Keindahan Pelangi

2 1 0
                                    

Pelangi, 28 Desember 2019. Pk 12.00 WIB

"Aaaaaaa senangnya jalan-jalan.....!" 

Eden menari-nari sambil mengambil kopernya dari atas bangku kereta. Kereta mereka sudah sampai ke stasiun Tugu. Perjalanan yang hanya 8 jam tidak terasa karena mereka sibuk bercerita dan tertawa, merumpi ke sana kemari.

"Uhhhh pantatku....capek juga ya duduk terus!" Biru berdiri sambil meregang-regangkan badannya. Putar kepala ke kiri, ke kanan, Putar tangannya ke depan, ke belakang. Bak atlit yang sedang pemanasan untuk pertandingan olahraga.

Empat sekawan itu turun dari kereta dengan membawa masing-masing koper atau ransel. Menggelengkan kepala saat beberapa orang menawari mereka untuk membawakan barang bawaannya. Mereka terus berjalan sampai ke lobby keluar. 

Mawar si miss pinky menyeret kopernya yang berwarna merah muda serta tidak lupa tas tangan berwarna senada. Biru menggendong ransel backpack hitam besar, celana jins dan kaus biru gombroh. Eden menyeret koper Louis Vitton besar. Dirinya memakai celana jins, kaus merah ketat dan kacamata hitam ala artis. Aku sendiri? Ya....simpel aja seperti biasa. Rambut diikat, celana jins belel, t-shirt dan ransel abu-abu andalan yang sudah dari SMP.

Mawar melihat ke arahku ketika kami sedang duduk menunggu mobil pesanan dari aplikasi online, sementara Eden dan Biru mampir ke kios untuk membeli minuman dingin.

"Jadi ketemu Guruh hari ini?" tanyanya penasaran. 

Setelah perjalanan jauh dengan kereta pun, wajahnya tetap terlihat segar dengan bedak dan make up tipis. Berbeda dengan aku dan Biru yang mukanya sudah kusam dengan rambut acak-acakan nggak karuan.

"Jadi, Mawar. Mungkin nanti sekalian makan malam. Kalian ikut aja ya?"

"Boleh, sekalian mau jalan-jalan. Tapi nanti di penginapan tidur dulu ya? Aku ngantuk selama di kereta ngga bisa tidur." Ujarnya lagi.

"Iya, aku juga mau istirahat sebentar. Habis Eden dan Biru bawel banget, mau tidur sebentar aja udah diisengin!" Aku melihat mereka yang sedang melangkah membawa satu plastik kresek besar isi makanan dan minuman.

"Yuk ah, mobilnya udah datang! Udah depan pintu masuk stasiun!" ajak Eden sambil melihat handphonenya. Kami pun segera bergegas.


Guruh, 28 Desember 2019, Pk 16.00 WIB.

"Nanti ketemu di Restoran X ya, aku bawa kak Bintang. Dia juga lagi liburan di sini. Kamu ajak aja temen-temenmu." Aku mengetik teks itu, lalu mengirimkannya ke Pelangi.

Aku membuka kulkas di dapur lalu meminum jus jeruk yang ada di dalamnya. Papa dan mama baru saja tidur, kecapekan habis diajak tante Emma dan suaminya ke Candi Borobudur. Kak Bintang menemaniku di rumah. Lagipula dia sudah pernah ke sana, katanya. Alasan saja, padahal dia memang dari dulu tidak begitu tertarik kalau diajak ke museum, atau wisata-wisata prasejarah lainnya.

Aku berjalan ke ruang TV dan duduk di sofa merah besar. Bergabung dengan kak Bintang yang sedang menonton film. Luka di tanganku sudah pulih, walau kalau disentuh masih terasa agak sakit. Luka di dahiku pun sudah kering, hanya tinggal bekas jahitan yang menghitam. Aku masih terus mengolesinya dengan obat merah dua kali sehari. Dan mama membelikanku obat Cina yang namanya aku lupa karena sulit diingat. Katanya bagus untuk mengeringkan luka.

"Tumben nonton drama!" sahutku sambil ikut menonton apa yang sedang dia tonton.

"Kok tumben? Kebetulan aja kamu lihatnya 'pas aku nonton film action. .Aku juga suka drama kok, tapi tergantung alur ceritanya." Dia menunjuk tokoh perempuan di film yang sedang ditontonnya. "Lihat karakter perempuan cantik itu. Sifatnya 'ngga bisa ketebak. Dia begitu pandai menutupi keburukannya, semua ngga akan menyangka dia dalang semua itu. Semua penderitaan sang lelaki sebetulnya berasal dari perempuan itu."

"Aku udah pernah nonton filmnya jadi tau akhir cerita. Ini cuma ulangan aja...." katanya lagi sambil meminum dari botol Coke di tangannya.

"Aku juga melihat perempuan dari fisiknya. Aku ngga bisa nyangkal kalau aku jatuh cinta pada pandangan pertama pasti dari wajah dan penampilannya." pungkasku sambil menatap kagum pada tokoh wanita di layar TV.

"Semua laki-laki kebanyakan begitu, Guruh. Kita diciptakan untuk mengagumi apa yang menarik. Malahan itu jadi kelemahan kita." Guruh meneguk minumannya lagi. "Aku baru putus dari pacarku sebulan yang lalu. Gadis yang sangat cantik. Tapi ternyata dia selingkuh di belakang kakak. Kakak tertipu penampilan luarnya yang menawan. Kakak terbuai rayunya, hingga nggak percaya kalau dia selingkuh. Dan kamu tahu, Guruh, ternyata dia sudah selingkuh selama beberapa bulan! Bodohnya kakak!"

"Bukan salah kak Bintang kan, kalau ngga tau mantan kk selingkuh...." Aku mencoba menenangkan dia, melihat mukanya yang terlihat sedih dan merana.

"Nggak Guruh, memang kakak yang naif. Sudah beberapa kali teman kakak mengatakan kalau melihat dia pergi dengan cowok lain. Tapi kakak malah marah dan nggak percaya! Kakak bilang kalau kakak sangat percaya pada pacar kakak! Kakak pikir cinta kami itu sejati, ternyata...." Dia mencibirkan bibirnya, lalu menyeruput Coke-nya lagi. "Yah...kakak ngga bilang kalau semua perempuan cantik itu pembohong! Mungkin ngga semua ya....satu banding sepuluh mungkin?"

Aku mengangguk-angguk, tak tahu mau komentar apa. Masalahnya aku juga sudah salah menilai perempuan. Aku terlalu terpesona dengan Ema, sampai jadi mengabaikan Pelangi yang selalu memberikan cahaya di hatiku. Ema itu bagaikan bunga mawar berduri yang menusuk, sementara pelangi tetaplah pelangi. Yang lain daripada lainnya, terukir indah di langit dengan warna warni yang menyejukkan hati.

Guruh dan Pelangi (Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang