Guruh, 18 Desember Pk 08.00
Aku tidur dalam keadaan emosi mengingat percakapan dengan Pelangi tadi. Aku sebenarnya juga sudah kangen berat dengan suaranya yang menenangkan hati. Dalam menjelaskan kejadian yang aneh itu saja, dia begitu tenang. Berbeda denganku yang cepat panas.
Mungkin karena namaku Guruh ya? Cepat emosi!
"Calon tunanganmu kan Ema, kalian mempunyai cincin pasangan. Ya katanya kamu beli cincin itu sebelum cincin emas untuk tunangan kalian."
"Aduh Pelangi, cincin apa sih? Cincin emas lagi." Kataku dengan nada tinggi. Heran campur emosi. Mau apa sih perempuan itu? "Aku nggak pernah belikan cincin ke Ema, apalagi cincinnya pasangan! "
"Iya lalu dia bilang aku nggak boleh ketemu kamu dulu.....karena aku mengecewakanmu sebagai sahabat." Katanya dengan suara tercekat.
"Mengecewakan apa, Pelangi?" tanyaku dengan suara melunak. "Mana pernah kamu kecewain aku? Yang ada sebaliknya...." Aku mau mengucapkannya tapi lidahku terasa kelu. Duhhh susah sekali ya. Padahal dengan gadis lain, kok rasanya lebih mudah untuk menggombal.
Aku mendengar dia di ujung sana juga terdiam.
"Ya sudah, ada yang harus kuselesaikan dulu di sini. Minggu depan kalau aku lebih pulih, aku mau ke Jakarta ketemu kamu. Salam untuk mamamu ya." Kami pun menyudahi percakapan itu.
Hening....
Begitu banyak pikiran di kepalaku.
"Duhhhh anak mama kok bengong? Maaf ya, mama baru datang. Ini mama bawakan buah kesukaan kamu. Tadi belanja dulu di pasar deket rumah. Bersih tempatnya...."
Gorden disibak dan mamaku langsung masuk dengan beberapa kantong plastik. Harum parfum aroma mawar khas mama langsung menyelimutiku. Dia memang tidak pernah keluar tanpa parfum favoritnya.
"Ma......" kataku sambil menatap kosong ke langit-langit kamar yang putih bersih. "Jangan terlalu dekat sama Ema."
Mama melihatku dengan heran. "Kenapa, Guruh? Dia anak yang baik dan ramah."
"Ngga usah mam, dia pembohong." jawabku singkat, mengabaikan tatapan mama yang semakin heran dan penuh tanda tanya. "Nanti saja menjelaskannya, lelah."
Lalu aku menutup mataku perlahan. Sepertinya efek obat baru terasa lagi karena rasanya sangat mengantuk.
Ema, 18 Desember 2019 Pk 12.00
"Kamu bilang apa ke Pelangi?" Guruh menatapku dengan tatapan yang menusuk. Mukanya judes sekali.
"Ehh.....maksudnya gimana Guruh?" tanyaku gelagapan.
Jujur, aku belum siap kalau ditanyakan seperti itu. Maksudnya, aku tahu kalau suatu saat pasti dia tahu. Cuma aku melakukannya 'kan karena aku cinta padanya. Harusnya dia senang, dong!
"Nggak usah pura-pura polos!" bentaknya tiba-tiba. "Aku tahu kamu membohongi Pelangi, kan??!!"
Dia tiba-tiba memegang kepala dan mukanya mengernyit kesakitan.
"Guruh.....kamu jangan marah-marah dulu. Nanti kamu sakit lagi." Tante Merly, mamanya Guruh mengusap-usap pundak anaknya dengan cemas. "Jangan pikir apa-apa dulu ya, nak."
"Guruh....bukan maksudku....." Aku mendekat ke tempat tidurnya, berusaha menjelaskan.
"Keluar....." Dia menggeram sambil terus memegangi kepalanya. Matanya tertutup menahan sakit.
"Tapi, Guruh...."
"Keluarrrrrr!!!!!" bentaknya lagi dengan suara menggelegar.
Aku berdiri gemetar dengan wajah pucat ketakutan. Mataku terasa panas, tapi kutahan air mataku itu. Sial kau, Guruh! Beraninya membentak seorang Ema Cahyadi seperti itu!
Tante Merly menatapku dengan tatapan iba, "Maaf ya nak Ema. Guruh mesti istirahat dulu."
"Nggak usah minta maaf, ma! Jangan datang kemari lagi, Ema!"
Aku membalikkan badanku dan menyibakkan tirai biru itu. Melangkah keluar dengan berlinang air mata. Tidak memedulikan para suster dan beberapa orang di ruangan itu yang menatapku dengan penasaran.
Ya, suara Guruh yang membentakku sangat keras. Semua orang di ruangan pasti mendengar!
"Apa lihat-lihat?!!" bentakku pada seorang perawat muda yang sedang duduk di kursinya. Nggak tahu kenapa, rasanya lebih lega kalau sudah memarahi seseorang seperti itu. Apalagi setelah dibentak dan dijudesi oleh pria yang kita cintai.
Arrrrghhhh!! Sialan kamu, Pelangi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Guruh dan Pelangi (Ongoing)
Romance"Kalau memang dia bahagia, aku rela.... " Pelangi terdiam, dilihatnya cincin yang melingkar di jari manis wanita itu. Perih hatinya bagai ditusuk sembilu. Dipasang topeng tersenyumnya depan wanita itu. Tidak akan mau diperlihatkan kerapuhan dirinya...