mean. Ia berjalan agak sempoyongan dan hampir akan jatuh jika saja Mean tak menahannya.
"Terima kasih," ujar Plan tapi ia kemudian melepaskan diri dari Mean dan berjalan ke luar klub. Mean mengikutinya. Mereka berjalan bersusulan di pinggiran pusat kota Nagoya yang mulai sepi.
Plan memasuki sebuah lorong yang agak sepi dan Mean masih di belakangnya dam akhirnya setelah lorong itu hampir pada ujungnya, Plan berbalik dan menatap Mean.
"Kenapa mengikutiku?" Plan kesal.
"Aku ingin tahu di mana rumahmu? Kau tak membalas DMku dan tak mau menambahkan aku menjadi temanmu. Mau bagaimana lagi? Ini kesempatan yang bagus karena kita bertemu lagi," sahut Mean. Plan menatapnya. Ia mendekati Mean dan mendorongnya ke tembok dan berjinjit. Ia mencium Mean.
Mean yang kaget awalnya tak merespons. Namun, bibir mungil nan lembut itu terus menyedot bibirnya dan ia bahkan menelusupkan lidahnya yang harum apel martini itu ke dalam mulutnya. Mean membalas ciumannya dan ia membalikkan posisi. Ia menyenderkan Plan ke tembok dan menangkup wajahnya dan mereka berciuman lama. Ciuman itu tidaklah lembut, tapi juga tak brutal. Namun, pagutan itu cukup membuat berahi keduanya terangsang.
"Mmmph, mmmmph," desah keduanya saat berciuman dan tangan mereka sudah mulai saling menjamah tubuh masing-masing. Mean meremas dua gunung kembar Plan perlahan dan itu membuat Plan menggelinjang hebat.
Mereka melepaskan ciumannya dan saling menatap dan tak perlu lama bagi kedua bibir untuk kembali bertemu dan membiarkan kedua lidah itu berjalin, bercengkrama mesra.
Tangan Mean menyusup ke balik rok Plam menurunkan celana dalamnya dan tangan Plan juga membuka ikat pinggang Mean perlahan dan menurunkan restletingnya. Tangan mungil itu merogoh ke dalam celana dalam Mean lalu mengelus naganya pelan. Mean menurunkan celanannya sendiri dan membuat keduanya lebih leluasa untuk menyesuaikan posisi. Mereka sudah tahu yang akan dilakukan selanjutnya.
Mean mengangkat satu kaki Plan dan menahannya dengan tangannya dan ia mendorong naganya pelan memasuki lubang Plan dan keduanya mendesah panjang. Keduanya merasakan kehangatan dan kenikmatan saat kedua bagian bawah mereka bertemu dan berpadu.
"Aaaah, aaaah, nnnngh, hmmmm," lenguh Plan. Ia mengalungkan kedua tangannya pada leher Mean.
"Oooo, nikmay sekaliiii," desah Mean sambil terus menggoyang. Ia memejamkan matanya.
"Aaaah, nnnnnngh, ooooo, aaaah," desah Plan lagi dan ia menggelinjang sebab Mean membuka baju atasnya dan menyesap puting Plan kuat.
"Ooo, aaaaah, nnnngh, Khuuuun, aaaah," desah Plan lagi. Ia tersengal. Goyangan Mean semakin kencang dan Plan melenguh lebih keras.
"Aaah, Khuuuun, pelan-pelan," desah Plan lagi saat ia merasakan dirinya tak akan lagi bertahan.
"Namaku Mean. Mean Phiravich," desah Mean sambil mencium bibir Plan dan mereka berpagutan lagi.
"Hhmmm, Meaaaan, aaaah," desah Plan. Mean terhenyak. Entah kenapa tapi ia merasa ia begitu kenal dengan cara panggilan itu. Jantung Mean berdebar kencang. Ia semakin dalam menyodokkan naganya.
"Aaah, Meaaaan, nnnngh," desah Plan.
"Ooo, Plaaaan, nnngh," desah Mean dan kini giliran Plan yang kaget. Jantungnya sama kencangnya berdebar dengan Mean. Ia merasa sangat akrab dengan cara panggilan itu.