Berkaitan dengan kesedihan Kyai Misbah itu, Eyang Siti Masruro beberapa malam juga menemuinya. Berkali -kali pula murid Sunan Bonang itu menjelaskan peristiwa di kebun pisang belakang pondoknya. Eyang Siti Masruro juga menjelaskan bila Ranu tidak meninggal. Saat ini badan halusnya baru menerima beberapa ilmu dari para malaikat dan wali-waliyullah. Namun, Kyai Misbah kurang percaya. Bagaimanapun, sebagus-bagusnya jin adalah sejelek-jeleknya manusia. Bahkan Kyai Misbah sendiri belum berniat untuk mengusut masalah yang sebenarnya. Doa-doa dan wiridnya dilakukan hanya untuk meminta kesembuhan Ranu.
Kyai Misbah merasa bersalah kepada Kyai Imam Sakiman. Mengapa tidak bisa menjaga cucu orang ? Sedangkan Kyai Imam Sakiman sangat besar perhatiannya ketika sama-sama masih di pesantren. Kyai Misbah teringat kembali saat-saat senang dan susah bersama kakaknya itu.
Di Jakarta, keluarga Jendral Abdul Syukur yang baru melupakan kerinduan pada Ranu Sadewa, sekarang agak kisruh. Luka yang hampir sembuh itu kini seperti tergores kembali. Bu Syukur yang selama ini tabah, tidak begitu khawatir justru kali ini siang malam menangis memanggili nama anaknya. Hampir tiap hari bayangan anak lelakinya muncul di muka pintu rumah tertunduk lesu, wajahnya pucat pasi.
"Pak, sepertinya saya merasakan ada apa-apa dengan Ranu. Hampir setiap hari kulihat Ranu di pintu itu. Ketika saya sapa, hilang begitu saja. Aku takut, pak, jangan -jangan ada apa-apa dengan Ranu..."
"Sudah, jangan engkau teruskan kata-katamu, Bu. Kita berdoa saja semoga anak kita selamat. Saya tidak akan marah, seandainya ia pulang. Tanpa ada hasil. Bagaimanapun ia adalah anak kita. Ia masih muda, masih bisa melanjutkan sekolahnya kembali,"
Siang malam Bu Syukur slalu berdoa kepada Allah agar Ranu dilimpahi kesehatan, hidayah, dan innayah-Nya. Pak Abdul Syukur sendiri sebenarnya mengalami hal yang sama dengan istrinya. Dia sengaja tidak bercerita pada istrinya, khawatir bertambah menderita. Tanpa diketahui istrinya jendral itu sering menangis seorang diri. Kadang di ruang kerja kantornya, dia seperti melihat Ranu datang. Berpakaian ala santri, bersarung batik kumal, dan muncul dengan wajah pucat pasi. Bahkan pernah suatu ketika bayangan itu seolah sangat dekat dengannya, sehingga dia melompat hendak memeluknya.
Pak Syukur bingung. Apa yang dikatakan istrinya semakin menggoda hati, seakan apa yang dilihatnya itu suatu firasat yang kurang baik. Pak Syukur kemudian berkonsultasi dengan tiga ulama sepuh yang kedalaman ilmunya setingkat dengan para Waliyullah. Namun, semua ulama' sepuh tadi tidak bisa memberikan keterangan yang pasti. Semua ulama' justru ikut kebingungan.
Dari keterangan-keterangan para Kyai sepuh,Pak Abdul Syukur menyimpulkan Ranu telah meninggal dunia. Untuk menjaga perasaan istrinya, Jendral Abdul Syukur tak berani mengadakan acara doa bersama di rumah. Acara tahlil dilaksanakan di kantor dan hanya dihadiri beberapa orang bawahannya. Mereka juga sudah diperintah untuk tutup mulut. Pak Syukur khawatir istrinya tahu.
Upcara ritual yang biasa dilakukan tujuh hari, dijamak satu kali. Acara itu dilaksanakan bertepatan dengan dua minggu misibah yang dialami Ranu. Pak Abdul Syukur sendiri tidak tahu, pokoknya acara itu diadakan karena diyakini Ranu telah meninggal tujuh hari. Di Markas TNI itu beberapa orang hadir membaca kalimat tayibah yang pahalanya dipetuntukkan arwah Ranu Sadewa bin Abdul Syukur. Suara takbir, tahmid, dan kalimat-kalimat tayibah diucapkan penuh kekhusyukan itu, menggema, menggemuruh, dan membahana kelangit. Auranya bagaikan angin topan menggulung, menyedot ruh Ranu, ditiup dari alam bawah sadar dikembalikan ke alam sadar pada jasad Ranu yang masih terlentang di rumah sakit.
Seketika Ranu terbangun, seperti ia bangun di kamar pondok bersama Nursalim , "Kang, aku lapar, cari makan yuk..!" katanya seperti kebiasannya di kamar pesantren. "Kanh Nur, aku lapar cari makan, yuk..!" desaknya lagi sambil menggoyang-goyang, membangunkan Nursalim yang tertidur di kursi sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]
SpiritualAkibat slalu di tuduh KKN, untuk menepis bayang bayang kebesaran nama bapaknya dan membuktikan jati dirinya, Ranu sadewa lari dari rumahnya. Tujuannya hanya satu ! Yaitu ke pesantren. Sebuah tempat yang di kira aman dan nyaman untuk pelariannya just...