Chapter 13

247 39 2
                                    

Pada suatu hari, Nune ikut perjalanan merit ke Khon Kaen dengan teman-temannya di kuil. Restoran ia tutup selama waktu perjalanan yang memakan tiga hari itu.

Hanya tinggal Mean dan Plan di rumah. Plan pikir karena Nune tak ada, Mean mungkin akan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Kenyataannya, Mean tak pergi ke mana-mana dan selalu bersamanya dari pagi sampai malam. Sungguh kebetulan pula bahwa kampus juga libur sebab memang mereka baru menyelesaikan ujian.

"Kau tidak pergi ke mana-mana?" tanya Plan seusai mereka sarapan pagi.

"Aku ingin membuat sesuatu di gudangku," ujar Mean.

"Gudang?" Plan mengernyitkan alisnya.

"Ah, kau pasti tidak tahu," sahut Mean. Plan mengangkat kedua alisnya tanda penasaran.

"Aku punya bengkel kecil di dekat sungai tempatku bermain kala kecil. Ayahku membelinya dari ayah Phi Gong. Kau ingin melihatnya?" tanya Mean menawarkan.

"Eh, boleh?" Plan kaget.

"Ya, tentu saja. Aku akan bersiap dulu," sahut Mean. Plan menganggukkan kepalanya. Mereka masuk ke kamar masing-masing dan bersiap-siap.

Tak lama kemudian mereka berjalan menuju ke gudang itu dan saat memasukinya, Plan menganga karena ia sangat kagum melihat isinya. Ada begitu banyak pajangan karya dan semuanya adalah buah tangan Mean. Setidaknya itu yang Mean bilanh saat ia mengajak Plan berkeliling.

"Wah, kau hebat, Mean! Ibumu dan Noon pasti sangat bangga kepadamu," ujar Plan lagi sambil tersenyum. Mean hanya menganggukkan kepalanya.

"Kurasa kau harus terima tawaran Mae dan Pho. Kalau kau sekolah lebih tinggi dan berhasil menciptakan jaringan, akan ada banyak kesempatan untuk memperkenalkan produkmu. Aku bisa menjadi model untuk iklan produkmu kalau kau mau. Seperti perhiasan-perhiasan ini misalnya. Kalau kau menyepuhnya lagi, ini akan berharga jutaan, Mean," terang Plan sambil masih melihat-lihat karya Mean dengan wajah dipenuhi dengan kekaguman.

"Entahlah! Aku belum memikirkannya," ujar Mean.

"Kau harus segera memikirkannya. Demi masa depanmu," sahut Plan.

"Lalu kau? Apa rencanamu?" Mean mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku?" Plan agak tersentak kaget.

"Aku pikir aku ingin sekolah ke Australia dan belajar tentang tanaman. Entahlah selalu ada sesuatu tentang tanaman dalam pikiranku. Aku sangat mencintai hijau," sahut Plan dan matanya berbinar saat ia berkata itu.

Mean menganggukkan kepalanya. Ia kemudian menyalakan mesin dan mulai melakukan sesuatu. Sementara Plan membuka jendela dan melipat kedua tangannya lalu mengistirahatkan kepalanya pada kedua tangannya itu menikmati angin semerbak yang meniup rambutnya. Mean menoleh ke arahnya dan ia terhenyak. Jantungnya bergetar dan ia meneguk ludah.

"Mean, ada apa di sekitar sini?" tanya Plan sambil menunjuk ke luar jendela.

"Hanya pohon-pohon dan sungai," ujar Mean.

"Boleh aku jalan-jalan di sekitar sini?" Plan berdiri dan menutup jendela.

"Ya, aku bisa mengantarmu," ujar Mean.

"Jangan, kau lanjutkan saja pekerjaanmu," ujar Plan.

"Tidak. Aku khawatir kau tersesat," ujar Mean.

"Baiklah, terima kasih kalau begitu," jawab Plan lagi.

Mereka berjalan-jalan di sekitar gudang dan terus menjauh dan cuaca berubah seketika menjadi mendung.

"Pemanasan global benar-benar membuat cuaca berubah, na! Sebaiknya kita kembali!" tunjuk Meam pada awan-awan di langii yang sudah tak sabar ingin segera memuntahkan butiran air dari dalamnya. Plan menganggukkan kepalanya. Mereka berjalan dengan cepat, tapi tak bisa mengalahkan hujan yang juga dengan begitu deras tiba-tiba mengguyur bumi. Tubuh mereka basah tak terelelakkan. Mereka berlari cepat menuju gudang dan Mean menuntun Plan agar ia bisa lebih cepat menuju gudang.

"Semuanya basah. Kau tidak apa-apa? Tubuhmu menggigil," sahut Mean dengan agak cemas. Sudah hampir malam pula dan hujan belum juga reda. Plan sudah berganti dengan hanya kemeja biru Mean yang selalu  sengaja Mean tinggalkan di gudang.

Kadang-kadang ia perlu cepat berangkat ke mana saja, jadi ia menyimpan beberapa persediaan baju.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Mean kepada Plan yang tengah duduk di hadapannya dengan secangkir kopi hangat dan diam. Mean juga sudah berganti baju.

"Maafkan aku! Selalu saja membuatmu repot," sahut Plan lagi dengan nada yang menyesal.

"Tidak apa-apa," ujar Mean sambil menganggukkan kepalanya.

"Aku lega dan bahagia, hubungan kita berangsur baik. Kupikir kita tak akan pernah berbicara seumur hidup kita," sahut Plan lagi sambil menatap Mean dengan tulus dan hangat.

"Terima kasih karena mau menahan dan menekan semua perasaanmu untukku. Aku sangat bersyukur. Kau dan Bibi sungguh orang yang baik hati. Siapapun yang berdiri di sampingmu pasti akan merasa beruntung dan bahagia mendapatkanmu," ujar Plan lagi.

Mean terhenyak. Ia merasa sangat terenyuh oleh kata-kata Plan.

"Aku juga minta maaf. Sikapku selama ini, uhm, ... kekanak-kanakkan," sahut Mean dengan nada menyesal.

"Tidak Mean. Kau tak seperti itu. Aku tak pernah berpikir kau seperti itu," sahut Plan.

"Terima kasih," ujar Plan sambil menjulurkan tangannya. Mean kaget. Ia menerimanya dan keduanya merasa hangat dan sekilas mereka melihat bayangan mereka lagi dalam kostum yang berbeda. Keduanya melepaskan jabat tangan mereka.

Plan berdiri mendekati bajunya yang ia gantung di dekat jendela. Ia memeganginya dan masih basah. Ia membalikkan tubuhnya dan Mean tepat di depannya.

"Kau membuatku kaget," lirih Plan. Bau tubuh Mean cukup menggoda hidungnya.

"Maaf, aku ingin mengecek hujan," sahut Mean sambil menunjuk ke luar jendela.

"Uhm," gumam Plan.

Mereka bertatapan dan tersenyum. Mean menatap Plan lagi. Tatapan keduanya menyiratkan sesuatu. Mean merespons itu. Ia mendorong Plan ke tembok dan mendekatkan wajahnya ke wajah  Plan dan ia memagut bibir Plan perlahan. Lampu temaram menunjukkan bayangan mereka yang berpagutan.

Keduanya berciuman  hangat. Plan menyimpan satu tangannya di dada Mean dan tangan lainnya di bahu Mean. Sementara itu, satu tangan Mean menarik leher Plan lembut dan tangan lainnya menarik pinggangnya ke pelukannya.

Mereka merasakan sesuatu yang luar biasa saat mereka berciuman. Itu seolah bukan ciuman yang pertama kalinya bagi mereka sebab keduanya begitu kenal dengan bibir itu.

"Meaaan, kita tak boleh melakukan ini," lirih Plan sambil menundukkan kepalanya dan ia mendorong Plan pelan.

"Maafkan aku!" ujar Mean. Ia meneguk ludah. Perkataan mereka sungguh bertentangan dengan perbuatan mereka. Buktinya keduanya tengah bercinta sekarang.

Plan tak menolak saat Mean merebahkan dirinya di atas ranjang kecil di pojokan gudang. Ia tak mengenyahkan tangan Mean saat keduanya membuka satu demi satu kancing bajunya dan menunjuk keindahan di baliknya. Ia juga tak mengeluh saat Mean meninggalkan jejak bibirnya hampir di setiap bagian tubuhnya dan menyedot bagian tengah di antara selangkangannya sehingga membuatnya mencapai puncak kenikmatannya.

Plan mendesah saat Mean menggoyang dirinya dan membiarkan Meam menikmati semuanya dengan sukarela bahkan ia tak menolak saat Mean menumpahkan cairannya di dalm lubangnya.

"Meaaaan, aaaah, nnngh, Meaaan, aaaah, aaaah, hmmmm." Lenguhan Plan terdengar begitu familiar di telinga Mean. Begitu juga nonanya. Ia merasa itu rumahnya yang sudah lama tak ia kunjungi meski baginya itu masih teka-teki.

Mereka bertatapan dan saling mengelus wajah untuk beberapa waktu dan kemudian mereka berciuman lagi dan bercinta lagi.

"Plaaan, nnnngh, enaaak sekaliii," rintih Mean dan ia menyodokkan naganya lebih dalam dan sekali lagi, ia memuntahkam cairannya di dalam nona Plan tanpa pelindung.

Mereka berciuman hangat dan malam itu mereka tidur di gudang berbalut selimut tipis dan pelukan.

Bersambung


THE JOURNEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang