Part 15

59 7 0
                                    

Dua orang kurir membawa sejumlah kardus berisi barang-barang Anne. Persis seperti yang dibilang Mahesa bahwa barang-barangnya segera tiba. Anne tidak sedang dalam mood untuk berbenah jadi ia meninggalkan kardus-kardus itu dan kembali ke kamarnya untuk mandi. Ia bahkan belum mencuci muka saat bertemu Mahesa tadi. Memalukan!

Setelah mandi dan membongkar kopernya untuk mencari baju. Anne memutuskan untuk keluar menemui seseorang saat ini. Tapi sebelum itu ia harus membeli sesuatu sebagai buah tangan.

Setelah Anne melewati beberapa pemeriksaan, ia baru bisa menemui orang itu. Ia meletakkan bungkusan berisi kwetiau goreng, martabak telur, dua botol minuman herbal serta beberapa camilan sehat di atas meja persegi sederhana. Ia menunggu dengan sabar sampai orang yang ingin ditemuinya diizinkan keluar.

Anne segera menghambur pada pria itu ketika melihatnya. "Hallo papa." Ia memeluknya erat-erat.

"Hallo putriku."

Kedua orang itu kemudian duduk bersebrangan terpisah oleh meja kecil yang sudah Anne sesaki dengan barang-barang.

"Ada kabar terbaru dari Clary?" Pria paruh baya itu tak sabar mendengar kabar anak bungsunya.

"Maafkan aku, tapi keadaan Clarissa belum menunjukkan perkembangan yang signifikan."

"Kau tak perlu meminta maaf sayang. Justru papa yang seharusnya minta maaf karena tak bisa mendampingi kalian berdua. Papa hanya bisa menjadi beban.."

"Papa... kita sudah berkali-kali membahas hal ini." Anne memotong apapun yang akan dikatakan papanya. "Jangan pernah papa menganggap diri papa sebagai beban atau apapun itu. Kita bisa melalui ini semua dan segera berkumpul kembali. Kita hanya harus bersabar sebentar saja." Anne membalas genggaman tangan papanya untuk menguatkan pria paruh baya itu.

"Bagaimana pekerjaanmu, Anne?" Papa Anne beralih ke topik pembicaraan yang ringan untuk menghilangkan atmosfer kesedihan di antara mereka.

"Aku sudah tidak bekerja pada paman Alfred lagi. Aku bekerja sebagai PA pemilik sebuah hotel."

"Hotel mana?" Tanya papanya penasaran.

"Royal Palace. Papa tak perlu khawatir lagi soal biaya Clary. Yang kuharap papa bisa bertahan disini sampai kita bisa bersama kembali."

"Bukankah itu hotel mewah yang juga mempunyai banyak cabang di kota-kota besar? Bagaimana kau bisa bekerja disana?" Anne tahu papanya tidak meragukan pendidikannya, tapi papanya pasti penasaran siapa koneksinya agar bisa bekerja di tempat itu.

"Awalnya aku melamar di bagian food and beverage. Tapi aku mendapat panggilan untuk PA. Mereka sedang memebutuhkan bagian itu sesegara mungkin dan beranggapan bahwa aku memenuhi kualifikasi." Tentunya Anne tak menyebutkan bahwa kualifikasinya sebagai pasangan Alex di setiap pesta yang dianggap cocok.

"Apa lingkungan kerjamu membuatmu nyaman? Kau tak menemui masalah karena papa kan?" Papa Anne pernah mendengar jika anaknya ditolak di beberapa perusahaan karena mengetahui kasus dirinya, juga sanksi sosial yang harus ditanggung Anne.

"Sama sekali tidak. Mereka orang-orang baik. Alex, Mahesa dan Regina sangat ramah. Mereka tahu tentang papa tapi tidak ada yang mempermasalahkan jika itu yang papa takutkan." Anne berusaha membuat papanya tak khawatir lagi.

"Bagaimana dengan kabar Adrian? Apa dia sedang jaga jadi kau kesini sendirian?"

Ketika nama itu disebut, rasa sakit di hati Anne kembali menyentak. "Papa, ada yang ingin kubicarakan mengenai Adrian.."
***
Seharusnya Anne tidak mengikuti kata hatinya untuk menjenguk Clary saat ini demi menghindari Adrian. Tapi keinginan untuk melihat keadaan Clary jauh lebih besar dibanding dengan keengganannya bertemu Adrian.Ia belum siap untuk mendengar penjelasan yang akan diberikan pria itu.

Anne sudah menutupi kepalanya dengan tudung hoodie dan menggunakan masker untuk menyamarkan wajahnya. Anne berhasil masuk ke ruang Clary tanpa sepengetahuan suster dan dokter lain yang sedang berkeliling. Hanya seorang suster yang sedang bertugas di ruangan Clary  saja yang heran dengan penampilan Anne.Tapi kemudian keberuntungan itu tidak memihaknya saat ia keluar dari ruang perawatan Clary. Adrian sudah menunggunya sambil berdiri tepat di pintu masuk.

"Hallo Anne.."

Dan disinilah mereka. Di ruangan pribadi Adrian yang penuh rak berisi map dan buku-buku kesehatan serta sebuah ranjang lipat tempat biasa dokter itu beristirahat usai jam panjang keadaan darurat. Anne duduk kursi berseberangan dengan Adrian di belakang meja kerja pria itu.

"Aku tidak bisa menghubungi semalam." Beritahu Adrian setelah Anne diam membisu sejak pertemuan mereka tadi. "Lalu aku melihat ini tadi pagi." Adrian menyodorkan sebuah majalah gosip murahan dengan cover sebuah foto yang diambil secara asal-asalan. "Itu kamu kan? Tapi kenapa Anne..."

Anne memperhatikan majalah yang ada di meja Adrian. Dari jauh pun ia bisa melihat itu memang dirinya. Ia mengira foto itu diambil semalam saat ia akan masuk ke mobil Alex. Terlihat jelas wajah Alex ketika memeluk dirinya dengan posesif sementara wajahnya tersamar dalam gelap.

"Itu memang aku." Kalimat pertama Anne membenarkan dugaan Adrian. Wajah pria di depannya tampak pias.

"Bagaimana bisa.."

"Semalam aku syok karena melihat sesuatu, dia membantuku menenangkan diri." Anne merasa aneh karena harus menjelaskan segala sesuatu karena Adrian curiga padanya. Bukankah seharusnya dia yang harus menuntut penjelasan. "Adrian.. ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu." Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk tahu semuanya.

"Apa itu?"

"Apakah kau sudah bertunangan dengan orang lain?"

Adrian diam selama beberapa detik untuk mencerna pertanyaan tak terduga dari Anne. "Si.. siapa yang memberitahumu hal itu?"

"Ayahmu."

"Tidak. Itu tidak benar!" Adrian bangkit dari kursinya.

"Tapi aku melihatmu semalam." Air mata yang Anne kira telah kering ternyata telah mengancam mengalir kembali dari pelupuknya."Alex mengajakku untuk menghadiri pesta ulang tahun perusahaan konstruksi milik Roan. Disana aku melihatmu mencium Rebecca Faustine."

"Anne.. itu tidak seperti  yang terlihat." Pria itu mendekati Anne, tapi Anne mundur beberapa langkah. "Aku bisa menjelaskan semuanya.."

"Adrian.. aku sangat berterima kasih karena kamu mau membantu pengobatan Clary.." Anne berusaha mati-matian agar air matanya tak kembali mengalir. Mulai kini ia bertekad akan menampilkan sosok kuat agar orang-orang tak memandanginya dengan perasaan iba atau kasihan. "Akan kukembalikan semua itu sedikit demi sedikit."

"Tidak. Tak ada yang harus dikembalikan atau apa pun itu. Aku tulus membantumu dan Clary, Anne." Adrian menghela nafas lelah. “Memang benar aku dan Rebecca telah bertunangan.”
Sejenak Anne tercekat, walau sudah tahu kebenaran itu tapi mendengar sendiri dari mulut Adrian ternyata menambah rasa sakit di dadanya.

“Tapi itu hanya ikatan semu, Anne. Kami hanya menjalani apa yang sudah direncanakan keluarga kami. Kumohon, kaulah satu-satunya perempuan yang ada di hatiku.” Adrian menggenggam tangan Anne penuh harap.

Anne sempat terharu mendengar penjelasan Adrian, tetapi kelebatan kenangan ciuman Adrian dan Rebecca membuat perutnya mual.

“Jika pun aku memang ada di hatimu, kita tak mungkin bersama Adri. Tak ada tempat untuk kita di masa depan.” Anne juga ingat peringatan ayah Adrian. Selamanya dia tak akan diterima keluarga Adrian.

“Aku akan mengusahakannya Anne. Percayalah padaku. Kita pasti bisa jika terus bersama.” Entah siapa yang ingin dibohongi Adrian. Tapi kata-kata pria itu terasa hampa.

“Tidak Adri. Kau layak dapat yang lebih baik dariku. Kurasa ayahmu sudah memilihkan seseorang yang pantas.” Anne melepas genggaman tangan Adrian.

“Tidak. Ayahku tak tahu apa yang pantas untukku. Kaulah satu-satunya yang kucintai, Anne. Ayah tidak..”

Perkataan Adrian terintrupsi oleh gedoran pintu dan teguran seorang perawat untuk segera bersiap ke ruangan operasi.

Anne menggunakan kesempatan itu untuk pergi. “Selamat tinggal Adrian. Semoga kau bahagia kelak.” Anne memeluk Adrian sebagai seorang kekasih untuk terakhir kalinya.

Tbc

MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang