~*22. Hard to Explain*~

50 13 4
                                    

Happy Reading🐐❤️

**^**

Gita kira semuanya akan berubah normal seperti sedia kala, tapi ternyata semuanya malah menjadi runyam—abu-abu. Andra tetap saja menjaga jarak darinya. Gita kira setelah malam dimana Andra memeluknya, hubungan keduanya semakin membaik dan harmonis layaknya pasangan kebanyakan. Tapi, memangnya apa yang bisa diharapkan dari seorang Andra Gio Abizar? Laki-laki itu hanyalah seorang pria yang pandai tebar pesona dan menjatuhkan diam-diam.

Sudah sekitar beberapa minggu hubungan keduanya mulai renggang. Andra terus saja mementingkan Si Luna-luna itu. Hei, Gita ini pacarnya loh! Tidakkah ia sadar? Dan, apakah cewek itu tidak tahu bahwa Andra sudah punya pacar?

"Git, mau sampai kapan lo diginiin terus sama Andra? Lo gak mau beri dia peringatan? Atau seenggaknya lo marah gitu. Serius, lo itu pacarnya. Kalo malah diginiin, kenapa dia macarin lo, coba?" Diyah yang berada di sebelah Gita menyenggol pelan dan berujar sambil melihat siluet Andra yang sedang mengerjakan tugas bersama Luna di Perpustakaan. Mereka berdua yang tadinya tidak sengaja melewati tempat itu, malah membeku melihat keakraban Andra dan Luna.

"Gue mau dia yang nyamperin gue dulu, cerita semua gue dulu, tentang gimana dia malah milih mentingin Si Luna itu. Gue mau dia yang inisiatif jelasin dulu, Diy," jawab Gita dengan suara parau. Sebenarnya, Gita juga sedang bimbang sekarang. Apakah dirinya lebih dulu yang memulai, ataukah Andra? Karena serius, Gita takut kalau dirinya malah hilang kontrol. Terbawa emosi—yang ujung-ujungnya malah membuat sesal.

Diyah menghela napas kasar. "Kalau kayak gitu mah sampai tahun depanpun lo bakal tetap diginiin mulu—disakitin, mau lo? Oh, apa perlu gue aja yang ngelabrak tuh dua orang? Hah? Iya?"

"Gak perlu. Biar gue aja yang nyamperin."

Diyah memutar bola mata malas, mencoba meredam kekesalannya karena pemikiran dan keputusan sahabatnya. "Iya, kapan?"

"Nanti. Gak sekarang, tapi dalam waktu dekat ini," jawabnya.

Gita membuktikan perkataannya, karena esoknya dia benar-benar menghampiri Andra sebelum Andra keluar kelas. Gita menatap bekal yang dipegang Andra. Gita sudah bisa menebak untuk siapa bekal itu ditujukan. Siapa lagi kalau bukan untuk Si Luna-luna itu.

Ndra, apa lo jadi babu sekarang? Pikir Gita. Maaf, pola pikir Gita memang sedangkal itu.

Memilih membicarakannya di koridor yang cukup sepi.

"Ndra, kok kamu jadi berubah gini, sih? Kenapa kamu hindarin aku?" tanya Gita.

Andra terdiam beberapa detik, setelah itu menghembuskan napas kasar. "Aku bukannya hindarin kamu, Git. Tunggu sebentar lagi, ya. Ada sesuatu yang harus aku kerjain dulu, makanya aku gak bisa deket-deket kamu terus."

Gita kehilangan kata, lantas ia tersenyum getir. "Gak bisa deket-deket sama aku, tapi lengket banget sama Si Luna-luna itu? Egois banget kamu. Apa bener aku ini pacar kamu? Kalau diperlakuin begini, kenapa kamu jadiin aku pacar?

Kamu gak tahu sebetapa terpojoknya aku saat orang-orang nanyain atensi kamu! Kamu gak tahu sebetapa keselnya aku saat orang-orang natap aku iba! Kamu tahu kan aku benci banget dikasihani. Kamu tahu tapi masih tetep buat aku rasain perasaan jengkel itu." Serius, membayangkan bahwa dia merasakan itu semua membuatnya emosi.

Andra hanya menatap tanpa merespon apapun. Sebenarnya, Andra juga sedang bingung sekarang. Bingung dengan perasaannya. Dia masih mencintai Gita, rasanya ingin bermanja-manja atau menggoda Gita sekarang juga. Ia rindu. Tapi, perasaannya saat bersama Luna pun tak bisa dielakkan. Ia nyaman. Terhibur. Astaga Andra, kau ini berdosa sekali.

GITANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang