Sandiwara Ema

6 1 0
                                    

Ema, 29 Desember 2019 Pk 10.30 WIB

Aku tersenyum senang dengan ide brilliantku untuk mengganggu hubungan kedua makhluk yang menyebalkan itu. Kalau Ema tidak dapat Guruh, berarti perempuan itu juga nggak boleh mendapatkan Guruh! Dan ketiga sahabatku, my partners in crime, segera mengikuti si Pelangi masuk ke toilet. Sementara aku merapikan rambut dan bajuku untuk menghampiri Guruh yang sedang duduk sendirian di mejanya.

"Ehem.....Hai Guruh!"sapaku dan langsung duduk di depannya tanpa disuruh. Dia terlihat kaget melihatku dan terdiam sesaat, sebelum alisnya berkerut dan mulutnya mengatup marah.

"Ngapain kamu ke sini? Aku udah bilang nggak mau ketemu kamu!"

"Kamu jahat, Guruh! Ini kan tempat umum, wajar aku jalan-jalan ke sini! Bukannya aku mengikutimu, Guruh!" Aku tersenyum manis sambil menunjuk jariku ke dadanya. Duh, ingin sekali memegang dada yang bidang itu, dan bahu yang lebar itu juga.

Dia menepis jariku dengan kasar, "Kalau begitu kamu berhak duduk di manapun kecuali kursi itu, karena itu kursi milik Pelangi! Kamu kan sudah membohongi dia, bilang kalau kita sudah tunangan dan kamu mengusir dia kan?" Guruh menatapku tajam. "Walaupun di dunia ini hanya ada kamu sebagai perempuan, aku tetap nggak akan mau sama kamu, Ema. Karena karaktermu ternyata jelek!"

"Apa sih, Pelangi bilang apa? Itu semua bohong, Guruh!" ujarku jengkel dan menahan suara agar tetap bernada normal. "Pelangi terus, menyebalkan! Aku memiliki lebih dari segalanya daripada apapun yang Pelangi punya!"

Guruh tertawa lalu berdiri sambil menarik tanganku ikut berdiri ,"Ya sudah, tapi buatku Pelangi punya banyak yang kamu tidak pernah miliki. Pikir aja sendiri! Sekarang pergi saja ya dari sini, terimakasih!" ujarnya ketus.

Aku meringis kesal sebelum melihat Pelangi yang sedang berjalan kemari dari kejauhan. Aha, ini waktunya! Aku menarik tangan Guruh yang tadi memaksaku berdiri ,badanku mendekat ke arahnya dan mulutku mendekat ke bibirnya. Bibir kami pun saling berpagutan. Hmmmm.....rasa kopi.

Oke, sudah! Aku menatap Guruh yang tercengang menatapku. Mungkin dia masih shock, pikirku sambil menertawakannya dalam hati. Nah, begitu rasanya kalau mencela Ema!

"Ngapain sih kamu, Ema!" Dia berseru marah padaku sebelum terkaget melihat Pelangi yang tiba-tiba mengambil tasnya di bangku dan berjalan cepat ke arah pintu keluar kafe.

"Pelangi?! Pelangi......!!" Dia mengejar perempuan itu keluar dari kafe.

Aku memperhatikan mereka berdua yang sudah keluar dari kafe ini lalu tertawa dan ber high five dengan Cherry, Anne dan Lila.

"Good job, girls....." kataku dengan bangga. "Jangan berani macam-macam dengan Beautifull Ladies"


Guruh, 29 Desember Pk 10.45 WIB

"Pelangi.....! Pelangi!" Aku berteriak mengejarnya ke pintu keluar dengan panik. Semua terjadi begitu cepat, hingga aku bahkan tidak menyadari kalau Ema sudah menciumku di depan umum, di depan Pelangi! Perempuan tidak tahu malu itu!

Dan parahnya, si Pelangi berjalan begitu cepat hingga saat tersadar, aku sudah harus mengejarnya. Aku berhasil menangkap tangannya saat dia hendak naik ke abang ojek yang ada di depan cafe.

"Aku nggak berhak marah sama kamu! Kita kan cuma sahabat!" katanya sambil menepis tanganku dengan cepat. Dia tersengal-sengal dan wajahnya begitu merah.

"Jadi kenapa kamu marah?" tanyaku bingung. Aku jadi nggak mau menjelaskan apapun, karena pernyataannya itu. Aku ingin tahu kenapa dia marah. Apa karena cemburu? pikirku antara khawatir dan sedikit senang.

Pelangi hanya terdiam. "Aku mau istirahat, badanku lelah sekali. Maaf Guruh, aku pulang duluan!" katanya sambil langsung naik ke ojek yang sudah menunggunya tanpa mendengarku lagi.

Motor itu langsung menderu cepat sebelum aku sempat mengatakan apapun. Aku menatap motor itu yang menghilang dengan cepatnya di belokan jalanan. Aku masih berdiri terpaku di depan plang cafe, sampai tidak menyadari kalau menghalangi jalan orang yang keluar masuk cafe.

"Maaf...." kataku sambil menyingkir ke sisi jalan.

Aku terdiam lagi sesaat seperti orang linglung, antara ingin kembali ke dalam dan melampiaskan emosi ke Ema atau tidak. Tapi rasanya batinku juga lelah sekali. Terlalu lelah untuk marah-marah dan ikut menjadi gila bersama wanita itu.

Akhirnya aku mengeluarkan kunci dan melangkah gontai ke arah mobilku. Rasanya aku lebih ingin pulang dan beristirahat dulu di rumah. Mencoba untuk memikirkan semuanya dengan jernih.



Guruh dan Pelangi (Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang