Pelangi, 29 Desember 2019 Pk 11.45 WIB
Aku menghempaskan badanku ke tempat tidur penginapan tanpa mengganti baju terlebih dahulu. Mataku masih basah dan sedikit perih karena sekaan tisu yang berulangkali ,mengeringkan air mata yang mengalir dari pelupuk mata.
Teringat kejadian yang membekas di ingatanku, bagaimana Guruh dan wanita itu saling berciuman mesra. Dan bagaimana Guruh mengejarku yang langsung berlari keluar. Dan pertanyaannya yang terngiang-ngiang di telingaku.
"Jadi kenapa kamu marah?"
Kenapa aku marah? Aku....kenapa aku marah? Pertanyaannya yang membuatku jadi emosi tentu saja. Dasar lelaki nggak peka! Memang nggak sadar kenapa aku marah?
Atau dia mau memancingku mengatakan perasaanku yang sebenarnya? Tapi kenapa sulit untuk berkata jujur? Lidahku kelu, mau mengatakannya serasa mati rasa. Padahal untuk menceritakan semua yang lain kepadanya, mudah sekali untuk meluncur dari mulutku. Semuanya, kecuali perasaanku.
Aku melihat beberapa panggilan tak terjawab di handphoneku. Memang sengaja aku nonaktifkan suara di handphone, karena aku tidak mau diganggu.
Guruh, 15 kali panggilan tak terjawab.
Aku menatap layar handphone itu lagi dan meletakkannya kembali ke meja di samping tempat tidur. Mau apa sih dia? Udah ciuman sama Ema terus mau menelepon aku? Bilangnya ngga suka sama Ema, tapi ciuman?!
Plin plan banget sih jadi orang!
"Arggggghhhhh!!" Aku tengkurap di tempat tidur sambil memukul-mukulkan tinju ke kasur. Mukaku tenggelam di dalam bantal, menyembunyikan emosi dan kesedihan yang bercampur aduk jadi satu.
Terus kenapa kamu nggak jujur sama dia kalau kamu suka? Batinnya lagi, menambah kegalauannya yang melampaui di ambang batas.
Aku mengambil handphoneku, lalu mengetik pesan ke Mawar.
"Aku sudah ada di penginapan. Kalian di mana?"
*Tring* Bunyi pesan dari Mawar. Cepat juga balasnya, pikirku
"Loh kok cepet banget baliknya. Ada apa? Kami masih di Malioboro, toko Mirota."
"Ntar aku ceritain....aku ke sana ya. Sumpek di sini sendirian."
"Ohhh ke mana Guruh? Ok ok say, kita tunggu di sini."
Aku meletakkan handphone, duduk dan menyeka mataku yang sembab. Menatap kosong ke luar jendela cukup lama, sebelum beranjak membereskan diri dan keluar kamar.
Guruh, 29 Desember 2019 Pk 12.30 WIB
Aku melemparkan kunci mobilku ke atas meja dan menghempaskan diri dengan kasar ke sofa ruang tamu. Setelah mencoba menelepon Pelangi berkali-kali sepanjang perjalanan yang tidak pernah diangkatnya, kuakui kalau aku sangat senewen sekarang ini.
Pelangi sangat marah?! Biasanya dia tidak pernah sampai seperti tadi!
Aku menggigit-gigit jariku dengan gelisah! Kebiasaan kecilku kambuh lagi, kebiasaan yang selalu kulakukan kalau hatiku sedang sangat resah.
"Kenapa, dek?" Kak Bintang menjatuhkan dirinya ke bangku di sebelahku, sambil memperhatikanku dengan pandangan mata penasaran.
"None of your business...." ujarku sebal dengan kekepoannya. Tumben dia panggil dek, pikirku.
"Gimana nggak penasaran? Situ keluar dengan wajah berbinar-binar bahagia seperti baru menang lotere, terus tiba-tiba pulang kayak tentara kalah perang." Kak Bintang meringis geli.
Dia meraih setoples kacang dan membuka tutupnya. Meraup segenggam penuh kacang pillus dan memakannya. Matanya terus memperhatikanku yang masih memainkan handphone dengan muka penuh tekukan dan lipatan.
"Pelangi marah sama aku. Aku ditinggal di cafe....." kataku akhirnya.
Ada baiknya untuk menumpahkan sedikit kekesalan dan kegelisahan pada kakak di depanku ini. Walaupun sering menyebalkan, tapi sebetulnya dia sosok yang peduli. Kak Bintang juga hanya melihatku dengan tatapan prihatin, tanpa berkomentar apapun.
"Semua karena Ema, perempuan yang tak tahu malu itu! Dia menciumku di depan Pelangi!" rutukku kesal. Aku melemparkan hiasan rotan yang ada di meja tamu dengan emosi. Sengaja kucari kayu bukan kaca! biar nggak pecah berantakan dan mengotori lantai!
"Woaaaaa.....slow down, bro...." Kak Bintang menatapku dengan mata membelalak sambil tetap mengunyah kacang. Dia menyingkirkan asbak kaca dan beberapa gelas kaca di sekitarku. "Biar aman, soalnya ini mahal kata mama."
"Sebodo amat!" kataku kesal dengan sikapnya yang tidak menenangkan.
"Ya marahlah dia sama kamu, Guruh! Kamu kan pacarnya, jadi kamu harus menjelaskan semuanya!" pungkas kak Bintang akhirnya sambil menatapku tajam. "Jelaskan ke Pelangi, kalau tidak ada apa-apa antara kamu dan Ema!"
Aku terdiam dan menatap kak Bintang dengan gelisah, "Aku belum jadi pacarnya, kak. Aku masih belum menyatakan perasaanku...."
Kak Bintang balik menatapku dengan ganjil tanpa mengatakan apapun sehingga aku jadi canggung sendiri. Aku jadi merasa seperti terindimasi.
"Ya, ya, aku tahu aku memang pengecut! Begitu kan yang kakak pikirkan?!" seruku sambil mengacak-acak rambutku dengan frustasi. "Hanya saja tiap aku mau ngomong, aku jadi takut sendiri!"
Kak Bintang hanya diam sambil mendengarkan keluh kesahku. Dia sama sekali tidak menginterupsi omonganku, ataupun menasihati. Dia betul-betul jadi pendengar yang baik siang ini.
"Masalahnya beda kak, dari dulu aku mudah sekali untuk bergonta-ganti perempuan. Dan untukku masalah menyatakan perasaan sangat mudah, karena bagiku walaupun tidak diterima...aku nggak takut kehilangan mereka. Perasaanku hanya dangkal, kak. Tidak ada yang istimewa dari perempuan-perempuan itu."
Berbagai memori muncul bagai rekaman film hitam putih. Beragam kenangan manis dengan Pelangi. Saat baru pertama kali berkenalan di kelas, pentas seni di sekolah, saat lulus dan kami pisah kampus. Delapan tahun kenal dengan Pelangi dan delapan tahun menjalin persahabatan dengannya.
Sejak kapan aku menyadari kalau aku tidak sanggup untuk kehilangan dirinya? Kalau aku takut seandainya dia menolakku dan hanya menganggapku sahabat....keadaan takkan bisa seperti dulu lagi.
Author POV
"Ya....hallo...."
Bintang keluar ke teras rumah sementara Guruh masih berbaring di sofa dan terlarut dalam lamunannya. Dia menempelkan telepon genggamnya ke dekat telinga.
"Hmmmm....ya, ya..." katanya manggut-manggut sambil tersenyum. "Boleh juga...." Lalu dia tertawa terbahak-bahak.
"Oke, bye!" katanya menyudahi telepon itu, menutupnya lalu tersenyum miring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guruh dan Pelangi (Ongoing)
Romance"Kalau memang dia bahagia, aku rela.... " Pelangi terdiam, dilihatnya cincin yang melingkar di jari manis wanita itu. Perih hatinya bagai ditusuk sembilu. Dipasang topeng tersenyumnya depan wanita itu. Tidak akan mau diperlihatkan kerapuhan dirinya...